Sidebar Ads

banner image

Pemikiran Islam (2) | Awal Munculnya Lembaga Pendidikan dan Tasawwuf

Oleh: Prof. Muhammad Machasin*

Baca Sebelumnya <<<
Perang Dalam Islam
Perang-perang banyak dilakukan umat Islam sejak awal pembentukannya, yakni setelah Nabi Muhammad saw. dan para sahabatnya pindah dari Mekkah ke Medinah. Perang-perang dalam sejarah sampai pembentukan pemikiran Islam Islam—kira-kira seratus tahun pertama—secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi: (1) perang mengamankan diri dari gangguan musuh-musuh, baik yang terdiri dari bangsa Arab maupun Imperium Romawi Timur dan Persia, (2) perang “perluasan wilayah” yang mengalahkan penguasa asing di suatu wilayah dan menguasainya, (3) perang sesama Muslim.
Perang jenis pertama dapat dikatakan selesai pada masa hidup Nabi Muhammad saw. dan perang jenis kedua berkurang intensitasnya setelah perluasan mencapai puncaknya yang ditandai dengan kekalahan Abdurrahman al-Ghafiqi dari Karel Martel (Charlemagne) di Tours atau Poitiers pada tahun 732 M. Perang jenis ketiga mulai terjadi setelah kematian Khalifah Ketiga, Utsman bin ‘Affan dan masih sering terjadi sampai sekarang, sebagaimana yang dapat disaksikan di Syria, Irak, Lybia dan Yaman.

Perang Guadalete [image source]
Perang Guadalete [image source]
Dalam perang-perang itu agama sering dimainkan sebagai pembakar semangat pasukan, mulai janji surga bagi yang berperang di jalan Allah, tuduhan murtad bagi yang meninggalkan ketaatan kepada pemimpin, ancaman neraka atas musuh-musuh Allah, sampai pembuktian keimanan dengan membunuh orang yang dianggap berdosa. Karena itu, banyak dari noktah keagamaan Islam dirumuskan dalam kaitan dengan memenangkan perang dan mempertahankan keutuhan barisan. Istilah seperti “halal darahnya,” dan “mati syahid” lahir dan dikembangkan dalam rumusan agama dengan latar belakang perang.
Perang sesama Muslim yang mulai terjadi dalam kaitan dengan pergantian pimpinan tertinggi umat dapat disebut sebagai pemicu munculnya perdebatan tentang keimanan seseorang dalam kaitannya dengan perbuatan dosa besar. Jelas disebutkan di dalam al-Qur’an (surat 4: 93) bahwa orang yang membunuh orang Mukmin dengan sengaja akan mendapat balasan Jahannam dan kemarahan Allah
{ ﻭَﻣَﻦْ ﻳَﻘْﺘُﻞْ ﻣُﺆْﻣِﻨًﺎ ﻣُﺘَﻌَﻤِّﺪًﺍ ﻓَﺠَﺰَﺍﺅُﻩُ ﺟَﻬَﻨَّﻢُ ﺧَﺎﻟِﺪًﺍ ﻓِﻴﻬَﺎ ﻭَﻏَﻀِﺐَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﻟَﻌَﻨَﻪُ ﻭَﺃَﻋَﺪَّ ﻟَﻪُ ﻋَﺬَﺍﺑًﺎ ﻋَﻈِﻴﻤًﺎ { ‏[ ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ : 93].

Lalu bagaimana hukum orang Islam yang terlibat dalam perang saudara sesama Muslim? Bukankah itu berarti dengan sengaja membunuh orang beriman? Kalau demikian, apakah ia tetap beriman?
Terdapat tiga pendapat mengenai hal ini. Pendapat pertama mengatakan bahwa orang Muslim yang melakukan dosa besar tetap beriman, karena iman tidak berkaitan dengan perbuatan; iman tidak menjadi bertambah dengan perbuatan baik dan tidak berkurang dengan perbuatan buruk. Penganut pendapat ini disebut kaum Murji’ah (yang menunda atau yang memberikan harapan). Mereka menunda mengatakan bahwa pelaku dosa besar kehilangan keimanan karena hal itu bukan urusan dunia melainkan urusan di akhirat nanti. Mereka memegang harapan bahwa Allah bisa jadi akan memaafkannya di hari itu.
Pendapat kedua mengatakan bahwa pelaku dosa besar kehilangan keimanan karena iman mesti diwujudkan dalam perbuatan nyata. Penganut utama pendapat ini adalah kaum Khawarij (orang-orang dari pasukan ‘Ali yang meninggalkan kepatuhan kepadanya setelah persetujuannya untuk menyelesaikan perangnya dengan Mu’awiyah dengan arbitrasi).
Pendapat ketiga mengatakan bahwa pelaku dosa besar ada di tengah-tengah antara posisi orang beriman dan posisi orang kafir (al-manzilah bain al-manzilatain). Ia masih diakui sebagai orang Muslim, tetapi dicabut sebahagian haknya, seperti hak untuk menjadi pemimpin dan menjadi saksi di pengadilan. Ini pendapat kaum Mu’tazilah.

Bentuk Pemerintahan Sepeninggal Nabi Muhammad saw
Sebenarnya masih banyak yang perlu dibincangkan terkait masalah kemunculan paham teologi. Akan tetapi, kali ini akan dibicarakan terlebih dahulu masalah pengelolaan wilayah yang sedemikian luas itu.
Bangsa Arab-Muslim yang tidak mempunyai pengalaman di dalam mengelola wilayah itu memulai dengan administrasi sederhana dalam mengelola tiang pokok pemerintahan pada saat itu: tentara dan harta. Pada masa hidup Nabi Muhammad, belum ada tentara, namun setiap sahabat dapat dikerahkan untuk terlibat dalam perang. Untuk membiayai perang, pada awalnya dimintakan sedekah dari para sahabat atau setiap sahabat yang ikut berperang membiayai diri sendiri. Zakat, yang dalam al-Qur’an disebut sedekah, kemudian ditarik untuk keperluan pengelolaan kepentingan umat, sebagaimana sebahagian dari harta rampasan perang.
Sahabat tertentu ditunjuk sebagai pekerja/agen Nabi Muhammad saw. dalam menyelenggarakan “pemerintahan”. Tugasnya dapat dilihat dalam berita tentang Mu‘ādz bin Jabal, ketika diutus sebagai petugas di Yaman,
ﺃَﻥَّ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲَّ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺑَﻌَﺚَ ﻣُﻌَﺎﺫًﺍ ﺭَﺿِﻲَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻨْﻪُ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟﻴَﻤَﻦِ، ﻓَﻘَﺎﻝَ : ‏« ﺍﺩْﻋُﻬُﻢْ ﺇِﻟَﻰ ﺷَﻬَﺎﺩَﺓِ ﺃَﻥْ ﻻَ ﺇِﻟَﻪَ ﺇِﻟَّﺎ ﺍﻟﻠَّﻪُ، ﻭَﺃَﻧِّﻲ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠَّﻪِ، ﻓَﺈِﻥْ ﻫُﻢْ ﺃَﻃَﺎﻋُﻮﺍ ﻟِﺬَﻟِﻚَ، ﻓَﺄَﻋْﻠِﻤْﻬُﻢْ ﺃَﻥَّ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻗَﺪِ ﺍﻓْﺘَﺮَﺽَ ﻋَﻠَﻴْﻬِﻢْ ﺧَﻤْﺲَ ﺻَﻠَﻮَﺍﺕٍ ﻓِﻲ ﻛُﻞِّ ﻳَﻮْﻡٍ ﻭَﻟَﻴْﻠَﺔٍ، ﻓَﺈِﻥْ ﻫُﻢْ ﺃَﻃَﺎﻋُﻮﺍ ﻟِﺬَﻟِﻚَ، ﻓَﺄَﻋْﻠِﻤْﻬُﻢْ ﺃَﻥَّ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﺍﻓْﺘَﺮَﺽَ ﻋَﻠَﻴْﻬِﻢْ ﺻَﺪَﻗَﺔً ﻓِﻲ ﺃَﻣْﻮَﺍﻟِﻬِﻢْ ﺗُﺆْﺧَﺬُ ﻣِﻦْ ﺃَﻏْﻨِﻴَﺎﺋِﻬِﻢْ ﻭَﺗُﺮَﺩُّ ﻋَﻠَﻰ ﻓُﻘَﺮَﺍﺋِﻬِﻢْ .«
Ketika mengutus Mu‘ādz r.a. ke Yaman, Nabi saw. berpesan kepadanya: “Ajaklah mereka untuk bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan bahwa aku adalah utusan Allah. Jika mereka mau mematuhi ajakanmu, beritahu mereka bahwa Allah mewajibkan shalat lima kali sehari semalam. Jika mereka mematuhi hal itu, beritahu mereka bahwa Allah mewajibkan sedekah yang diambil dari orang-orang kaya mereka dan diberikan kepada orang-orang fakir mereka.

‘Umarlah yang kemudian membentuk badan yang disebut al-dīwān untuk mengurusi kekayaan “negara” dan pembelanjaannya. Hal itu dilakukan dengan mengadopsi cara dan belajar dari kecakapan bangsa lain yang sudah lebih maju, terutama Persia dan Romawi Timur.

Pemerintahan Islam di wilayah-wilayah taklukan (pembukaan dalam istilah historiografi Islam, sebagaimana perang-perang perluasan wilayah disebut al-futūḥāt) dimulai dengan pendudukan militer. Karena itu, kepala pemerintahannya adalah panglima militer yang disebut “amīr” yang secara harfiah berarti orang yang mempunyai kewenangan untuk memberikan perintah. Perintah di sini pada awalnya mencakup segala urusan mulai dari mengimami shalat sampai memberikan keputusan dalam persengketaan di antara warga.

Dalam perkembangannya, para amir itu mengangkat pejabat-pejabat yang membantunya mengurusi penyelenggaraan pemerintahan di wilayahnya. Ada qadli yang mengurusi peradilan, ada yang mengurusi keuangan, ada yang mengurusi keamanan dalam wilayah dan seterusnya.
Kekuasaan yang luas ini kelihatannya masih sangat lekat dengan banyak umat Islam, sehingga ada yang mengatakan (M. ‘Abid Jabri) bahwa nalar politik Islam isinya tiga hal pokok: ‘aqīdah, qabīlah dan ghanīmah. Akidah merupakan kelanjutan (reduktif) dari dakwah; bahwa yang dipercaya sebagai pembantu utama penguasa politik adalah orang-orang yang sejalan dalam keyakinan. Qabīlah, kedekatan karena pertalian darah sangat penting untuk menjaga kesetiaan. Lalu ghanīmah, sebahagian besar harta yang diperoleh dalam peperangan dibagi di antara anggota pasukan.

Awal Mula Adanya Halaqoh dan Tasawuf
Al-Qur’an mengingatkan orang-orang beriman agar tidak semuanya ikut perang. Sebaiknya ada orang-orang mendalami agama dan memberi peringatan kepada kaum mereka ketika mereka pulang dari perang agar mereka berhati-hati.
{ ﻭَﻣَﺎ ﻛَﺎﻥَ ﺍﻟْﻤُﺆْﻣِﻨُﻮﻥَ ﻟِﻴَﻨْﻔِﺮُﻭﺍ ﻛَﺎﻓَّﺔً ﻓَﻠَﻮْﻟَﺎ ﻧَﻔَﺮَ ﻣِﻦْ ﻛُﻞِّ ﻓِﺮْﻗَﺔٍ ﻣِﻨْﻬُﻢْ ﻃَﺎﺋِﻔَﺔٌ ﻟِﻴَﺘَﻔَﻘَّﻬُﻮﺍ ﻓِﻲ ﺍﻟﺪِّﻳﻦِ ﻭَﻟِﻴُﻨْﺬِﺭُﻭﺍ ﻗَﻮْﻣَﻬُﻢْ ﺇِﺫَﺍ ﺭَﺟَﻌُﻮﺍ ﺇِﻟَﻴْﻬِﻢْ ﻟَﻌَﻠَّﻬُﻢْ ﻳَﺤْﺬَﺭُﻭﻥَ { ‏[ ﺍﻟﺘﻮﺑﺔ : 122 ]
Setidak-tidaknya ada dua hal yang mesti diperhatikan dalam ayat ini. Pertama, apa yang dimaksud dengan agar mendalami agama (tafaqquh fi al-dīn). Kedua, peringatan kepada orang yang pulang perang agar mereka berhati-hati. Mengapa peringatan untuk berhati-hati diberikan di belakang bukan di depan? Peringatan tentang apa?
Pemahaman yang mendalam tentang agama—yang ketika disampaikan kepada orang-orang yang pulang perang dapat diharapkan membuat mereka berhati-hati—semestinya bukan ajaran agama seperti terungkap dalam fiqih, akidah dan akhlaq. Apakah itu bukan pesan terdalam dalam beragama, semisal kepasrahan kepada Allah, kedamaian dan pengendalian hawa nafsu? Tidakkah juga pesan-pesan kemanusiaan yang banyak disampaikan dalam ayat-ayat Makkiah, semisal: keadilan, perhatian kepada sesama, tiada paksaan dalam beragama, perlindungan kepada orang-orang lemah dan berlomba dalam mewujudkan kebaikan. Hal-hal semacam ini seringkali tidak tersentuh oleh mengajarkan agama, ketika perhatian diberikan lebih besar kepada akidah dan ibadah formal; padahal justru inilah yang lebih bisa diharapkan membuat orang berhati-hati, terutama ketika perang menjadi kegiatan utama, seperti yang terjadi di masa penaklukan wilayah (al-futūḥāt) oleh umat Islam pada abad I H.

Peringatan untuk berhati-hati diberikan sesudah pulang perang karena semangat sedang berkobar-berkobar ketika perang. Dalam keadaan seperti itu peringatan, apalagi mengenai masalah yang sangat mendalam dalam kehidupan, sulit untuk sampai ke hati. Lagi pula, perang merupakan sebahagian saja dari kegiatan hidup manusia, baik secara individu maupun secara kelompok. Menunggu sampai redanya emosi untuk berperang adalah tindakan yang tepat, karena peringatan untuk berhati-hati itu mesti dijalankan untuk sepanjang hidup.

Dalam sejarah, ketika perang-perang terjadi, terutama perang saudara antara Ali dan Mu’awiah di Ṣiffīn pada tahun 37 H, beberapa sahabat Nabi memilih untuk menyingkir ke Hijaz (Medinah dan Mekkah) untuk merenungkan perjalanan sejarah umat Islam yang dirasakan sudah melenceng dari dakwah Rasulullah saw. dan mengingat-ingat lagi hal-hal yang telah dikerjakan Nabi Muhammad semasa hidup beliau. Hasil perenungan dan pengingatan mereka itu lalu disampaikan kepada khalayak yang diwakili orang-orang yang duduk berkeliling di sekitar tokoh sahabat. Ini semacam benih pengajian yang kemudian disebut halaqah. ‘Abdullāh bin ‘Abbās merupakan tokoh yang penting pada saat itu.
Dari situlah muncul lembaga “pendidikan orang dewasa”, pemikiran dalam berbagai bidang agama dan pengumpulan sunnah atau tradisi Islam awal yang kemudian berkembang menjadi kompilasi hadis. Jadi dapat dikatakan bahwa lahirnya ilmu-ilmu Islam yang pokok dirangsang oleh kekecewaan terhadap perjalan umat, terutama perang saudara.
Sementara itu, kekecewaan terhadap perilaku para pemimpin Bani Umayyah (dinasti Islam pertama, 661-750 M) yang memanjakan dorongan dan keinginan badaniah merangsang munculnya gerakan tasawuf. Kemewahan Istana menimbulkan pertanyaan mengenai perjalanan sejarah dakwah yang di antara poin ajakannya adalah tidak memperturutkan hawa nafsu. Sebagai reaksi terhadap praktek hedonistik itu, gerakan tasawuf mengajak orang untuk memperlemah nafsu, bahkan mematikannya kalau bisa.
Selanjutnya>>>  Munculnya Ilmu Kalam dan Fiqih
*Dosen UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
Pemikiran Islam (2) | Awal Munculnya Lembaga Pendidikan dan Tasawwuf Pemikiran Islam (2) | Awal Munculnya Lembaga Pendidikan dan Tasawwuf Reviewed by Erhaje88 Blog on September 05, 2017 Rating: 5

No comments:

Erhaje88 tidak bertanggung jawab atas isi komentar yang ditulis. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Stay Connected

Powered by Blogger.