RUMAH sakit, baik milik pemerintah maupun swasta, diwajibkan menjalankan fungsi sosial dengan memberikan fasilitas pelayanan pasien tidak mampu atau miskin serta pelayanan gawat darurat, tanpa uang muka.
Jika terjadi keadaan gawat darurat, rumah sakit pun diwajibkan untuk memberikan pelayanan penanganan pertama kepada peserta Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Dalam hal rumah sakit bukan merupakan jaringan Jamkesmas, pelayanan rumah sakit menjadi bagian dari fungsi sosial dari rumah sakit sebagai bagian dari fasilitas kesehatan masyarakat.
Ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam Undang-Undang Rumah Sakit dan peraturan menteri kesehatan tersebut sepintas telah menjadi jaminan bagi masyarakat agar selalu mendapat penanganan saat kondisi gawat darurat menimpa mereka.
Akan tetapi, dalam pelaksanaan, ketentuan-ketentuan yang mengikat itu tidak selalu berjalan mulus di lapangan. Kasus meninggalnya bayi Debora, setelah orangtua bayi itu berupaya agar anaknya dirawat di RS Mitra Keluarga Kalideres, Jakarta Barat, menjadi bukti terkini mengenai belum berjalannya aturan baku di bidang pelayanan rumah sakit tersebut.
Debora, bayi berusia 4 bulan, akhirnya meninggal pada Minggu (3/9) setelah pihak rumah sakit disebut tidak bersedia memberikan pertolongan dengan alasan orangtua Debora tidak bisa membayar uang muka biaya penanganan yang dibutuhkan di ruang pediatric intensive care unit, alias PICU, sebesar Rp19.800.000.
Ibunda Deborah, Henny Silalahi, dan sang suami, Rudianto Simanjorang, mengaku hanya dapat mengumpulkan Rp5 juta di pagi yang kelabu itu dan meminta pihak rumah sakit menangani terlebih dahulu sang anak.
Akan tetapi, pihak rumah sakit dikatakan enggan melakukan penanganan di ruang PICU sebelum seluruh biaya itu dipenuhi. Akibatnya, Debora tidak tertolong. Kita sangat tersentuh dan ikut berduka atas derita yang dialami Debora dan kedua orangtua anak itu.
Kisah sedih tentang meninggalnya pasien yang tidak tertangani oleh rumah sakit akibat ketiadaan biaya atau jaminan kesehatan memang bukan kali ini saja terjadi. Karena sesuatu dan lain hal, tidak mustahil ada 'Debora-Debora' lain yang tidak terungkap ke permukaan.
Orangtua atau sanak kerabat harus kehilangan orang-orang yang mereka cintai hanya karena rumah sakit atau fasilitas kesehatan menolak menangani dengan alasan biaya. Sejatinya, aturan mengenai hak dan kewajiban pasien dan rumah sakit sudah sangat jelas dan tegas.
Akan tetapi, mengapa kasus seperti yang dialami Debora ini terus saja terjadi? Kita khawatir salah satu penyebabnya ialah rumah-rumah sakit, baik swasta maupun milik pemerintah, sudah terlalu mengedepankan aspek komersial.
Kita pun khawatir rasa kemanusiaan dan tanggung jawab sosial dari lembaga rumah sakit mulai meredup. Namun, kita masih berharap bahwa kekhawatiran itu tidak benar adanya. Karena itu, kita mengapresiasi bila negara bersedia turun tangan untuk menghadirkan keseimbangan dari fungsi rumah sakit kita.
Kita memahami bahwa untuk terus dapat melayani masyarakat, rumah sakit tidak bisa menjadi institusi yang merugi. Akan tetapi, pada saat yang sama, rumah sakit semestinya dapat menjalankan kewajiban sosial dalam melayani masyarakat, terlebih di saat kondisi gawat darurat
( Media Indonesia )
Jika terjadi keadaan gawat darurat, rumah sakit pun diwajibkan untuk memberikan pelayanan penanganan pertama kepada peserta Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Dalam hal rumah sakit bukan merupakan jaringan Jamkesmas, pelayanan rumah sakit menjadi bagian dari fungsi sosial dari rumah sakit sebagai bagian dari fasilitas kesehatan masyarakat.
Akan tetapi, dalam pelaksanaan, ketentuan-ketentuan yang mengikat itu tidak selalu berjalan mulus di lapangan. Kasus meninggalnya bayi Debora, setelah orangtua bayi itu berupaya agar anaknya dirawat di RS Mitra Keluarga Kalideres, Jakarta Barat, menjadi bukti terkini mengenai belum berjalannya aturan baku di bidang pelayanan rumah sakit tersebut.
Debora, bayi berusia 4 bulan, akhirnya meninggal pada Minggu (3/9) setelah pihak rumah sakit disebut tidak bersedia memberikan pertolongan dengan alasan orangtua Debora tidak bisa membayar uang muka biaya penanganan yang dibutuhkan di ruang pediatric intensive care unit, alias PICU, sebesar Rp19.800.000.
Ibunda Deborah, Henny Silalahi, dan sang suami, Rudianto Simanjorang, mengaku hanya dapat mengumpulkan Rp5 juta di pagi yang kelabu itu dan meminta pihak rumah sakit menangani terlebih dahulu sang anak.
Akan tetapi, pihak rumah sakit dikatakan enggan melakukan penanganan di ruang PICU sebelum seluruh biaya itu dipenuhi. Akibatnya, Debora tidak tertolong. Kita sangat tersentuh dan ikut berduka atas derita yang dialami Debora dan kedua orangtua anak itu.
Kisah sedih tentang meninggalnya pasien yang tidak tertangani oleh rumah sakit akibat ketiadaan biaya atau jaminan kesehatan memang bukan kali ini saja terjadi. Karena sesuatu dan lain hal, tidak mustahil ada 'Debora-Debora' lain yang tidak terungkap ke permukaan.
Orangtua atau sanak kerabat harus kehilangan orang-orang yang mereka cintai hanya karena rumah sakit atau fasilitas kesehatan menolak menangani dengan alasan biaya. Sejatinya, aturan mengenai hak dan kewajiban pasien dan rumah sakit sudah sangat jelas dan tegas.
Akan tetapi, mengapa kasus seperti yang dialami Debora ini terus saja terjadi? Kita khawatir salah satu penyebabnya ialah rumah-rumah sakit, baik swasta maupun milik pemerintah, sudah terlalu mengedepankan aspek komersial.
Kita pun khawatir rasa kemanusiaan dan tanggung jawab sosial dari lembaga rumah sakit mulai meredup. Namun, kita masih berharap bahwa kekhawatiran itu tidak benar adanya. Karena itu, kita mengapresiasi bila negara bersedia turun tangan untuk menghadirkan keseimbangan dari fungsi rumah sakit kita.
Nasib Malang Bayi Deborah
Kita memahami bahwa untuk terus dapat melayani masyarakat, rumah sakit tidak bisa menjadi institusi yang merugi. Akan tetapi, pada saat yang sama, rumah sakit semestinya dapat menjalankan kewajiban sosial dalam melayani masyarakat, terlebih di saat kondisi gawat darurat
( Media Indonesia )
Misi Rumah Sakit, Kemanusiaan Atau Komersial?
Reviewed by Erhaje88 Blog
on
September 12, 2017
Rating:
No comments:
Erhaje88 tidak bertanggung jawab atas isi komentar yang ditulis. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE