Tobat adalah pintu masuk pertama seorang hamba menuju Allah SWT. Tobat itu sendiri memiliki banyak ruangan yang harus dilewati mulai dari ruang depan, ruang tengah, hingga ruang terakhir. Ini yang disebut oleh Imam As-Sya‘rani sebagai wa lahâ bidâyah wa nihâyah .
Menurut Imam As-Sya‘rani dalam Al-Minahus Sasniyyah , tobat memiliki jenjang terendah hingga jenjang tertinggi. Tobat dari kekufuran, kemusyrikan, larangan-larangan haram, larangan makruh, dari amalan khilaful aula, dan seterusnya.
Tetapi biasanya orang yang baru bertobat cenderung tak bisa menahan nafsunya dari kehausan ibadah. Di luar ibadah wajib, orang yang baru tobat ini cenderung menghabiskan waktunya untuk ibadah-ibadah tambahan (nafilah atau sunah). Mereka mengamalkan dengan semangat puasa sunah, shalat-shalat sunah, berkali-kali ke Masjidil Haram hanya untuk umrah, menggelar santunan-santunan sosial, gerakan politik yang bertopeng gerakan keislaman, dan hal-hal yang tidak perlu lainnya.
Jelasnya ia menghabiskan waktu untuk ibadah tambahan demi memuaskan nafsu dahaga ibadahnya. Ini yang disinggung oleh Syekh Ibnu Athaillah dalam Al-Hikam sebagai ibadah karena dorongan nafsu:
ﻣﻦ ﻋﻼﻣﺔ ﺍﺗﺒﺎﻉ ﺍﻟﻬﻮﻯ ﺍﻟﻤﺴﺎﺭﻋﺔ ﺇﻟﻰ ﻧﻮﺍﻓﻞ ﺍﻟﺨﻴﺮﺍﺕ ﻭﺍﻟﺘﻜﺎﺳﻞ ﻋﻦ ﺍﻟﻘﻴﺎﻡ ﺑﺎﻟﻮﺍﺟﺒﺎﺕ
“Salah satu tanda (seseorang) menghamba pada hawa nafsu adalah kesegeraan dalam (memenuhi panggilan) kebaikan tambahan dan kelambatan dalam (memenuhi panggilan) kewajiban.”
Pernyataan Ibnu Athaillah tersebut kemudian diuraikan lebih lanjut oleh Ibnu Abbad dalam Syarhul Hikam-nya yang lazim dibaca di kalangan santri sebagai berikut:
ﻫﺬﻩ ﻣﻦ ﺍﻟﺼﻮﺭ ﺍﻟﺘﻰ ﻳﺘﺒﻴﻦ ﺑﻬﺎ ﺧﻔﺔ ﺍﻟﺒﺎﻃﻞ ﻭﺛﻘﻞ ﺍﻟﺤﻖ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻨﻔﺲ ﻭﻣﺎ ﺫﻛﺮﻩ ﻫﻮ ﺣﺎﻝ ﺃﻛﺜﺮ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻓﺘﺮﻯ ﺍﻟﻮﺍﺣﺪ ﻣﻨﻬﻢ ﺍﺫﺍ ﻋﻘﺪ ﺍﻟﺘﻮﺑﺔ ﻻ ﻫﻤﺔ ﻟﻪ ﺍﻻ ﻓﻲ ﻧﻮﺍﻓﻞ ﺍﻟﺼﻴﺎﻡ ﻭﺍﻟﻘﻴﺎﻡ ﻭﺗﻜﺮﺍﺭ ﺍﻟﻤﺸﻲ ﺍﻟﻰ ﺑﻴﺖ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻟﺤﺮﺍﻡ ﻭﻣﺎ ﺃﺷﺒﻪ ﺫﻟﻚ ﻣﻦ ﺍﻟﻨﻮﺍﻓﻞ ﻭﻫﻮ ﻣﻊ ﺫﻟﻚ ﻏﻴﺮ ﻣﺘﺪﺍﺭﻙ ﻟﻤﺎ ﻓﺮﻁ ﻣﻦ ﺍﻟﻮﺍﺟﺒﺎﺕ ﻭﻻ ﻣﺘﺤﻠﻞ ﻟﻤﺎ ﻟﺰﻡ ﺫﻣﺘﻪ ﻣﻦ ﺍﻟﻈﻼﻣﺎﺕ ﻭﺍﻟﺘﺒﻌﺎﺕ
“Ini merupakan salah satu bentuk di mana sesuatu yang semu itu jelas sangat ringan dikerjakan bagi nafsu. Sedangkan yang hakiki terasa berat bagi nafsu. Apa yang disebutkan Ibnu Athaillah merupakan pengalaman kebanyakan orang. Kaulihat kemudian salah seorang dari mereka itu kalau sudah bertobat itu tidak memiliki keinginan apapun selain mengamalkan puasa sunah, tahajud, pergi-pulang umrah sunah ke masjidil haram, dan amalan tambahan (nawafil/sunah) lainnya. Sedangkan pada saat yang bersamaan salah seorang dari mereka tidak bergerak menutupi kewajiban yang telah dilalaikannya dan tidak berupaya mengembalikan hak orang lain yang telah dizaliminya, serta menyelesaikan tanggung jawabnya,” (Lihat Ibnu Abbad An-Nafzi Ar-Randi, Syarhul Hikam, Semarang, Maktabah Al-Munawwir, juz II, halaman 30).
Padahal tugas paling mendasar dari seseorang yang bertobat adalah menunaikan kewajiban seperti membayar utang, mengembalikan sesuatu yang pernah dirampas secara zalim, meminta maaf kepada korban yang telah dicederai harga diri dan martabatnya, dan tentu saja menambal bolong-bolong kewajiban shalat, puasa, zakat yang telah dilalaikan di waktu-waktu yang sudah. Di samping itu tugas orang yang baru tobat adalah menahan diri dari segala maksiat, baik maksiat mulut, tangan, kaki, kelamin, mata, telinga, dan tentu saja maksiat hati.
( Baca artikel terkait: Anda Type Religius atau Spiritualis? )
Tetapi kenapa itu bisa terjadi? Kenapa orang yang baru tobat lebih memilih amaliyah nafilah-sunah yang semu itu ketimbang amaliyah wajib yang hakiki sebagai tanggung jawabnya?
Pertama, aktivitas menunaikan kewajiban tidak mengandung keistimewaan dan keutamaan apapun. Lain dengan amalan sunah yang “menjanjikan” sesuatu bagi yang mengamalkannya.
Kedua, mereka tidak menggembleng dan mendidik nafsu ibadah yang menipu mereka. Mereka tidak sanggup mengendalikan kehendak-kehendak nafsu yang menyenangkan dan menguasai mereka. Wallahu a‘lam.
( Alhafiz K/NU Online )
Menurut Imam As-Sya‘rani dalam Al-Minahus Sasniyyah , tobat memiliki jenjang terendah hingga jenjang tertinggi. Tobat dari kekufuran, kemusyrikan, larangan-larangan haram, larangan makruh, dari amalan khilaful aula, dan seterusnya.
Tetapi biasanya orang yang baru bertobat cenderung tak bisa menahan nafsunya dari kehausan ibadah. Di luar ibadah wajib, orang yang baru tobat ini cenderung menghabiskan waktunya untuk ibadah-ibadah tambahan (nafilah atau sunah). Mereka mengamalkan dengan semangat puasa sunah, shalat-shalat sunah, berkali-kali ke Masjidil Haram hanya untuk umrah, menggelar santunan-santunan sosial, gerakan politik yang bertopeng gerakan keislaman, dan hal-hal yang tidak perlu lainnya.
Jelasnya ia menghabiskan waktu untuk ibadah tambahan demi memuaskan nafsu dahaga ibadahnya. Ini yang disinggung oleh Syekh Ibnu Athaillah dalam Al-Hikam sebagai ibadah karena dorongan nafsu:
ﻣﻦ ﻋﻼﻣﺔ ﺍﺗﺒﺎﻉ ﺍﻟﻬﻮﻯ ﺍﻟﻤﺴﺎﺭﻋﺔ ﺇﻟﻰ ﻧﻮﺍﻓﻞ ﺍﻟﺨﻴﺮﺍﺕ ﻭﺍﻟﺘﻜﺎﺳﻞ ﻋﻦ ﺍﻟﻘﻴﺎﻡ ﺑﺎﻟﻮﺍﺟﺒﺎﺕ
“Salah satu tanda (seseorang) menghamba pada hawa nafsu adalah kesegeraan dalam (memenuhi panggilan) kebaikan tambahan dan kelambatan dalam (memenuhi panggilan) kewajiban.”
Pernyataan Ibnu Athaillah tersebut kemudian diuraikan lebih lanjut oleh Ibnu Abbad dalam Syarhul Hikam-nya yang lazim dibaca di kalangan santri sebagai berikut:
ﻫﺬﻩ ﻣﻦ ﺍﻟﺼﻮﺭ ﺍﻟﺘﻰ ﻳﺘﺒﻴﻦ ﺑﻬﺎ ﺧﻔﺔ ﺍﻟﺒﺎﻃﻞ ﻭﺛﻘﻞ ﺍﻟﺤﻖ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻨﻔﺲ ﻭﻣﺎ ﺫﻛﺮﻩ ﻫﻮ ﺣﺎﻝ ﺃﻛﺜﺮ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻓﺘﺮﻯ ﺍﻟﻮﺍﺣﺪ ﻣﻨﻬﻢ ﺍﺫﺍ ﻋﻘﺪ ﺍﻟﺘﻮﺑﺔ ﻻ ﻫﻤﺔ ﻟﻪ ﺍﻻ ﻓﻲ ﻧﻮﺍﻓﻞ ﺍﻟﺼﻴﺎﻡ ﻭﺍﻟﻘﻴﺎﻡ ﻭﺗﻜﺮﺍﺭ ﺍﻟﻤﺸﻲ ﺍﻟﻰ ﺑﻴﺖ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻟﺤﺮﺍﻡ ﻭﻣﺎ ﺃﺷﺒﻪ ﺫﻟﻚ ﻣﻦ ﺍﻟﻨﻮﺍﻓﻞ ﻭﻫﻮ ﻣﻊ ﺫﻟﻚ ﻏﻴﺮ ﻣﺘﺪﺍﺭﻙ ﻟﻤﺎ ﻓﺮﻁ ﻣﻦ ﺍﻟﻮﺍﺟﺒﺎﺕ ﻭﻻ ﻣﺘﺤﻠﻞ ﻟﻤﺎ ﻟﺰﻡ ﺫﻣﺘﻪ ﻣﻦ ﺍﻟﻈﻼﻣﺎﺕ ﻭﺍﻟﺘﺒﻌﺎﺕ
“Ini merupakan salah satu bentuk di mana sesuatu yang semu itu jelas sangat ringan dikerjakan bagi nafsu. Sedangkan yang hakiki terasa berat bagi nafsu. Apa yang disebutkan Ibnu Athaillah merupakan pengalaman kebanyakan orang. Kaulihat kemudian salah seorang dari mereka itu kalau sudah bertobat itu tidak memiliki keinginan apapun selain mengamalkan puasa sunah, tahajud, pergi-pulang umrah sunah ke masjidil haram, dan amalan tambahan (nawafil/sunah) lainnya. Sedangkan pada saat yang bersamaan salah seorang dari mereka tidak bergerak menutupi kewajiban yang telah dilalaikannya dan tidak berupaya mengembalikan hak orang lain yang telah dizaliminya, serta menyelesaikan tanggung jawabnya,” (Lihat Ibnu Abbad An-Nafzi Ar-Randi, Syarhul Hikam, Semarang, Maktabah Al-Munawwir, juz II, halaman 30).
Padahal tugas paling mendasar dari seseorang yang bertobat adalah menunaikan kewajiban seperti membayar utang, mengembalikan sesuatu yang pernah dirampas secara zalim, meminta maaf kepada korban yang telah dicederai harga diri dan martabatnya, dan tentu saja menambal bolong-bolong kewajiban shalat, puasa, zakat yang telah dilalaikan di waktu-waktu yang sudah. Di samping itu tugas orang yang baru tobat adalah menahan diri dari segala maksiat, baik maksiat mulut, tangan, kaki, kelamin, mata, telinga, dan tentu saja maksiat hati.
( Baca artikel terkait: Anda Type Religius atau Spiritualis? )
Tetapi kenapa itu bisa terjadi? Kenapa orang yang baru tobat lebih memilih amaliyah nafilah-sunah yang semu itu ketimbang amaliyah wajib yang hakiki sebagai tanggung jawabnya?
Pertama, aktivitas menunaikan kewajiban tidak mengandung keistimewaan dan keutamaan apapun. Lain dengan amalan sunah yang “menjanjikan” sesuatu bagi yang mengamalkannya.
Kedua, mereka tidak menggembleng dan mendidik nafsu ibadah yang menipu mereka. Mereka tidak sanggup mengendalikan kehendak-kehendak nafsu yang menyenangkan dan menguasai mereka. Wallahu a‘lam.
( Alhafiz K/NU Online )
Jlebbb...! Ibnu Athoillah Sindir Orang Yang Mendadak Religius
Reviewed by Erhaje88 Blog
on
September 11, 2017
Rating:
No comments:
Erhaje88 tidak bertanggung jawab atas isi komentar yang ditulis. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE