Sidebar Ads

banner image

Membawa-bawa Nama Nabi SAW Sebagai Pembelaan Atas Kekeliruannya Sendiri, Bolehkah? Ini Penjelasannya

Beberapa hari ini jagad dunia maya digemparkan oleh penyebaran hoaks oleh sejumlah kalangan elit politik. Penyebaran kabar palsu tersebut bermula dari salah satu tokoh yang mengaku telah dianiaya oleh orang yang tak dikenal.

Dari situ, banyak kalangan mempercayai dan ikut berempati, bahkan dengan lantang menyuarakan kasus tersebut mengandung motif politik lawan-lawannya dan harus segera diusut. Namun, beberapa waktu belakangan, polisi berhasil menguak bahwa kasus tersebut palsu, tidak sesuai fakta yang riil berdasarkan beberapa tanda bukti.

Twitter Hanum Rais

Dan pada puncaknya, pihak yang bersangkutan mengakui bahwa ia telah berbohong. Ia meminta maaf kepada publik dan beberapa elit politik yang merasa tertipu olehnya.

Banyak respons dari lapisan masyarakat mengenai hal ini. Secara umum, masyarakat sangat kecewa dengan sikap pelaku yang menyebarkan berita bohong tersebut. Bahkan ada yang mengusulkan tanggal 3 Oktober 2018 kemarin sebagai hari hoaks nasional.

Yang unik, beberapa kalangan menganggap, elit politik yang menerima (lalu menyebar) kabar bohong tersebut dalam posisi terzalimi, dikhianati. Mereka menyamakan elit politik yang mereka dukung seperti situasi yang pernah menimpa Nabi.

Mohon maaf, penulis tidak bermaksud untuk membela atau ikut campur dalam dukung-mendukung urusan politik. Namun, lebih kepada pandangan penulis agar pertarungan politik praktis selayaknya tidak membawa-bawa nama mulia Baginda Nabi Muhammad ﷺsebagai alat pembelaan. Karena itu, perlu dilihat secara jernih bagaimana kisah sesungguhnya Nabi ketika menerima kabar bohong tersebut.

Saat itu, Nabi dikhianati oleh sekelompok kaum musyrik yang meminta Nabi untuk mendatangkan para sahabat yang mengajarkan kepada mereka Al-Quran dan Sunnah.
Nabi mengabulkan permintaan mereka dengan mengutus 70 pengajar yang ahli baca. Sebelum sampai di tempat tujuan, 70 utusan tersebut dibantai, mereka mati dalam keadaan syahid.

Kisah ini masyhur disebutkan dalam beberapa kitab Sirah Nabawiyyah. Bahkan salah satu pakar hadits yang otoritatif, Imam Muslim meriwayatkannya dalam kitab
Shahih-nya:

ﻋﻦ ﺃﻧﺲ ﺑﻦ ﻣﺎﻟﻚ ﻗﺎﻝ : ﺟﺎﺀ ﻧﺎﺱ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻨﺒﻰ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﻘﺎﻟﻮﺍ : ﺃﻥ ﺍﺑﻌﺚ ﻣﻌﻨﺎ ﺭﺟﺎﻻ ﻳﻌﻠﻤﻮﻧﺎ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﻭﺍﻟﺴﻨﺔ . ﻓﺒﻌﺚ ﺇﻟﻴﻬﻢ ﺳﺒﻌﻴﻦ ﺭﺟﻼ ﻣﻦ ﺍﻷﻧﺼﺎﺭ، ﻳﻘﺎﻝ ﻟﻬﻢ : ﺍﻟﻘﺮﺍﺀ . ﻓﻴﻬﻢ ﺧﺎﻟﻰ ﺣﺮﺍﻡ . ﻳﻘﺮﺅﻭﻥ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ، ﻭﻳﺘﺪﺍﺭﺳﻮﻥ ﺑﺎﻟﻠﻴﻞ ﻳﺘﻌﻠﻤﻮﻥ . ﻭﻛﺎﻧﻮﺍ ﺑﺎﻟﻨﻬﺎﺭ ﻳﺠﻴﺌﻮﻥ ﺑﺎﻟﻤﺎﺀ ﻓﻴﻀﻌﻮﻧﻪ ﻓﻰ ﺍﻟﻤﺴﺠﺪ، ﻭﻳﺤﺘﻄﺒﻮﻥ ﻓﻴﺒﻴﻌﻮﻧﻪ، ﻭﻳﺸﺘﺮﻭﻥ ﺑﻪ ﺍﻟﻄﻌﺎﻡ ﻷﻫﻞ ﺍﻟﺼﻔﺔ ﻭﻟﻠﻔﻘﺮﺍﺀ . ﻓﺒﻌﺜﻬﻢ ﺍﻟﻨﺒﻰ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺇﻟﻴﻬﻢ، ﻓﻌﺮﺿﻮﺍ ﻟﻬﻢ ﻓﻘﺘﻠﻮﻫﻢ، ﻗﺒﻞ ﺃﻥ ﻳﺒﻠﻐﻮﺍ ﺍﻟﻤﻜﺎﻥ

"Dari Anas bin Malik, datang sekelompok orang kepada Nabi, mereka berkata, hendaknya utuslah untuk kami beberapa laki-laki yang mengajarkan Al-Quran dan Sunnah. Kemudian Nabi mengutus kepada mereka 70 sahabat Anshar yang disebut-sebut sebagai pakar qiraah, termasuk di antaranya pamanku, Haram. Mereka membaca, saling bertadarus dan belajar Al-Quran di malam hari. Di siang hari mereka membawakan air dan meletakannya di masjid. Mereka mencari kayu dan menjualnya dan hasilnya mereka belikan makanan untuk Ahlu Shuffah (penghuni teras masjid Nabawi) dan orang-orang fakir. Nabi mengutus mereka kepada kaum musyrik. Mereka diganggu dan dibunuh sebelum sampai di tempat tujuan." (Shahih Muslim)

Kisah tersebut shahih dan benar serta dapat dipertanggungjawabkan. Namun, sangat tidak tepat bila dijadikan sebagai dalih untuk kepentingan politik tertentu. Bukan hanya karena Nabi maksum dari perbuatan menyebar hoaks, tapi juga pribadi beliau terlalu mulia untuk dijadikan tameng umatnya yang bergelimang dosa ini. Tidak pantas menggunakan kisah tersebut sebagai alat untuk 'bertengkar', bertarung dalam kancah perpolitikan. Menyebut Nabi pernah ditipu untuk kemudian dijadikan persamaan situasi yang menimpa elit politik yang didukung, sesungguhnya justru dapat membuka kran untuk menghina Nabi.

Syekh Ibnu Hajar al-Haitami menentang keras orang yang bertengkar kemudian ia dihina sebagai orang yang fakir dan penggembala kambing, lantas ia membela diri bahwa Nabi juga fakir dan menggembala kambing.

Menurutnya, tindakan tersebut dapat memberikan persepsi yang salah di masyarakat, bahwa sifat fakir atau profesi menggembala kambing merupakan kekurangan bagi Nabi.

Demikian pula dalam kasus ini, mengaitkan situasi politik dengan peristiwa Nabi yang pernah ditipu dan khianati, akan berpotensi ada sebuah anggapan bahwa Nabi mudah sekali ditipu.

Syekh Ibnu Hajar juga mengutip pandangan dari Imam Suyuthi, bahwa derajat Nabi lebih tinggi untuk dibanding-bandingkan dengan siapa pun.

Dalam pandangan Syekh Ibnu Hajar, wajib bagi pemerintah untuk menghukum dan mencegah pelakunya dari perlakuan yang tidak pantas kepada Nabi tersebut. Demikian pula bagi para ulama, agar mencegah masyarakat untuk tidak menirunya.

Dalam himpunan fatwa Syekh Ibnu Hajar al-Haitami ditegaskan:

ﻭﺳﺌﻞ ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﺒﺎﺭﻙ ﻭﺗﻌﺎﻟﻰ ﺑﻤﺎ ﻟﻔﻈﻪ ﻛﺜﻴﺮﺍ ﻣﺎ ﻳﺘﺨﺎﺻﻢ ﺍﺛﻨﺎﻥ ﻓﻴﻌﻴﺮ ﺃﺣﺪﻫﻤﺎ ﺍﻵﺧﺮ ﺑﺎﻟﻔﻘﺮ، ﺃﻭ ﺭﻋﻲ ﺍﻟﻐﻨﻢ ﻣﺜﻼ ﻓﻴﻘﻮﻝ ﺍﻵﺧﺮ ﺍﻷﻧﺒﻴﺎﺀ ﻛﺎﻧﻮﺍ ﻓﻘﺮﺍﺀ ﻭﻳﺮﻋﻮﻥ ﺍﻟﻐﻨﻢ، ﺃﻭ ﻧﺤﻮ ﺫﻟﻚ ﻣﻤﺎ ﻫﻮ ﻣﻌﺮﻭﻑ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﻌﺎﻣﺔ ﻣﺄﻟﻮﻑ ﻓﻤﺎ ﺣﻜﻢ ﺫﻟﻚ؟

"Beliau ditanya, sering kali dua orang bertengkar, lantas salah satunya menghina pihak lain dengan sifat fakir atau penggembala kambing, kemudian ia berkilah, para Nabi juga fakir dan menggembala kambing, atau ucapan-ucapan lain yang lazim dipakai, bagaimana hukumnya?

ﻓﺄﺟﺎﺏ ﻋﻔﺎ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﺒﺎﺭﻙ ﻭﺗﻌﺎﻟﻰ ﻋﻨﻪ ﺑﻘﻮﻟﻪ ﻫﺬﺍ ﻣﻤﺎ ﻳﻨﺒﻐﻲ ﺃﻥ ﻳﻔﻄﻢ ﻋﻨﻪ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻏﺎﻳﺔ ﺍﻟﻔﻄﻢ؛ ﻷﻧﻪ ﻳﺆﺩﻱ ﺇﻟﻰ ﻣﺤﺬﻭﺭﺍﺕ ﻻ ﻳﺘﺪﺍﺭﻙ ﺧﺮﻗﻬﺎ ﻭﻻ ﻳﺮﺗﻘﻊ ﻓﺘﻘﻬﺎ ﻭﻛﻴﻒ ﻭﻛﺜﻴﺮﺍ ﻣﺎ ﻳﻮﻫﻢ ﺫﻟﻚ ﺍﻟﻌﺎﻣﺔ ﺇﻟﺤﺎﻕ ﻧﻘﺺ ﻟﻪ - ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ - ﺑﺒﻌﺾ ﺻﻔﺎﺗﻪ ﺍﻟﺘﻲ ﻫﻲ ﻣﻦ ﻛﻤﺎﻟﻪ ﺍﻷﻋﻈﻢ
ﻭﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﺑﻌﻀﻬﺎ ﺑﺎﻟﻨﺴﺒﺔ ﺇﻟﻰ ﻏﻴﺮﻩ - ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ - ﻧﻘﻴﺼﺔ ﻓﻲ ﺫﺍﺗﻪ ﻛﺎﻷﻣﻴﺔ، ﺃﻭ ﺑﺎﻋﺘﺒﺎﺭ ﻋﺮﻑ ﺍﻟﻌﻮﺍﻡ ﺍﻟﻄﺎﺭﺉ ﻛﺎﻟﻔﻘﺮ ﻭﺭﻋﻲ ﺍﻟﻐﻨﻢ

“Beliau menjawab, pertengkaran yang demikian ini merupakan hal yang wajib dihindari oleh siapa pun dengan sebenar-benarnya. Sebab dapat menciptakan hal-hal negatif yang tidak dapat diatasi dan dicegah. Terlebih, banyak di antaranya yang dapat menyebabkan persepsi negatif kepada orang awam dengan menyebut beberapa kekurangan Nabi ﷺ yang pada hakikatnya hal tersebut merupakan kesempurnaannya yang agung.”
Meski beberapa beberapa di antaranya merupakan sifat kurang bila dinisbatkan kepada selain Nabi, seperti buta huruf, atau berdasarkan penilaian khalayak umum yang baru seperti sifat fakir dan profesi menggembala kambing.

ﻓﺘﻌﻴﻦ ﺍﻹﻣﺴﺎﻙ ﻋﻦ ﺫﻟﻚ ﻭﺗﺄﻛﺪ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻮﻻﺓ ﻭﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ ﻣﻨﻊ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻣﻦ ﺍﻹﻟﻤﺎﻡ ﺑﺸﻲﺀ ﻣﻦ ﺗﻠﻚ ﺍﻟﻤﺴﺎﻟﻚ ﻓﺈﻧﻬﺎ ﻓﻲ ﺍﻟﺤﻘﻴﻘﺔ ﻣﻦ ﺃﻋﻈﻢ ﺍﻟﻤﻬﺎﻟﻚ

“Maka, wajib untuk mencegah dari perbuatan tersebut. Wajib bagi pemerintah dan ulama untuk mencegah manusia dari menetapi perbuatan-perbuatan tersebut, karena sesungguhnya hal tersebut termasuk tempat kebinasaan yang besar.”

ﻭﻗﺪ ﺑﺎﻟﻎ ﺍﻟﺤﺎﻓﻆ ﺍﻟﺠﻼﻝ ﺍﻟﺴﻴﻮﻃﻲ ﺷﻜﺮ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﺒﺎﺭﻙ ﻭﺗﻌﺎﻟﻰ ﺳﻌﻴﻪ . ﻓﺄﻓﺘﻰ ﺑﻮﺟﻮﺏ ﺍﻟﺘﻌﺰﻳﺮ ﺍﻟﺒﻠﻴﻎ ﻋﻠﻰ ﻣﻦ ﻋﻴﺮ ﻭﻟﺪﻩ ﺑﺮﻋﻲ ﺍﻟﻤﻌﺰﻯ ﻓﻘﺎﻝ ﻣﺴﺘﺪﻻ ﻋﻠﻰ ﺃﻥ ﺫﻟﻚ ﻟﻴﺲ ﺑﻨﻘﺺ ﺍﻷﻧﺒﻴﺎﺀ ﺭﻋﻮﺍ ﺍﻟﻤﻌﺰﻯ؛ ﻷﻥ ﻣﻘﺎﻡ ﺍﻷﻧﺒﻴﺎﺀ - ﻋﻠﻴﻬﻢ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺍﻟﺴﻼﻡ - ﺃﺟﻞ ﻣﻦ ﺃﻥ ﻳﻀﺮﺏ ﻣﺜﻼ ﻵﺣﺎﺩ ﺍﻟﻨﺎﺱ

“Bahkan, Imam Suyuthi berpandangan lebih tentang masalah ini, beliau berfatwa wajib menghukum dengan hukuman seberat-beratnya bagi orang yang menghina anaknya dengan profesi menggembala kambing, beliau berargumen bahwa menggembala kambing tidak menunjukan kekurangan para Nabi, sebab derajat para Nabi lebih besar untuk dibanding-bandingkan dengan individu manusia yang bukan Nabi.” (Syekh Ibnu Hajar al Haitami, al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra , juz.4, hal.236).

Walhasil, sikap membela tokoh tertentu dengan membandingkannya dengan Nabi merupakan hal yang tercela, dapat menodai kemuliaan derajat Nabi.
Tidak selayaknya bagi Muslim yang baik untuk melakukannya dan bagi siapa pun tidak patut untuk menirunya. Bila memungkinkan, pemerintah perlu mengeluarkan tindakan tegas agar hal demikian tidak terulang lagi.

Berpolitik memang harus berdasarkan ajaran akhlak dan teladan luhur dari Rasulullah, tapi bukan dengan mempolitisasi nama beliau ﷺ yang agung, untuk kepentingan ego kelompok dan diri sendiri. Wallahu a’lam bish shawab. (M. Mubasysyarum Bih)

http://www.nu.or.id/post/read/96853/larangan-membawa-bawa-nabi-dalam-pertengkaran-politik
Membawa-bawa Nama Nabi SAW Sebagai Pembelaan Atas Kekeliruannya Sendiri, Bolehkah? Ini Penjelasannya Membawa-bawa Nama Nabi SAW Sebagai Pembelaan Atas Kekeliruannya Sendiri, Bolehkah? Ini Penjelasannya Reviewed by Erhaje88 Blog on October 07, 2018 Rating: 5

No comments:

Erhaje88 tidak bertanggung jawab atas isi komentar yang ditulis. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Stay Connected

Powered by Blogger.