Sidebar Ads

banner image

Pemikiran Islam (8) Golongan Murjiah

Oleh: Prof. Muhammad Machasin*
Sebelumnya<<<

Berbeda dengan kaum Khawārij yang menekankan kesatuan antara perbuatan dan iman, kaum Murjiah menganggap perbuatan dikemudiankan dari iman bahkan ada di antara mereka yang menganggap keduanya tidak berkaitan. Kata arjā (ﺃﺭﺟﻰ) dan arja’a (ﺃﺭﺟﺄ), yang dianggap asal dari nama Murjiah, berarti mengakhirkan atau mengemudiankan. Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa kedua kata ini bersumber pada kata rajā’ (ﺍﻟﺮﺟﺎﺀ ) yang berarti harapan. Jadi, menurut pendapat ini, Murjiah berarti kelompok atau aliran yang memberikan harapan kepada pelaku dosa bahwa Allah akan memaafkan dosa-dosanya sepanjang ada iman di hatinya.



Sebagai sebuah gerakan, Murjiah lahir dari hiruk-pikuk dan kekacauan yang timbul akibat perang saudara di masa awal Islam, terutama perang Ṣiffīn antara ‘Alī dan Muʻāwiah. Ketika muncul pendapat Khawārij yang mengatakan bahwa pelaku dosa besar kehilangan imannya dan karenanya banyak orang yang dikeluarkan dari Islam, tampillah orang-orang tertentu dengan pendapat bahwa iman tidak bertambah akibat pemiliknya melakukan perbuatan baik dan tidak berkurang akibat pemiliknya melakukan perbuatan buruk ( ﺍﻹﻳﻤﺎﻥ ﻻ ﻳﺰﻳﺪ ﻭﻻ ﻳﻨﻘﺺ ).

Kalau memang demikian, mengapa sikap mereka ini dipersalahkan oleh kebanyakan kaum ahl al-sunnah? Ada beberapa hipotesis yang dapat dikemukakan. Pertama, sikap ini dikhawatirkan akan menimbulkan kelemahan moral. Kalau yang penting iman, sedangkan perbuatan tidak dapat mempengaruhinya, maka orang dapat saja hanya mengandalkan iman dan tidak memperhatikan baik buruknya perbuatan. Orang dapat semau-maunya berbuat, karena toh nanti yang akan dilihat, yang akan diperhitungkan hanyalah iman. Asalkan sudah beriman, orang akan selamat, meskipun perbuatannya buruk. Demikian pula, perbuatan tidak ada gunanya karena tidak akan menambah ketebalan iman.

Kedua, kemungkinan berhati-hati terhadap sikap ekstrim dari sebagian dari tokoh Murjiah. Sebenarnya, yang tahu bahwa seseorang sungguh-sungguh beriman hanyalah Allah dan keputusan itu hanya akan diketahui di akherat nanti. Sementara itu, terdapat banyak orang yang merasa pasti dapat menghukumi seseorang dengan tidak beriman di dunia ia dengan melihat perbuatannya atau mendengarkan kata-katanya. Lalu muncul orang-orang yang mengatakan bahwa sikap ini tidak benar. Keputusan mengenai iman atau kufurnya seseorang hanya diketahui nanti di akherat, ketika keputusan Allah mengenai itu ditunjukkan dengan jelas. Sampai di sini sebenarnya tidak ada persoalan yang berati. Akan tetapi ketika ada orang-orang yang mengatakan bahwa perbuatan manusia tidak penting karena Allah dapat saja memberikan kemurahannya kepada pelaku dosa besar dan memberi-Nya pahala surga, persoalannya menjadi lain. Orang seperti Abū Ḥanīfah dan Ibrāhīm al-Nakha’ī disebut sebagai penganut paham Murjiah, padahal mereka ini adalah jago-jago pemikiran dalam masalah fiqih, hukum perbuatan manusia mukalaf. Orang seperti mereka tidak akan menganggap remeh perbuatan. Walaupun, misalnya, Abū Ḥanīfah memberi judul risalahnya tentang masalah keimanan al-Fiqh al-Akbar (Fiqih yang lebih Besar), itu tidak berarti beliau menganggap remeh perbuatan. Perbuatan penting dan mesti dijaga agar tidak menyimpang, namun iman lebih penting.

Ketiga, dari sudut pandang politik, sikap ini berbahaya karena akan menyebabkan orang mengurangi dukungan. Perpecahan dan perang saudara yang terjadi pada masa awal Islam setelah wafat Nabi Muhammad saw. menyebabkan para tokoh menggalang dukungan sebanyak-banyaknya untuk memenangkan perjuangan mereka. Sikap tidak memihak seperti yang ditunjukkan kaum Murjiah—yang mengatakan bahwa yang berhak menghukumi seseorang kafir atau mukmin hanyalah Allah dan itu hanya diketahui di akhirat nanti—akan mengurangi dukungan.

Golongan Murjiah Dianggap Keliru
Ketika perang saudara terjadi di kalangan umat Islam, banyak orang terpaksa harus berpihak. Apalagi ketika mereka merupakan bagian dari satu pihak yang terlibat dalam konflik, entah karena hubungan primordial, seperti ikatan darah, entah karena kesamaan kepentingan, entah karena kesamaan pikiran atau penilaian mengenai masalah yang dipersengketakan. Tidak ada pilihan lain, atau tidak ada kesempatan untuk melihat kemungkinan lain.
Sebenarnya terdapat hadis yang menganjurkan untuk tidak terlibat dalam persengketaan di antara saudara. Diceritakan oleh Abū Bakrah bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Akan terjadi banyak kekacauan (atau perang). Ingat-ingatlah, kemudian akan sebuah kekacauan besar. Orang yang duduk di situ lebih baik daripada orang yang berjalan, yang berjalan lebih baik daripada yang terlibat di dalamnya. Ingat-ingatlah, jika itu datang atau terjadi, hendaklah orang yang punya unta kembali mengurus untanya, yang punya kambing kembali mengurus kambingnya, yang punya tanah kembali mengurus tanahnya”.
 Seorang laki-laki bertanya, “Rasulullah, bagaimana dengan orang yang tak punya, unta, kambing atau tanah?” Jawab beliau, “Ambil pedangnya, lalu pukulkan mata pedangnya ke batu. Kemudian selamatkan dirinya, jika mampu”. Beliau lalu berkata tiga kali, “Ya Allah, telah aku sampaikankah?” HR Muslim.

Akan tetapi, apakah ketidakberpihak
an pasif dan menyelamatkan diri sendiri sebagaimana diajurkan hadis seperti ini dianjurkan untuk semua orang dan untuk selamanya? Apakah itu tidak bertentangan dengan perintah untuk mendamaikan pihak-pihak yang bertikai karena pada dasarnya kaum beriman itu bersaudara satu sama lain? (49/al-Ḥujurāt: 9-10).

Ketidakberpihakan dianjurkan bagi orang yang keterlibatannya tidak akan menghasilkan perdamaian, apalagi kalau bahkan akan menimbulkan kekacauan yang lebih besar. Akan tetapi, ketidakberpihakan ini tidak boleh kosong dari perbuatan untuk memperbaiki keadaan. Itu tidak mesti berupa tindakan yang berhubungan langsung dengan perang saudara, melainkan dapat berupa mempersiapkan generasi penerus yang diperhitungkan akan mengurangi kemungkinan konflik di antara sesama saudara. Hal yang dilakukan ‘Abdullāh bin ‘Abbās cukup menarik untuk dijadikan contoh. Ia semula aktif dalam barisan ‘Ali, tapi kemudian setelah semua usahanya untuk “menegakkan kebenaran” gagal, ia menarik diri dan mencurahkan diri pada pemeliharaan warisan ajaran Nabi saw. dengan membentuk ḥalaqah pengkajian. Ini dilakukan di Hijaz (yang mencakup dua kota besar, Mekkah dan Medinah) yang jauh dari hiruk pikuk politik di Syam dan Iraq.

Kembali mengurusi unta, kambing dan tanah, diterjemahkan dalam kegiatan aktif menggali dan merawat software umat, yakni nilai-nilai moral keagamaan, tata cara beribadah, pemahaman al-Qur’an, peningkatan kehidupan rohani dan seterusnya. Dari sini muncul berbagai pemikiran tentang hukum (fiqih), poin-poin keimanan, tatacara berdebat, gairah pengumpulan hadis, semangat belajar dsb. Sebagaimana dianjurkan al-Qur’an, tidak selayaknya semua orang terlibat dalam perang, melainkan mesti ada orang-orang yang mendalami agama (9/al-Taubah: 122). Apalagi kalau itu perang sesama muslim.
Di antara orang-orang yang dimasukkan dalam kelompok Murjiah ada orang-orang yang tidak mau terlibat atau mengundurkan diri dari keterlibatan dalam konflik. Mereka terdiri dari sahabat Nabi, murid-murid mereka yang disebut Tābiʻīn atau penerus mereka selanjutnya (Tābiʻ al-tābiʻīn), pemikir, ahli fiqih dan ahli kalam. Mereka berbuat itu untuk diri sendiri sambil menunggu waktu yang tepat untuk mendamaikan, mengingatkan akan nilai-nilai agama Islam yang selama itu terlupakan, atau mempersiapkan masa depan yang lebih baik.

 
11 / 17
Ketika orang yang berkonflik menggunakan argumen keimanan sebagai pembenar tindakannya, persoalannya menjadi lain. Kaum Khawārij membenarkan pemberontakan mereka kepada ‘Ali dengan argumen bahwa ‘Ali tidak berhukum dengan al-Qur’an, melainkan dengan kebiasaan Arab lama untuk meminta juru damai (ḥakam). Ini menurut mereka telah membuat ‘Ali kafir: perbuatannya yang dianggap salah itu telah meniadakan imannya. Melihat hal seperti ini sebahagian ahli fiqih dan ahli kalam angkat bicara tentang kaitan antara iman dan perbuatan.

Sementara itu, sementara orang melanjutkan pembicaraan tentang posisi perbuatan yang ditaruh di tempat yang lebih rendah dari iman dengan mengatakan bahwa yang penting adalah iman, perbuatan tidak penting. Mereka pun menyiar-nyiarka
n pendapat itu kepada banyak orang. Inilah yang sebenarnya membuat beberapa pemikir Sunni mengecam kaum Murjiah.
Selanjutnya >>>Kesesatan Aqidah Kaum Murji'ah
*Dosen UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
Pemikiran Islam (8) Golongan Murjiah Pemikiran Islam (8) Golongan Murjiah Reviewed by Erhaje88 Blog on September 08, 2017 Rating: 5

No comments:

Erhaje88 tidak bertanggung jawab atas isi komentar yang ditulis. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Stay Connected

Powered by Blogger.