Oleh: Prof. Muhammad Machasin*
Sebelumnya<<<
Golongan Murji'ah Pecah Jadi 12 Kelompok
Abū al-Ḥasan al-Asyʻari dalam karya monumentalnya, Maqālāt al-Islāmiyyīn atau Keyakinan Aliran-Aliran dalam Islam, menyebutkan beberapa perbedaan di antara kaum Murji’ah. Mengenai iman, terdapat 12 kelompok yang berbeda di antara mereka. Perbedaan mereka terutama berasal dari paham mereka tentang iman: apakah iman adalah keyakinan atau pengetahuan yang ada di dalam hati saja atau mesti disertai dengan pernyataan dengan lisan atau hanya pernyataan dengan lisan saja.
Berdasarkan kriteria ini, ke-12 kelompok tadi dapat diringkas menjadi empat.
Pertama, mereka yang mengatakan bahwa iman adalah pengetahuan tentang Allah yang dinyatakan dengan lisan. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah: Yūnus bin ‘Aun al-Numairī dan Abu Syamr serta para pengikutnya yang disebut Syamriah. Termasuk di dlamnya kaum Najjāriah, para pengikut al-Ḥusain bin Muḥammad al-Najjār; Ghailāniah, para pengikut Ghailān al-Dimasqī (w. 106 H/724 M); Syabībiah, para pengikut Muḥammad bin Syabīb al-Baṣrī; Ḥanafiah, yakni para pengikut Abū Ḥanīfah; dan Marīsiah para pengikut Bisyr bin Ghiyāts al-Marīsī (w. 218 H/833 M).
Kedua, mereka yang mengatakan bahwa iman hanyalah pengetahuan tentang Allah. Mereka adalah kaum Jahmiah, yakni para pengikut Jahm bin Ṣafwān (w. 128 H/746 M); kaum Ṣāliḥiah, yakni para pengikut Abū al-Ḥusain Ṣaliḥ bin ‘Umar al-Ṣālihī dan Yūnusiah, yakni para pengikut Yūnus bin ‘Aun al-Numairī yang menyimpang dari pendapat guru mereka sendiri.
Ketiga, mereka yang mengatakan bahwa iman hanyalah pernyataan dengan lisan. Mereka adalah kelompok Tsaubāniah, yakni para pengikut Abū Tsaubān; dan kaum Karrāmiah, para pengikut Muḥammad bin Karām al-Sijistānī.
Keempat, kaum Taumaniah, yakni para pengikut Abū Muʻādz al-Taumanī, yang menyatakan bahwa iman adalah hal-hal yang kalau salah satu saja tidak ada pada seseorang, maka ia kafir. Tidak terdapat keterangan yang jelas mengenai hal-hal itu.
Mereka semua dapat dikelompokkan lagi menjadi Murjiah jabbariah, Murjiah qadariah, Murjiah Khawārij dan Murjiah murni [cf. Syahrastānī, Milal]. Walaupun aliran ini tidak ada lagi di dalam sejarah Islam, namun pengaruhnya masih dapat ditemukan dalam aliran yang ada seperti Asy’ariah. Pendapat mereka tentang definisi iman dan sikap terhadap kekuasaan orang Islam yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran Islam tetap menarik minyak banyak orang, dengan penyesuaian dan pengembangan serta pengurangan di sana sini. Akan tetapi cukup sampai di sini saja pembicaraan tentang aliran ini.
Bab Mu’tazilah
1. Qadariah dan jabbariah
Di dalam al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang memberikan pengertian bahwa manusia tidak mempunyai kebebasan dalam memilih dan melakukan perbuatannya. Misalnya dikatakan, “Katakanlah: ‘Aku tak kuasa mendatangkan kemudaratan, tidak pula kemanfaatan untukku, kecuali yang dikehendaki Allah’,” (10/
Yūnus: 49), “Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi, tidak pula pada diri kalian melainkan telah tertulis di dalam kitab sebelum Kami menciptakannya,” (57/al-Ḥadīd: 22) dan “Bukan kalian yang membunuh mereka, melainkan Allahlah yang membunuh mereka; bukan kau yang melempar ketika kau lempar, melakukan Allahlah yang melempar.” (8-al-Anfāl: 17).
Selain itu juga ditemukan ayat-ayat lain yang menyatakan bahwa manusia memperoleh balasan dari apa yang dilakukannya. Misalnya disebutkan:
“Sungguh telah Kami jadikan banyak manusia dan jin untuk neraka Jahannam, mereka punya hati, tetapi tidak dipakai untuk memahami; punya mata, tapi tak dipakai untuk melihat dan punya telinga, tapi tak mereka pakai untuk mendengar; mereka seperti ternak, bahkan lebih sesat lagi; mereka itulah orang-orang yang lalai,” (7/al-Aʻrāf: 179), “Barangsiapa berbuat kebaikan, walaupun seberat atom, niscaya ia akan melihat (balasan)-nya; dan barangsiapa berbuat keburukan, walaupun seberat atom, niscaya ia akan melihat (balasan)-nya,” (99/al-Zalzalah: 7-8).
Akan tetapi, persoalan apakah manusia memilih dan menentukan sendiri perbuatannya ini baru menjadi obyek pemikiran kaum Muslim setelah lewat sekitar 70-an tahun dari kemangkatan Nabi Muhammad saw. Problem ini menimbulkan paham yang disebut jabariah dan qadariah. Yang pertama menyatakan bahwa manusia “dipaksa” oleh Allah untuk melakukan perbuatan tanpa kuasa untuk menentukan sendiri dan menciptakan perbuatannya, sementara yang kedua menyatakan bahwa manusia mampu melakukan perbuatan yang dipilihnya. Yang pertama menimbulkan problem balasan: kalau manusia dipaksa untuk berbuat, bagaimana ia dapat memperoleh balasan? Yang kedua: kalau manusia memilih sendiri perbuatannya dan karenanya mendapat balasan, apakah Allah wajib memberikan balasan di akherat nanti? Bagaimana Allah yang maha kuasa terkena kewajiban?
Awal Lahirnya Faham Qadariah dan Jabbariah
Beberapa penulis yang tidak suka dengan paham qadariah menyebutkan bahwa paham ini berasal dari seorang tokoh Nasrani yang bernama Yūḥanā al-Dimasyqī (Ιωάννης Δαμασκήνος—Iôannês Damaskênos—, Iohannes Damascenus, 676-749) yang sering ikut dalam perbincangan teologis di istana Bani Umayyah dan dan Theodore Abū Qurrā (Θεόδωρος Ἀβουκάρας, Theodoros Aboukaras 750-823). Akan tetapi, W. Montgomery Watt membantah pendapat itu dengan mengajukan cerita tentang perdebatan antara Maimūn dan Syuʻaib, tokoh Khawārij pengikut ‘Ajāridah. Perdebatan itu disebutkan dalam kitab Maqālāt al-Islāmiyyīn, karya al-Asyʻarī.
Diceritakan bahwa Syuʻaib berhutang kepada Maimūn. Ketika Maimūn menagih, Syuʻaib menjawab, “Akan aku bayar kepadamu kalau Allah menghendaki ( ﺃﻋﻄﻴﻜﻪ ﺇﻥ ﺷﺎﺀ ﺍﻟﻠﻪ )”.
Maimūn membalas, “Allah menghendaki agar kau bayar hutangmu sekarang juga ( ﻗﺪ ﺷﺎﺀ ﺍﻟﻠﻪ ﺃﻥ ﺗﻌﻄﻴﻨﻴﻪ ﺍﻟﺴﺎﻋﺔ )”.
Syuʻaib menyahut, “Kalau memang Allah menghendaki hal itu, aku pasti tak bisa lain kecuali membayarnya kepadamu ( ﻟﻮ ﺷﺎﺀ ﺍﻟﻠﻪ ﻟﻢ ﺃﻗﺪﺭ ﺃﻻ ﺃﻋﻄﻴﻜﻪ )”.
Kata Maimūn, “Sesungguhnya Allah menghendaki apa yang diperintahkannya, sedangkan yang tak Dia perintahkan tidak dikehendaki-Nya dan yang tak Dia kehendaki tak diperintahkan-Nya ( ﻓﺈﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﻗﺪ ﺷﺎﺀ ﻣﺎ ﺃﻣﺮ ﻭﻣﺎ ﻟﻢ ﻳﺄﻣﺮ ﻟﻢ ﻳﺸﺄ ﻭﻣﺎ ﻟﻢ ﻳﺸﺄ ﻟﻢ ﻳﺄﻣﺮ )”.
Perdebatan kedua kawan ini menimbulkan perpecahan: satu kelompok mengikuti Maimūn dan mereka disebut kaum Maimūniah, sementara yang lain mengikuti Syuʻaib, mereka disebut Syuʻaibiah. Kemudian mereka menyampaikan hal itu melalui surat kepada pemimpin mereka, ‘Abd al-Karīm al-‘Ajrad. Jawaban ‘Abd al-Karīm adalah: “Menurut pendapat kami, apa yang dikehendaki Allah pasti terjadi, sedangkan yang tidak dikehendaki-Nya tidak akan terjadi. Kami tidak menisbahkan hal buruk kepada Allah ( ﺇﻧﺎ ﻧﻘﻮﻝ ﻣﺎ ﺷﺎﺀ ﺍﻟﻠﻪ ﻛﺎﻥ ﻭﻣﺎ ﻟﻢ ﻳﺸﺄ ﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﻭﻻ ﻧﻠﺤﻖ ﺑﺎﻟﻠﻪ ﺳﻮﺀًﺍ ).” Ketika surat itu sampai kepada mereka ‘Abd al-Karīm telah meninggal, maka perpecahan pun tidak dapat diselesaikan karena Maimūn berpegang kepada kalimat “Kami tidak menisbahkan hal buruk kepada Allah ( ﻻ ﻧﻠﺤﻖ ﺑﺎﻟﻠﻪ ﺳﻮﺀًﺍ ),” sementara Suʻaib memegangi kalimat “apa yang dikehendaki Allah pasti terjadi, sedangkan yang tidak dikehendaki-Nya tidak akan terjadi (ﻣﺎ ﺷﺎﺀ ﺍﻟﻠﻪ ﻛﺎﻥ ﻭﻣﺎ ﻟﻢ ﻳﺸﺄ ﻟﻢ ﻳﻜﻦ ).”
Maimūn lebih dekat dengan pikiran kaum qadariah yang menyatakan bahwa perintah dan kehendak Allah itu satu dan selalu baik. Kejahatan berasal dari manusia. Allah memerintahkan pembayaran hutang, karena itu tindakan tidak membayar hutang adalah buruk dan Allah tidak menghendaki hal itu. Syuʻaib berpikiran bahwa semua yang terjadi berasal dari Allah. Manusia tidak mempunyai pilihan. Jadi, ia tidak bersalah kalau tidak membayar hutangnya, karena kalau Allah menghendaki pastilah ia “dipaksa” oleh Allah untuk membayarnya.
(Bersambung)
*Dosen UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
Sebelumnya<<<
Golongan Murji'ah Pecah Jadi 12 Kelompok
Abū al-Ḥasan al-Asyʻari dalam karya monumentalnya, Maqālāt al-Islāmiyyīn atau Keyakinan Aliran-Aliran dalam Islam, menyebutkan beberapa perbedaan di antara kaum Murji’ah. Mengenai iman, terdapat 12 kelompok yang berbeda di antara mereka. Perbedaan mereka terutama berasal dari paham mereka tentang iman: apakah iman adalah keyakinan atau pengetahuan yang ada di dalam hati saja atau mesti disertai dengan pernyataan dengan lisan atau hanya pernyataan dengan lisan saja.
Berdasarkan kriteria ini, ke-12 kelompok tadi dapat diringkas menjadi empat.
Pertama, mereka yang mengatakan bahwa iman adalah pengetahuan tentang Allah yang dinyatakan dengan lisan. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah: Yūnus bin ‘Aun al-Numairī dan Abu Syamr serta para pengikutnya yang disebut Syamriah. Termasuk di dlamnya kaum Najjāriah, para pengikut al-Ḥusain bin Muḥammad al-Najjār; Ghailāniah, para pengikut Ghailān al-Dimasqī (w. 106 H/724 M); Syabībiah, para pengikut Muḥammad bin Syabīb al-Baṣrī; Ḥanafiah, yakni para pengikut Abū Ḥanīfah; dan Marīsiah para pengikut Bisyr bin Ghiyāts al-Marīsī (w. 218 H/833 M).
Ketiga, mereka yang mengatakan bahwa iman hanyalah pernyataan dengan lisan. Mereka adalah kelompok Tsaubāniah, yakni para pengikut Abū Tsaubān; dan kaum Karrāmiah, para pengikut Muḥammad bin Karām al-Sijistānī.
Keempat, kaum Taumaniah, yakni para pengikut Abū Muʻādz al-Taumanī, yang menyatakan bahwa iman adalah hal-hal yang kalau salah satu saja tidak ada pada seseorang, maka ia kafir. Tidak terdapat keterangan yang jelas mengenai hal-hal itu.
Mereka semua dapat dikelompokkan lagi menjadi Murjiah jabbariah, Murjiah qadariah, Murjiah Khawārij dan Murjiah murni [cf. Syahrastānī, Milal]. Walaupun aliran ini tidak ada lagi di dalam sejarah Islam, namun pengaruhnya masih dapat ditemukan dalam aliran yang ada seperti Asy’ariah. Pendapat mereka tentang definisi iman dan sikap terhadap kekuasaan orang Islam yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran Islam tetap menarik minyak banyak orang, dengan penyesuaian dan pengembangan serta pengurangan di sana sini. Akan tetapi cukup sampai di sini saja pembicaraan tentang aliran ini.
Bab Mu’tazilah
1. Qadariah dan jabbariah
Di dalam al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang memberikan pengertian bahwa manusia tidak mempunyai kebebasan dalam memilih dan melakukan perbuatannya. Misalnya dikatakan, “Katakanlah: ‘Aku tak kuasa mendatangkan kemudaratan, tidak pula kemanfaatan untukku, kecuali yang dikehendaki Allah’,” (10/
Yūnus: 49), “Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi, tidak pula pada diri kalian melainkan telah tertulis di dalam kitab sebelum Kami menciptakannya,” (57/al-Ḥadīd: 22) dan “Bukan kalian yang membunuh mereka, melainkan Allahlah yang membunuh mereka; bukan kau yang melempar ketika kau lempar, melakukan Allahlah yang melempar.” (8-al-Anfāl: 17).
Selain itu juga ditemukan ayat-ayat lain yang menyatakan bahwa manusia memperoleh balasan dari apa yang dilakukannya. Misalnya disebutkan:
“Sungguh telah Kami jadikan banyak manusia dan jin untuk neraka Jahannam, mereka punya hati, tetapi tidak dipakai untuk memahami; punya mata, tapi tak dipakai untuk melihat dan punya telinga, tapi tak mereka pakai untuk mendengar; mereka seperti ternak, bahkan lebih sesat lagi; mereka itulah orang-orang yang lalai,” (7/al-Aʻrāf: 179), “Barangsiapa berbuat kebaikan, walaupun seberat atom, niscaya ia akan melihat (balasan)-nya; dan barangsiapa berbuat keburukan, walaupun seberat atom, niscaya ia akan melihat (balasan)-nya,” (99/al-Zalzalah: 7-8).
Akan tetapi, persoalan apakah manusia memilih dan menentukan sendiri perbuatannya ini baru menjadi obyek pemikiran kaum Muslim setelah lewat sekitar 70-an tahun dari kemangkatan Nabi Muhammad saw. Problem ini menimbulkan paham yang disebut jabariah dan qadariah. Yang pertama menyatakan bahwa manusia “dipaksa” oleh Allah untuk melakukan perbuatan tanpa kuasa untuk menentukan sendiri dan menciptakan perbuatannya, sementara yang kedua menyatakan bahwa manusia mampu melakukan perbuatan yang dipilihnya. Yang pertama menimbulkan problem balasan: kalau manusia dipaksa untuk berbuat, bagaimana ia dapat memperoleh balasan? Yang kedua: kalau manusia memilih sendiri perbuatannya dan karenanya mendapat balasan, apakah Allah wajib memberikan balasan di akherat nanti? Bagaimana Allah yang maha kuasa terkena kewajiban?
Awal Lahirnya Faham Qadariah dan Jabbariah
Beberapa penulis yang tidak suka dengan paham qadariah menyebutkan bahwa paham ini berasal dari seorang tokoh Nasrani yang bernama Yūḥanā al-Dimasyqī (Ιωάννης Δαμασκήνος—Iôannês Damaskênos—, Iohannes Damascenus, 676-749) yang sering ikut dalam perbincangan teologis di istana Bani Umayyah dan dan Theodore Abū Qurrā (Θεόδωρος Ἀβουκάρας, Theodoros Aboukaras 750-823). Akan tetapi, W. Montgomery Watt membantah pendapat itu dengan mengajukan cerita tentang perdebatan antara Maimūn dan Syuʻaib, tokoh Khawārij pengikut ‘Ajāridah. Perdebatan itu disebutkan dalam kitab Maqālāt al-Islāmiyyīn, karya al-Asyʻarī.
Diceritakan bahwa Syuʻaib berhutang kepada Maimūn. Ketika Maimūn menagih, Syuʻaib menjawab, “Akan aku bayar kepadamu kalau Allah menghendaki ( ﺃﻋﻄﻴﻜﻪ ﺇﻥ ﺷﺎﺀ ﺍﻟﻠﻪ )”.
Maimūn membalas, “Allah menghendaki agar kau bayar hutangmu sekarang juga ( ﻗﺪ ﺷﺎﺀ ﺍﻟﻠﻪ ﺃﻥ ﺗﻌﻄﻴﻨﻴﻪ ﺍﻟﺴﺎﻋﺔ )”.
Syuʻaib menyahut, “Kalau memang Allah menghendaki hal itu, aku pasti tak bisa lain kecuali membayarnya kepadamu ( ﻟﻮ ﺷﺎﺀ ﺍﻟﻠﻪ ﻟﻢ ﺃﻗﺪﺭ ﺃﻻ ﺃﻋﻄﻴﻜﻪ )”.
Kata Maimūn, “Sesungguhnya Allah menghendaki apa yang diperintahkannya, sedangkan yang tak Dia perintahkan tidak dikehendaki-Nya dan yang tak Dia kehendaki tak diperintahkan-Nya ( ﻓﺈﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﻗﺪ ﺷﺎﺀ ﻣﺎ ﺃﻣﺮ ﻭﻣﺎ ﻟﻢ ﻳﺄﻣﺮ ﻟﻢ ﻳﺸﺄ ﻭﻣﺎ ﻟﻢ ﻳﺸﺄ ﻟﻢ ﻳﺄﻣﺮ )”.
Perdebatan kedua kawan ini menimbulkan perpecahan: satu kelompok mengikuti Maimūn dan mereka disebut kaum Maimūniah, sementara yang lain mengikuti Syuʻaib, mereka disebut Syuʻaibiah. Kemudian mereka menyampaikan hal itu melalui surat kepada pemimpin mereka, ‘Abd al-Karīm al-‘Ajrad. Jawaban ‘Abd al-Karīm adalah: “Menurut pendapat kami, apa yang dikehendaki Allah pasti terjadi, sedangkan yang tidak dikehendaki-Nya tidak akan terjadi. Kami tidak menisbahkan hal buruk kepada Allah ( ﺇﻧﺎ ﻧﻘﻮﻝ ﻣﺎ ﺷﺎﺀ ﺍﻟﻠﻪ ﻛﺎﻥ ﻭﻣﺎ ﻟﻢ ﻳﺸﺄ ﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﻭﻻ ﻧﻠﺤﻖ ﺑﺎﻟﻠﻪ ﺳﻮﺀًﺍ ).” Ketika surat itu sampai kepada mereka ‘Abd al-Karīm telah meninggal, maka perpecahan pun tidak dapat diselesaikan karena Maimūn berpegang kepada kalimat “Kami tidak menisbahkan hal buruk kepada Allah ( ﻻ ﻧﻠﺤﻖ ﺑﺎﻟﻠﻪ ﺳﻮﺀًﺍ ),” sementara Suʻaib memegangi kalimat “apa yang dikehendaki Allah pasti terjadi, sedangkan yang tidak dikehendaki-Nya tidak akan terjadi (ﻣﺎ ﺷﺎﺀ ﺍﻟﻠﻪ ﻛﺎﻥ ﻭﻣﺎ ﻟﻢ ﻳﺸﺄ ﻟﻢ ﻳﻜﻦ ).”
Maimūn lebih dekat dengan pikiran kaum qadariah yang menyatakan bahwa perintah dan kehendak Allah itu satu dan selalu baik. Kejahatan berasal dari manusia. Allah memerintahkan pembayaran hutang, karena itu tindakan tidak membayar hutang adalah buruk dan Allah tidak menghendaki hal itu. Syuʻaib berpikiran bahwa semua yang terjadi berasal dari Allah. Manusia tidak mempunyai pilihan. Jadi, ia tidak bersalah kalau tidak membayar hutangnya, karena kalau Allah menghendaki pastilah ia “dipaksa” oleh Allah untuk membayarnya.
(Bersambung)
*Dosen UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
Pemikiran Islam (11), Sejarah Lahirnya Faham Qadariah dan Jabbariah
Reviewed by Erhaje88 Blog
on
September 11, 2017
Rating:
No comments:
Erhaje88 tidak bertanggung jawab atas isi komentar yang ditulis. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE