Oleh: Musoffa Irfan*
Kemenangan Timnas Sepak bola U-18 atas Brunei Darussalam 8-0, mengantarkan tim besutan Indra Sjafri itu melaju ke babak semi final Piala AFF U-18. Kemenangan ini membuka asa bagi Timnas untuk meraih tropi, dan sekaligus sebagai pelipur lara setelah Timnas U-21 babak belur di Sea Games Malaysia sebelumnya.
Kemenangan Timnas disambut gegap-gempita luar biasa. Dan tiba-tiba, kecintaan kepada Indonesia begitu kuat serta kembali subur. "Aku cinta Indonesia..!", "Indonesia yessss..!", "Indonesia Bisa..! Begitu kira-kira kalimat yang keluar dari para pemirsa untuk mengekspresikan kegembiraannya. Tak bisa dipungkiri, bahwa sepak bola rupanya bisa menjadi senjata politik yang ampuh untuk menggalang nasionalisme dan semangat patriotisme. Lihat saja..
Pada tahun 1982, Argentina mencoba merebut kepulauan Malvinas yang telah dikuasai Inggris sejak tahun 1833. Upaya Argentina tersebut memicu perang dengan Inggris selama 74 hari yang dikenal dengan Perang Malvinas.
Kekalahan Argentina dalam Perang Malvinas, memicu dendam untuk membalas sakit hati. Momentum itu datang saat Piala Dunia 1986, Timnas Argentina bertemu Inggris di perempat final. Dengan kemenangan Argentina 1-0, melalui gol semata wayang yang dicetak Diego Armando Maradona, melalui gol tangan Tuhan.
(Dengan menggunakan tangan kirinya, Diego Maradona melesakkan bola ke gawang Inggris di perempat final Piala Dunia 1986.)
Pada Piala Dunia 1950, Timnas Indonesia melaju ke babak kualifikasi. Tiba-tiba Soekarno melarang untuk melanjutkan, ketika Timnas Indonesia bertemu Israel.
Sikap Soekarno jelas sangat politis, karena Soekarno menganggap Israel adalah bangsa penjajah, dan tidak pantas bertemu Indonesia di panggung resmi sepak bola.
Jauh sebelum itu, pada tahun 1930, Aldolf Hitler pernah menginvasi Austria, yang saat itu memiliki kekuatan sepak bola terhebat di benua Eropa. Hitler bertujuan agar para pemain Austria bersedia bermain untuk Jerman. Dan ketika pemain legendaris Matias Sindelaar tetap menolak, ia pun akhirnya dibunuh oleh Hitler.
Begitu juga pada Piala Dunia 1934. Beneto Mussolini, mengancam akan membunuh semua pemain Italia jika mereka gagal merebut juara. Ancaman tersebut dikenal dengan istilah Crash. Italia akhirnya merebut juara setelah di final mengalahkan Cekoslovakia dengan skor 2-1.
Jadi, jika saat ini etos nasionalisme dan semangat kebangsaan kita mulai dipertanyakan, maka lapangan hijau sepak bola bisa digunakan sebagai instrumen untuk memperkokoh kesadaran nasional.
Bukan hanya sekedar menggali dalil-dalil tekstual agama, bukan pula melalui Penataran Pancasila. Kesadaran dan kecintaan kepada tanah air akan tumbuh dengan subur ketika bangsa ini mampu melahirkan sesuatu yang dapat dibanggakan oleh rakyatnya.
Tapi sayangnya, para elite politik tidak menyadari itu, dan sekedar menjadikan sepak bola sebagai industri.
Saya percaya, jika saja Timnas Indonesia mampu menjadi juara piala dunia, boleh jadi orang-orang HTI akan melupakan mendirikan khilafah, dan para aktivis Wahabi tidak lagi sibuk memanjangkan jenggot sembari menghujat muslim lain yang beda dengannya. Tapi mereka akan belajar bermain bola meski tetap pakai baju gamis dan peci kaji, dan tentubtak lupa pakai serban...
*(facebook/musoffairfan)
Kemenangan Timnas Sepak bola U-18 atas Brunei Darussalam 8-0, mengantarkan tim besutan Indra Sjafri itu melaju ke babak semi final Piala AFF U-18. Kemenangan ini membuka asa bagi Timnas untuk meraih tropi, dan sekaligus sebagai pelipur lara setelah Timnas U-21 babak belur di Sea Games Malaysia sebelumnya.
Kemenangan Timnas disambut gegap-gempita luar biasa. Dan tiba-tiba, kecintaan kepada Indonesia begitu kuat serta kembali subur. "Aku cinta Indonesia..!", "Indonesia yessss..!", "Indonesia Bisa..! Begitu kira-kira kalimat yang keluar dari para pemirsa untuk mengekspresikan kegembiraannya. Tak bisa dipungkiri, bahwa sepak bola rupanya bisa menjadi senjata politik yang ampuh untuk menggalang nasionalisme dan semangat patriotisme. Lihat saja..
Pada tahun 1982, Argentina mencoba merebut kepulauan Malvinas yang telah dikuasai Inggris sejak tahun 1833. Upaya Argentina tersebut memicu perang dengan Inggris selama 74 hari yang dikenal dengan Perang Malvinas.
Kekalahan Argentina dalam Perang Malvinas, memicu dendam untuk membalas sakit hati. Momentum itu datang saat Piala Dunia 1986, Timnas Argentina bertemu Inggris di perempat final. Dengan kemenangan Argentina 1-0, melalui gol semata wayang yang dicetak Diego Armando Maradona, melalui gol tangan Tuhan.
Pada Piala Dunia 1950, Timnas Indonesia melaju ke babak kualifikasi. Tiba-tiba Soekarno melarang untuk melanjutkan, ketika Timnas Indonesia bertemu Israel.
Sikap Soekarno jelas sangat politis, karena Soekarno menganggap Israel adalah bangsa penjajah, dan tidak pantas bertemu Indonesia di panggung resmi sepak bola.
Jauh sebelum itu, pada tahun 1930, Aldolf Hitler pernah menginvasi Austria, yang saat itu memiliki kekuatan sepak bola terhebat di benua Eropa. Hitler bertujuan agar para pemain Austria bersedia bermain untuk Jerman. Dan ketika pemain legendaris Matias Sindelaar tetap menolak, ia pun akhirnya dibunuh oleh Hitler.
Begitu juga pada Piala Dunia 1934. Beneto Mussolini, mengancam akan membunuh semua pemain Italia jika mereka gagal merebut juara. Ancaman tersebut dikenal dengan istilah Crash. Italia akhirnya merebut juara setelah di final mengalahkan Cekoslovakia dengan skor 2-1.
Jadi, jika saat ini etos nasionalisme dan semangat kebangsaan kita mulai dipertanyakan, maka lapangan hijau sepak bola bisa digunakan sebagai instrumen untuk memperkokoh kesadaran nasional.
Bukan hanya sekedar menggali dalil-dalil tekstual agama, bukan pula melalui Penataran Pancasila. Kesadaran dan kecintaan kepada tanah air akan tumbuh dengan subur ketika bangsa ini mampu melahirkan sesuatu yang dapat dibanggakan oleh rakyatnya.
Tapi sayangnya, para elite politik tidak menyadari itu, dan sekedar menjadikan sepak bola sebagai industri.
Saya percaya, jika saja Timnas Indonesia mampu menjadi juara piala dunia, boleh jadi orang-orang HTI akan melupakan mendirikan khilafah, dan para aktivis Wahabi tidak lagi sibuk memanjangkan jenggot sembari menghujat muslim lain yang beda dengannya. Tapi mereka akan belajar bermain bola meski tetap pakai baju gamis dan peci kaji, dan tentubtak lupa pakai serban...
*(facebook/musoffairfan)
Antara Sepakbola dan Nasionalisme
Reviewed by Erhaje88 Blog
on
September 14, 2017
Rating:
No comments:
Erhaje88 tidak bertanggung jawab atas isi komentar yang ditulis. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE