Sidebar Ads

banner image

NU Hancur, Indonesia Akan Hancur Pula

"Keberagaman adalah keunggulan Indonesia. Allah sudah menempatkan kita sebagai bangsa Indonesia, untuk bersyukur, hargailah perbedaan yang ada. Okelah saya keturunan Arab, namun bangsa saya bangsa Indonesia. Saya turunan Arab namun saya orang Jawa" (Habib Luthfi bin Yahya)

(Habib Luthfi bin Yahya (kedua dari kiri) didampingi Kapolres Brebes AKBP Luthfie Sulistiawan (kedua dari kanan) dan Wadir Binmas Polda Jateng AKBP Bambang Murdoko (kiri) saat berbicara di depan ratusan anggota Banser Kabupaten Brebes, Tegal dan Kota Tegal, Selasa (31/1/2017). TRIBUN JATENG/MAMDUKH ADI PRIYANTO)

Oleh: Ahmad Tsauri

Hampir di semua pusat Islam, seperti Al-Azhar di Mesir, Universitas Zaitunah di Tunisia, Universitas Al-Qarawiyin Maroko, majelis-majelis di Masjid al-Haram di Mekah dan sekitar masjid Nabawi di Madinah sebelum Syarif Husein di gulingkan oleh al-Saud, demikian juga ulama-ulama Mouritania, semua menganut paham Asy'ariyah-Maturidiyah. Paham akidah yang di ajarkan oleh para ulama di negara-negara tersebut, dan dikawal oleh lembaga-lembaga pendidikan tertua di negaranya berhasil membuat masyarakat moderat. Misalnya meskipun di al-Azhar menganut paham Asy'ariyah namun Grand Syeikh dan para Syeikh Azhar terbuka terhadap aneka bacaan aneka paham Islam, pemikiran Barat dan Timur.

 Demikian juga di Haramain (dua kota suci) dahulu, ulama berkualifikasi dari semua madzhab fikih, Hanafi, Maliki, Syafii dan Hanbali membuka halaqah di dalam dan diluar masjid yang diikuti banyak pelajar dan sarjana Islam dari belahan dunia.
 Tak terkecuali di Indonesia, para ulama dan masyarakat sebelum era Wahabisme dan Abduhisme menganut paham Asy'ariyah dan Maturidiyah. Kenapa paham ini adaptif terhadap segala situasi kondisi, budaya sosial dan politik? Karena paham ini menggabungkan pendekatan teks (nash: Al-Quran dan hadis) sekaligus dengan dialektika berpikir, manthiq dan ilmu Kalam.

 Ahlu Sunnah lebih spesifik, Asy'ariyah Maturidiyah apapun madzhab fikihnya baik Syafi'iyah maupun Hanafiyah mempunyai tradisi kesarjanaan yang dekat dengan Syiah, keduanya memiliki pola kesarjanaan yang sama, yakni ekplorasi teks sekaligus memaksimalkan fungsi akal dan logika yang dibingkai oleh al-nash dan muhkamat, Ijma' manthiq (sistem logika) dan Ushul fikih.
 Tradisi kesarjanaan ini tidak dimiliki oleh penganut Wahabisme, Abduhisme, Al-Irsyad, Persis, FUI dan FPI.
Yang terakhir ini lebih karena mimpi khilafah dan tabiat Imam besarnya.
 Berbeda dengan negara-negara yang disebutkan di atas, di Indonesia tradisi kesarjanaan itu dilembagakan dalam wadah yang disebut Nahdhatul Ulama.

Alasan-alasan diatas yang membuat NU mudah menyesuaikan dan bisa berperan dalam setiap kondisi zaman.
 Di era Hadratus Syeikh NU harum karena peran perjuangan Kiai dan santri terutama pasca resolusi jihad Hadratus Syeikh. Di setiap era Rais 'Am dan Ketua Umum mempunyai kiprah spektakuler yang memberi solusi problem di eranya. 

 Hingga kini, NU dan badan Otonom dibawahnya seperti Ansor Banser menjadi garda depan dalam membela bangsa.
 Banser menjaga Gereja bukan karena mengamini keyakinan dan praktek ibadah non muslim melainkan menjaga mereka dari ulah jahil oknum Islam sendiri, demikian juga membubarkan HTI bukan karena benci terhadap individunya akan tetapi karena cinta keutuhan NKRI. 

 Karena alasan diatas saya keberatan kalau NU disebut ormas tradisional konservatif dan Muhammadiyah moderat. NU tradisional 'hanya' dalam manajemen organisasi tapi moderat dan maju dalam ilmu keislaman, demikian Muhammadiyah 'hanya' modern dalam manajemen organisasi tapi konservatif dalam pemikiran keagamaan.
 Bisa dilihat dari kecenderungan warganya terhadap pelaku makar atau aksi terorisme. Kata maulana Habib Luthfi dalam pertemuan terakhir dengan Romo yai Anwar Manshur Lirboyo, "Semua ketua umum NU pada masanya, terutama Gus Dur dan Prof Said Aqil banyak dimusuhi karena perjuangan keduanya dalam membawa NU untuk menjadi solusi bagi permasalahan bangsa ini.
Dan apa yang dihadapi prof Said Aqil Siradj lebih berat dari tantangan yang dihadapi Gus Dur, oleh karenanya harus kita dukung penuh". 

 Kita bersyukur paham keagamaan yang dianut oleh mayoritas masyarakat Islam di dunia sebelum menjamurnya paham Wahabi, di Indonesia dilembagakan. Berbeda dengan negara-negara diatas. Sehingga paham Asy'ariyah di Tunisia terutama Arab Saudi tergerus dengan cepat. Akibatnya paham fundamentalis dan teroris di negara-negara Islam Timur tengah berkembang bak jamur di musim penghujan. Lalu diimpor ke berbagai negara, Barat Eropa termasuk Indonesia.
 Kalau tidak ada NU, sedari lahir bangsa Indonesia tinggal nama. Jadi tidak "CUMA" karena tanpa NU kalian tidak akan tentram beranak Pinak dinegeri ini. Camkan itu !

NU Hancur, Indonesia Akan Hancur Pula NU Hancur, Indonesia Akan Hancur Pula Reviewed by Erhaje88 Blog on April 25, 2017 Rating: 5

No comments:

Erhaje88 tidak bertanggung jawab atas isi komentar yang ditulis. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Stay Connected

Powered by Blogger.