Sidebar Ads

banner image

KH Ma'ruf Amin, Diantara Rais Aam PBNU dan Ketua Umum MUI


Oleh: Abdullah Nasikin*

Posisi KH Ma'ruf Amin sebagai Rais Am PBNU & Ketum MUI ini amanah yang luar biasa berat secara institusi, bukan soal kealiman individual. Kepemimpinan KH Ma'ruf Amin sebagai Rais Am PBNU dan Ketum MUI itu wujuduhu ka 'adamihi (keberadaannya seperti tidak ada), seperti simbol belaka.
Beliau seolah tidak terlibat aktif dari dinamika organisasi sehari-hari, seakan jarang terjangkau oleh persoalan aktual umat. Keberadaan KH Ma'ruf Amin pada Syuriah gaungnya kurang kencang dibanding gerak langkah Tanfidziyah yang lebih membahana. Rais Am itu pemimpin tertinggi NU, bukan Ketum Tanfidziyah dimana hanya pelaksana roda organisasi saja.


Di MUI juga hampir sama, KH Ma'ruf Amin hanya simbol belaka, karena yang memegang kekuasaan di MUI bukan ketua umum dan wakilnya, tapi ketua harian. Yang mana dalam ketua harian MUI diisi oleh orang-orang yang selama ini sering kontra dengan NU. Sehingga keputusan yang diambil oleh MUI lebih banyak menguntungkan mereka yang biasa kontra NU.

Dulu (bahkan sampai kemarin) mereka meragukan keahlian KH Ma'ruf Amin sebagai Rais Am PBNU, dan sangat mungkin di lain hari nanti mereka akan menghina KH Ma'ruf Amin. Saya sendiri tidak heran jika sampai KH Ma'ruf Amin sampai dihina. Sebab Cendekiawan, Kiyai, atau bahkan Ulama sekaliber Abdurrahman Wahid alias Gus dur saja pernah dihina dengan kata-kata yang tidak pantas oleh pentolan mereka, karena tidak sepaham dengan mereka.

 Mereka pernah berkata bahwa "Gus Dur buta mata buta hatinya!
Bukan hanya Gus Dur, bahkan almarhum KH Sahal Mahfudz, ulama yang faqih pun turut dihina.
Kini bisa dikatakan tiap hari KH Said Aqil Siradj Ketua Umum Nahdlatul Ulama (NU) saat ini pun tak luput dari cercaan dan hinaan memalukan dari mereka yang tidak sama sekali menggambarkan kualitas akhlak Islam.
Tak ketinggalan pula Habib Luthfi bin Yahya, KH Maimoen Zubair, KH Mustofa Bisri (Gus Mus), Habib Quraisy Shihab, KH Ainun Nadjib (Cak Nun) serta ulama lainnya yang mendapat hinaan dan caci maki.
Tak peduli bahwa ulama besar tersebut sudah terkenal di kalangan ulama Islam di dunia.

Hari ini mereka berteriak seperti pemegang sah legitimasi ajaran agama. Penentu mana yang benar dan mana yang salah. Mana yang harus dilakukan dan mana yang tidak. Apakah sedemikian hebatnya diri mereka sehingga siapa saja, ya, siapa saja yang tidak sepemahaman dengan mereka akan langsung di cap tidak Islam dan tidak beriman.
 Mereka itu siapa? Apakah ulama-ulama Islam dunia mengakui kualitas dan keulamaan mereka-mereka itu?
Mereka menyerang sebagian lain dengan tuduhan-tuduhan memalukan. Katanya tidak mampu menjaga lisan, arogan, sombong dan lain sebagainya. Padahal yang mereka pertontonkan tidak jauh berbeda. Mereka malah justru memperagakan peran yang penuh kepongahan, kesombongan dan semacamnya.
 Dengan mudahnya menghujat, menghina ulama yang lain dengan bahasa-bahasa kotor.

=> Tonton Video Habib Rizieq Shihab Hina (alm) Gus Dur Dengan Sebutan Buta Mata Buta Hati:


Hujatan dan hinaan terhadap ulama NU bukan hanya datang dari anak-anak ingusan kemarin sore yang baru melek ke-Islaman dan ke-Indonesiaan. Akan tetapi juga datang dari mereka yang sudah dewasa dan katanya sudah Islam sejak lahir, serta para pemimpinnya.

Jika kemarin waktu hangatnya aksi 411 dan 212, mereka melihat KH Ma'ruf Amin sebagai Ketua Umum MUI, sehingga membuat persepsi apa yang dikatakan oleh KH Ma'ruf Amin itu identik atau mewakili MUI. Mereka tidak bisa membedakan kapasitas KH Ma'ruf Amin antara sebagai Ketua Umum MUI, sebagai Rais 'Am PBNU, atau sebagai Kepala Rumah Tangga. Namun kini mereka melihat KH Ma'ruf Amin sebagai Rais 'Am PBNU disaat ada upaya membenturkan NU dengan Pemerintah, sehingga dibuatlah berita super panas mengenai Rais Am PBNU.

Namun begitu hendaknya kita sebagai nahdliyyin bisa bersikap dengan adil dan bijaksana dengan tidak mudah tersulut dan terseret dalam konflik horizontal yang memang kelihatan sekali sudah direkayasa sebelumnya.
Dengan adanya benturan, maka kita menjadi bentrok, hingga hilangnya kepercayaan warga NU kepada pemerintah. Undang-undang kita telah mengatur bahwa setiap orang sama kedudukan di hadapan hukum. Dalam hal ini, kita harus melihat lebih jernih.

Dan sekarang...
Mereka ramai-ramai berteriak bela Rais Am PBNU (KH Ma'ruf Amin). Ya bagus juga sih, walau sangat kelihatan sekali perbedaan pembelaan yang dilakukan Nahdliyyin. Terlihat ada sesuatu hal demi mencapai maksud dan keuntungan mereka.
Namun kita juga perlu ucapkan syukur Alhamdulillah, memang benar apa yang dikatakan oleh ulama pendahulu NU bahwa pada akhirnya mereka akan menjadi NU. Tapi ya jelas beda antara NU yang sudah berakar kuat dan NU cangkokan (dadakan).
Warga NU asli jika marah tetap memegang adab, sedangkan warga NU dadakan sepertinya sudah siap saling cabut nyawa.
Hanya untuk urusan sekelas Pilkada DKI, itu terlalu kecil bagi PBNU. Karena PBNU tidak cuma kelas Nasional, namun sudah Internasional. Orang NU yang tinggal di DKI, dan punya hak pilih pun tidak cuma memilih satu calon Gubernur, namun ada diantara ketiga cagub DKI. Bahkan tim sukses dari ketiga calon tersebut juga ada orang NU.
 Ini bukan suatu perpecahan melainkan kebebasan memilih dan menggunakan hak sebagai warga negara. Jadi ya tidak mungkin jika Ahok & Tim-nya akan menuntut KH Ma'ruf Amin, karena tim suksesnya juga ada orang NU yang sangat ta'dhim kepada pimpinannya (ulama). Jangankan warga NU yang ada di DKI, semua warga NU se-Indonesia pun akan siap sedia menjaga dan melindungi Pemimpinnya jika memang terjadi ancaman demi menjaga marwahnya, karena dalam NU terkenal dengan Sami'na wa Atha'na.
 Namun begitu, warga NU dalam membela dan menjaga pemimpinnya tidak boleh menuruti kehendak nafsunya sendiri, harus tunggu arahan dari para Ulama dan Masyayikh kita di PBNU. Kepala boleh panas, tapi hati harus tetap dingin.


Nahdlatul Ulama (NU) sebagai Ormas Islam terbesar di Indonesia, yang usianya kini sudah menginjak 91 tahun sejak awal kelahirannya telah banyak terlibat dalam penegakan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. NKRI berdiri melalui darah ulama dan para santri, maka kewajiban warga Nahdiyin untuk tetap menjaga NKRI sampai kiamat.
Sebagai Ormas Islam, NU tidak memaksakan negara Indonesia menjadi negara agama. NU mempunyai komitmen tinggi untuk tetap mempertahankan Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara. Sebab, Pancasila menjadi salah satu warisan ulama untuk menciptakan keharmonisan di dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Walau sekarang ini ada kelompok yang ingin menjadikan Indonesia menjadi negara khilafah, maka dengan tegas kita menolaknya. Saat ini Indonesia sedang dihantam oleh persoalan intoleransi. Toleransi menjadi barang yang tidak mudah didapatkan saat ini.
Banyak kelompok yang memprovokasi, kalau ada yang membela Pancasila malah dikafirkan. Dan NU akan tetap menjadi pengawal NKRI.
Bangsa dan Negara Indonesia itu berhutang kepada NU. Lalu bagaimana membayarnya pada NU? Yaitu dengan cara ikut mengembangkan NU. Ibarat kata, NU itu sebuah universitas yang harus menjaga standar dan kualitas. Ikut membantu memajukan NU dengan menjaga kualitas merupakan bentuk bayar utang budi dari kita sebagai warga Negara Indonesia, khususnya warga NU. Kalau NU maju, bangsa ini juga maju. Musuh sejati kita bukanlah sesama anak bangsa Indonesia, melainkan kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan.

Untuk itu mari sibukkan diri kita dengan kerja, karya dan khidmah untuk bangsa, negara dan agama.
Sebarkan kedamaian dan kesejukan.
Garuda di dada kita, Pancasila Jaya!
Bintang Sembilan tetap di hati kita.

Pekalongan, 3 Februari 2017. 00:02 WIB

*Penulis lepas aktif di Facebook

KH Ma'ruf Amin, Diantara Rais Aam PBNU dan Ketua Umum MUI KH Ma'ruf Amin, Diantara Rais Aam PBNU dan Ketua Umum MUI Reviewed by Erhaje88 Blog on February 03, 2017 Rating: 5

No comments:

Erhaje88 tidak bertanggung jawab atas isi komentar yang ditulis. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Stay Connected

Powered by Blogger.