Oleh: Vinanda Febriani
Semalam aku keluar sebentar bersama Bapakku membeli gorengan untuk tamu di rumah. Sampai di tempat itu ku lihat banyak macam gorengan yang masih panas sudah tersedia, ada gorengan tempe, tahu crispy, bakwan, dan lain sebagainya. Cara penggorengannya pun juga masih sederhana, yakni dengan menggunakan kayu bakar, walaupun ada beberapa yang menggunakan kompor gas. Namun hasilnya sama saja, nikmat terasa di lidah.
Melihat fenomena saat ini, aku jadi teringat. Banyak orang menyukai berprofesi sebagai "tukang gorengan", gorengannya pun beragam, mulai dari "gorengan" fitnah, SARA, provokasi, adu domba dan masih banyak lagi. Gorengan-gorengan tersebut di proses menggunakan api yang disulut sedemikian membara dan kemudian setelah matangnya nanti akan dibungkus dan dibumbui dengan dalih "agama", sehingga banyak orang yang tertarik dan akhirnya membeli "gorengan panas" itu dan dibagikan ke siapapun yang menginginkannya. Namun gorengan ini sangat tidak layak dikonsumsi, terlebih bagi orang awam. Gorengan ini tidak sehat dan menimbulkan efek samping bagi kewarasan akal.
"Bu, saya beli gorengan 10 ribu" pintaku. "Iya, nduk. Yang mana? dibungkus pakai apa?" tanya Ibu si penjual gorengan. "Campur saja, Bu. Dibungkus pakai plastik" jawabku.
Gorengan memang nikmat, namun juga menimbulkan kolesterol. Terlebih jika minyak yang digunakan untuk menggoreng merupakan minyak bekas, sudah dipastikan gorengan tersebut sudah tidak sehat. Begitu pula dengan "gorengan panas" yang aku ceritakan tadi. "Gorengan panas" ini memang sekilas asyik, namun ketika sudah terjebak di dalamnya, maka kita akan merasakan rasa kecewa "mengapa aku membeli gorengan panas?" dan ada efek samping "hukuman" bagi pembeli "gorengan panas" tersebut.
Terlebih saat ini, Pemerintah dan hukum di Indonesia sudah tepat sasaran, menjerat siapapun yang bertingkah sebagai "penjual kayu bakar", menjual dan penikmat "gorengan panas" bahkan hanya seorang "penyulut api" pun juga bisa tersandung hukum jika itu sudah keluar batas kemanusiaannya.
"Ini nduk gorengannya" kata Ibu itu sambil memberikan bungkusan gorengan tersebut kepadaku. "Injih, Bu. Terimakasih" kataku sambil membayar gorengan tersebut.
Setelah membayar, ku dan Bapakku pulang. Di perjalanan, aku berandai-andai. Bagaimana jika di Indonesia ini dipenuhi dengan penjual kayu bakar, "gorengan panas" dan penyulut api?. Terlebih jika dibungkus dan dibumbui dengan dalih agama yang merupakan hal paling sensitif bagi siapapun. Akan jadi apa negeri ini selanjutnya? Apakah juga akan bernasib seperti syiria? Apa tidak berfikir dahulu orang "gila" yang menjual barang-barang pengadu domba tersebut?
( Sejumlah Ulama Jawa Barat Bikin Petisi Tolak Dedi Mulyadi Jadi Gubernur )
Entahlah bagaimana selanjutnya, namun aku berharap kepada seluruh elemen bangsa Indonesia agar waras dan mengakhiri untuk berjualan atau membeli "gorengan panas", kayu bakar serta mengakhiri profesinya sebagai "tukang penyulut api". Karena itu amat berbahaya bagi kehidupan pribadi maupun kehidupan generasi penerus nanti. "Seng waras ojo ngalah !". Yang waras, mari berjualan air putih, yang suci, jernih, tidak berkolesterol dan menyehatkan.
Salam Waras !
Borobudur, 15 September 2107
Semalam aku keluar sebentar bersama Bapakku membeli gorengan untuk tamu di rumah. Sampai di tempat itu ku lihat banyak macam gorengan yang masih panas sudah tersedia, ada gorengan tempe, tahu crispy, bakwan, dan lain sebagainya. Cara penggorengannya pun juga masih sederhana, yakni dengan menggunakan kayu bakar, walaupun ada beberapa yang menggunakan kompor gas. Namun hasilnya sama saja, nikmat terasa di lidah.
Melihat fenomena saat ini, aku jadi teringat. Banyak orang menyukai berprofesi sebagai "tukang gorengan", gorengannya pun beragam, mulai dari "gorengan" fitnah, SARA, provokasi, adu domba dan masih banyak lagi. Gorengan-gorengan tersebut di proses menggunakan api yang disulut sedemikian membara dan kemudian setelah matangnya nanti akan dibungkus dan dibumbui dengan dalih "agama", sehingga banyak orang yang tertarik dan akhirnya membeli "gorengan panas" itu dan dibagikan ke siapapun yang menginginkannya. Namun gorengan ini sangat tidak layak dikonsumsi, terlebih bagi orang awam. Gorengan ini tidak sehat dan menimbulkan efek samping bagi kewarasan akal.
"Bu, saya beli gorengan 10 ribu" pintaku. "Iya, nduk. Yang mana? dibungkus pakai apa?" tanya Ibu si penjual gorengan. "Campur saja, Bu. Dibungkus pakai plastik" jawabku.
Gorengan memang nikmat, namun juga menimbulkan kolesterol. Terlebih jika minyak yang digunakan untuk menggoreng merupakan minyak bekas, sudah dipastikan gorengan tersebut sudah tidak sehat. Begitu pula dengan "gorengan panas" yang aku ceritakan tadi. "Gorengan panas" ini memang sekilas asyik, namun ketika sudah terjebak di dalamnya, maka kita akan merasakan rasa kecewa "mengapa aku membeli gorengan panas?" dan ada efek samping "hukuman" bagi pembeli "gorengan panas" tersebut.
Terlebih saat ini, Pemerintah dan hukum di Indonesia sudah tepat sasaran, menjerat siapapun yang bertingkah sebagai "penjual kayu bakar", menjual dan penikmat "gorengan panas" bahkan hanya seorang "penyulut api" pun juga bisa tersandung hukum jika itu sudah keluar batas kemanusiaannya.
"Ini nduk gorengannya" kata Ibu itu sambil memberikan bungkusan gorengan tersebut kepadaku. "Injih, Bu. Terimakasih" kataku sambil membayar gorengan tersebut.
Setelah membayar, ku dan Bapakku pulang. Di perjalanan, aku berandai-andai. Bagaimana jika di Indonesia ini dipenuhi dengan penjual kayu bakar, "gorengan panas" dan penyulut api?. Terlebih jika dibungkus dan dibumbui dengan dalih agama yang merupakan hal paling sensitif bagi siapapun. Akan jadi apa negeri ini selanjutnya? Apakah juga akan bernasib seperti syiria? Apa tidak berfikir dahulu orang "gila" yang menjual barang-barang pengadu domba tersebut?
( Sejumlah Ulama Jawa Barat Bikin Petisi Tolak Dedi Mulyadi Jadi Gubernur )
Entahlah bagaimana selanjutnya, namun aku berharap kepada seluruh elemen bangsa Indonesia agar waras dan mengakhiri untuk berjualan atau membeli "gorengan panas", kayu bakar serta mengakhiri profesinya sebagai "tukang penyulut api". Karena itu amat berbahaya bagi kehidupan pribadi maupun kehidupan generasi penerus nanti. "Seng waras ojo ngalah !". Yang waras, mari berjualan air putih, yang suci, jernih, tidak berkolesterol dan menyehatkan.
Salam Waras !
Borobudur, 15 September 2107
Hadapi Penjual Gorengan Terlarang, Seng Waras Ojo Ngalah!
Reviewed by Erhaje88 Blog
on
September 15, 2017
Rating:
No comments:
Erhaje88 tidak bertanggung jawab atas isi komentar yang ditulis. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE