Oleh: Prof. Muhammad Machasin*
Sebelumnya <<<
Lahirnya Ilmu Kalam
Dalam pertemuan dengan penduduk negeri-negeri yang ditaklukkan, kaum Muslim mendapatkan banyak pelajaran di samping persoalan yang menuntut pemikiran. Di antaranya, dalam pertemuan dengan orang-orang Nasrani di Syam diajukan pertanyaan dari pihak Nasrani: Kalau Isa bin Maryam disebut di dalam al-Qur’an sebagai Firman Allah, { ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﺍﻟْﻤَﺴِﻴﺢُ ﻋِﻴﺴَﻰ ﺍﺑْﻦُ ﻣَﺮْﻳَﻢَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻭَﻛَﻠِﻤَﺘُﻪُ { [ ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ : 171] —al-Masīḥ ‘Īsā hanyalah Utusan Allah dan Firman-Nya—, sedangkan Firman Allah itu kekal, apakah beliau juga kekal?
Pertanyaan yang sangat sulit untuk dijawab dengan singkat. Mengapa? Kalau dijawab positif/isbat, akan datang pertanyaan berikut: kalau kekal, bukankah itu berarti Isa tuhan, karena yang kekal hanya tuhan? Kalau dijawab negatif/nafi, itu berarti bahwa ada “bagian” yang tidak kekal dari Tuhan, yakni Firman-Nya. Pertanyaan ini dan sejenisnya tidak berlalu begitu saja. Ada di antara warga umat Islam yang menanggapinya dengan serius dan melahirkan pemikiran dalam bidang teologi Islam. Karena pertanyaan itu diajukan oleh orang-orang luar, argumen yang dipakai adalah argumen yang tertib nalarnya dan metodenya diambil dari tradisi orang luar itu agar dapat dimengerti, tetapi bahannya berasal dari Islam.
Kegiatan ini menghasilkan karya yang luar biasa besarnya dalam khazanah pemikiran kalām. Akan tetapi, justru di sini muncul dilema. Ketika merespon pertanyaan dan serangan orang-orang dari luar itu, belum ada rumusan baku tentang akidah Islam, sehingga boleh dikatakan bahwa respon kepada pihak luar itu dilakukan senyampang melakukan percobaan perumusan terhadap akidah. Cara berargumen pun belum digambarkan secara tertib. Akibatnya, orang luar tidak atau belum dapat dikalahkan argumennya, sementara orang dalam merasa bahwa argumen dan penggambaran akidah Islam atau metodenya bertentangan dengan tuntunan Islam sendiri.
Ambillah contoh mengenai kebebasan manusia dalam memilih dan melakukan perbuatan yang diperhadapkan. Ketika orang-orang yang menganut paham ini menjelaskan argumen akaliah mengenai keyakinan mereka, orang-orang Islam lain yang tidak sepaham mengatakan bahwa itu bukan ajaran Islam. Islam mengajarkan kepercayaan bahwa semua perbuatan manusia dibuat oleh Allah, manusia dipaksa untuk melakukannya tanpa kebebasan sama sekali untuk menghindarinya atau memilih perbuatan lain. Dalilnya antara lain adalah firman Allah { ﻭَﺍﻟﻠَّﻪُ ﺧَﻠَﻘَﻜُﻢْ ﻭَﻣَﺎ ﺗَﻌْﻤَﻠُﻮﻥَ { [ ﺍﻟﺼﺎﻓﺎﺕ : 96 ],
Dan Allah telah menciptakan kalian dan apa yang kalian lakukan.
Sebenarnya kedua sayap pemikiran ini telah berjasa besar dalam mengaktualkan potensi ajaran Islam yang sejatinya saling melengkapi. Sayangnya, dahulu keduanya saling berhadapan sebagai pihak-pihak yang mengangkangi kebenaran. Pilihannya hanya satu: pihakku yang benar dan kalian salah; padahal kalau direnungkan, kedua-duanya memegangi sebagian dari kebenaran yang kalau digabung atau disintesakan akan melahirkan ajaran yang lebih baik.
Ya, begitulah. Kita mewarisi sikap dan cara berpikir yang hanya melihat kebenaran ada pada pihak sendiri, tidak pada pihak lain. Bisakah kita keluar dari jebakan sejarah ini?
Masalah Akal Dan Wahyu
Di dalam sejarah Islam, pada awalnya kata ‘ilm’ dipakai untuk menyebut tuntunan, ajaran atau apa yang dipelajari dari generasi Nabi dan para sahabat; ilmu bukan dalam pengertian pengetahuan yang memenuhi persyaratan tertentu. Untuk menyebut hasil pemahaman dengan pemikiran sendiri, atau dengan menggunakan asas kecerdasan, dipakai kata “fiqh”. Jadi, kalau dikatakan, huwa min ahl al-ilm atau huwa ṣāhib al-’ilm berarti orang itu hafal banyak berita dari Nabi (ḥadīts) dan dari Sahabat (ātsār). Kalau dikatakan, huwa min ahl al-fiqh, artinya orang itu memecahkan persoalan dengan menggunakan pertimbangan nalarnya. Di dalam menggunakan nalar ini, sudah barang tentu orang tidak meninggalkan sama sekali tuntunan yang sudah ada dari Rasul dan para Sahabat beliau, melainkan, dengan menggunakan kecerdasan, orang menyimpulkan pendapat baru mengenai hal-hal yang belum ada sebelumnya atau hal-hal yang tidak lagi sama dengan sebelumnya. Dalam tahap ini ‘ilm dan fiqh saling melengkapi. ‘Ilm merupakan dasar, tetapi sifatnya terbatas karena “sumber pembuatannya”--
Dalam tahap ini ‘ilm dan fiqh saling melengkapi. ‘Ilm merupakan dasar, tetapi sifatnya terbatas karena “sumber pembuatannya”--yakni Nabi Muhammad saw. dan para Sahabat--telah meninggal, sedangkan persoalan kehidupan terus bertambah dan berkembang. Karena itu diperlukan penalaran yang benar dan bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan yang terus berkembang dan berubah itu. Kata fiqih dipergunakan untuk menyebut keahlian dalam menangkap pesan dari teks (baik dari al-Qur’an maupun dari hadis Nabi) dan relevansinya dengan masalah yng dihadapi umat semasa.
Sampai pertengahan abad kedua Hijriah, fiqih dipakai dalam pengertiannya yang luas/umum, sehingga mencakup semua bidang kehidupan, tidak hanya yang terkait dengan hukum perbuatan manusia. Salah satu buktinya adalah bahwa Imam Abu Hanifah menamai karyanya yang berisi pembahasan tentang beberapa pokok akidah dengan al-Fiqh al-Akbar, Fiqih Besar. Apa yang dikenal kemudian dengan nama Fiqih, saat itu disebut al-Fiqh al-Asghar, Fiqih Kecil.
Dalam perkembangannya, istilah fiqih kemudian hanya mencakup masalah hukum perbuatan manusia atau secara lebih rinci: ibadah, halal-haram dan mu’amalah. Penalaran atau ra’y dipahami sebagai penggunaan pertimbangan nalar secara luas, baik ketika ada nash sharih maupun ketika nash yang ada tidak cukup tegas atau, apalagi, ketika tidak ada nash. Ra’y atau ‘aql kemudian dipertentangkan dengan nash atau naqal. Dari sinilah muncul problem pertentangan akal dan wahyu dalam sejarah pemikiran Islam.
Latar belakang politiknya adalah bahwa beberapa pemikir agama yang kemudian disebut kaum Mu’tazilah, ikut terlibat dalam propaganda politik Bani ‘Abbas. Ketika kemudian Bani ‘Abbas berhasil memegang kekuasaan politik, banyak dari mereka itu menempati posisi penting, yakni dari mereka yang termasuk dalam Mu’tazilah cabang Baghdad yang dikomandani Bisyr bin al-Mu’tamir. Mereka terlibat dalam pembicaraan mengenai kebijakan publik dan banyak mempelajari filsafat Yunani dan mempergunakannya dalam membuat argumen dalam perdebatan dengan pihak lain. Cabang lain, yakni cabang Basrah tidak terlibat dalam politik dan lebih banyak mengembangkan cara berpikir “dari dalam”, walaupun tetap memberikan peran yang besar kepada nalar. Di antara tokohnya yang penting adalah Abu ‘Ali al-Jubba’i dan putranya, Abu Hasyim al-Jubba’i. Di dalam keluarga inilah Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari, bapak kaum ahl al-Sunnah wal-jama’ah, karena ibunya menikah dengan Abu ‘Ali ketika beliau masih kanak-kanak dan dia sebaya dengan Abu Hasyim.
Sementara itu, ketika di kalangan istana Bani ‘Abbas terjadi perebutan kekuasaan antara dua anak Harun al-Rasyid: al-Amin (809-813) yang lahir dari ibu berbangsa Arab dan al-Ma’mun (813-833) yang lahir dari ibu berbangsa Persi. Ini membuat masing-masing mengerahkan dukungan dari kedua bangsa yang sebenarnya sedang bersaing. Bani Umayyah dapat dikatakan sebagai representasi kuasa Arab, sementara Bani ‘Abbas representasi Persi, walaupun khalifah-khalifahnya berbangsa Arab. Kemenangan al-Ma’mun tidak menghentikan persaingan ini, melainkan hanya mereda dan tidak nampak di permukaan untuk muncul lagi ketika keadaan memungkinkan.
Keadaan atau lebih tepatnya kesempatan itu tiba ketika al-Watsiq (cucu al-Ma’mun) berkuasa (842-847). Miḥnah atau pengujian keimanan yang dimulai sejak masa al-Ma’mun diperluas pemberlakuannya masa ini. Kalau semula yang diuji hanyalah calon pejabat negara dan saksi di pengadilan, saat itu diberlakukan juga untuk semua tokoh masyarakat. Di sini muncul tokoh heroik Imam Ahmad bin Hanbal yang menolak menyetujui paham kebaharuan al-Qur’an yang merupakan paham resmi penguasa. Beliaupun lalu dipenjara dan disiksa di dalamnya.
Peristiwa ini menimbulkan kebangkitan ahl al-Hadits, yang tokoh utamanya diperlakukan dengan semena-mena, yakni Ibn Hanbal. Mereka adalah representasi dari ahl al-’ilm yang telah dibicarakan di atas, dengan sikap yang tidak akomodatif terhadap kekuatan nalar. Jadilah dalam persaingan politik istana, mereka mendukung al-Mutawakkil (847-861) yang tidak begitu mesra dengan kaum Mu’tazilah. Dengan naiknya al-Mutawakkil ke puncak kekuasaan, ganti kaum ahl al-ḥadīts yang berada di atas angin. Kebetulan saat itu tokoh-tokoh besar Mu’tazilah sudah tidak ada lagi, selain kedua Jubbai. Abū al-Ḥasan al-Asy’ari pun kemudian memisahkan diri dari mereka dan memihak kepada ahl al-ḥadīts. Itu pun dilakukannya setelah melewati banyak rintangan karena pemikirannya yang dianggap tidak banyak berbeda dengan pemikiran kaum Mu’tazilah. Namun kemudian beliau dapat diterima, bahkan menjadi tokohnya yang penting dan mendapatkan gelar Penolong Tradisi (Nāṣir al-Sunnah).
Memahami Wahyu Dengan Akal
Demikianlah, dengan penerimaan ahl al-Ḥadīts terhadap “kepemimpinan” Abū al-Ḥasan al-Asy’ari dan penyebaran pahamnya yang luas melalui kekuasaan negara, dapat dikatakan tidak ada lagi persaingan yang berdarah-darah antara pendukung pemikiran yang relatif bebas dalam menyelesaikan persoalan keagamaan dan pendukung pemikiran yang lebih terikat kepada dalil-dalil warisan orang-orang terdahulu.
Sub judul yang dipakai dalam tulisan diatas ini, “Akal dan Wahyu”, sebenarnya kurang pas dalam menggambarkan apa yang terjadi. Akal dalam sejarah pemikiran Islam selalu dalam bimbingan Wahyu, dalam pengertian bahwa dalam kerjanya akal Islam tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang dipahami dari Wahyu. Wahyu pun tidak akan dipahami dengan baik jika orang yang mempelajarinya tidak mempunyai kecakapan menggunakan akal dengan baik.
Akan lebih tepat dikatakan bahwa di dalam masyarakat Islam terdapat pemahaman yang lebih dekat kepada pengertian harfiah nash al-Qur’an dan Hadis. Tentu untuk melakukan pemahaman seperti ini diperlukan akal yang terasah. Di lain pihak terdapat pemahaman yang lebih bebas dalam menggunakan akal dan tidak segan untuk mengambil pengertian yang melampaui pengertian harfiah.
Ambillah contoh masalah kata tangan ketika dinisbahkan kepada Allah dalam ayat 10 dari surat al-Fatḥ, { ﺇِﻥَّ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻳُﺒَﺎﻳِﻌُﻮﻧَﻚَ ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﻳُﺒَﺎﻳِﻌُﻮﻥَ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻳَﺪُ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻓَﻮْﻕَ ﺃَﻳْﺪِﻳﻬِﻢْ { [ ﺍﻟﻔﺘﺢ : 10 ].
Satu pendapat mengatakan bahwa kata “yad Allah” itu mesti diambil dalam pengertian harfiahnya, yakni tangan sebagaimana yang dipahami dalam keadaan lahiriah mengenai manusia: tangan sebagai anggota tubuh manusia yang lazim dipakai untuk memegang, memukul, mengambil dan seterusnya. Pendapat ini dibangun di atas gambaran yang mudah diterima akal manusia, tanpa bermaksud untuk merendahkan Allah dengan gambaran yang menyamakan-Nya dengan manusia pada umumnya. Pendapat yang lain mengatakan bahwa kata itu mesti dipahami sebagai kemahakuasaan Allah. Ini karena Allah tidak boleh dibayangkan sebagai wujud yang serupa dengan manusia. Manusia ciptaan Allah dan karenanya Ia berbeda dengan manusia.
Contoh lain dapat diambil dari kenyataan kehidupan yang masih berlaku sampai saat ini, seperti ayat yang menyatakan bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan, { ﺍﻟﺮِّﺟَﺎﻝُ ﻗَﻮَّﺍﻣُﻮﻥَ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻨِّﺴَﺎﺀِ ﺑِﻤَﺎ ﻓَﻀَّﻞَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺑَﻌْﻀَﻬُﻢْ ﻋَﻠَﻰ ﺑَﻌْﺾٍ ﻭَﺑِﻤَﺎ ﺃَﻧْﻔَﻘُﻮﺍ ﻣِﻦْ ﺃَﻣْﻮَﺍﻟِﻬِﻢْ ... ﺍﻵﻳﺔ { [ ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ : 34 ].
Disini secara harfiah disebutkan kata ar-rijāl yang berarti laki-laki, sembarang laki-laki baik dalam peran keluarga (suami) maupun dalam peran kemasyarakatan. Juga kata al-nisā’ yang berarti perempuan baik dalam fungsi ke-rumahtangga-an maupun kemasyarakatan. Demikian argumen yang dipakai pendukung kepemimpinan laki-laki.
Pendukung paham lain mengatakan bahwa kedua kata itu dapat dipakai dalam pengertian fungsinya, bukan jenis fisiknya. Seorang laki-laki dapat saja tidak mempunyai jiwa kepemimpinan dan karenanya lebih cocok untuk dipimpin daripada memimpin. Dapat juga seorang perempuan mempunyai kecakapan dan kemauan untuk memimpin sehingga orang-orang di sekitarnya, baik laki-laki maupun perempuan, dapat diarahkannya ke tujuan bersama.
Kembali kepada persoalan Akal dan Wahyu, mengapa terdapat paham bahwa akal harus diletakkan di bawah Wahyu? Nampak pada tinjauan pertama adanya kekhawatiran mengenai berkurangnya kekudusan wahyu kalau akal dipakai untuk memahami wahyu secara bebas. Orang tidak boleh menafsirkan al-Qur’an dengan kemampuannya menalar, demikian dikatakan banyak ahli tafsir dengan berdalil kepada hadis seperti:
ﻣَﻦْ ﻗَﺎﻝَ ﻓِﻲ ﺍﻟﻘُﺮْﺁﻥِ ﺑِﺮَﺃْﻳِﻪِ ﻓَﺄَﺻَﺎﺏَ ﻓَﻘَﺪْ ﺃَﺧْﻄَﺄَ ( ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺘﺮﻣﺬﻱ ).
(Barangsiapa berkata tentang al-Qur’an (menafsirkannya) dan ternyata perkataannya itu tepat, maka sesungguhnya ia telah luput).
Juga hadis:
ﻣﻦ ﻓﺴﺮ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﺑﺮﺃﻳﻪ ﻓﻠﻴﺘﺒﻮﺃ ﻣﻘﻌﺪﻩ ﻣﻦ ﺍﻟﻨﺎﺭ ( ﺷﺮﺡ ﻣﻘﺪﻣﺔ ﻓﻲ ﺃﺻﻮﻝ ﺍﻟﺘﻔﺴﻴﺮ ﻻﺑﻦ ﺗﻴﻤﻴﺔ، ﺹ : 318 )
(Barangsiapa menafsirkan al-Qur’an dengan pendapatnya sendiri, maka hendaklah ia mendudukkan tempat duduknya di neraka.)
Apakah ini berarti orang tidak boleh memahami al-Qur’an dngan kecakapannya berpikir? Nanti dulu. Di dalam riwayat al-Turmudzi terdapat pula hadits yang berbunyi:
ﻗَﺎﻝَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ ﺹ - ﻡ :- ﻣَﻦْ ﻗَﺎﻝَ ﻓِﻲ ﺍﻟﻘُﺮْﺁﻥِ ﺑِﻐَﻴْﺮِ ﻋِﻠْﻢٍ ﻓَﻠْﻴَﺘَﺒَﻮَّﺃْ ﻣَﻘْﻌَﺪَﻩُ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻨَّﺎﺭِ .
Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa berbicara tentang al-Qur’an tanpa pengetahuan, maka hendaklah ia mendudukkan tempat duduknya di neraka.)
Di dalam Ṣaḥīḥ Muslim disebutkan bahwa ada orang yang menjelaskan ayat 10 dari surat al-Dukhān { ﻳَﻮْﻡَ ﺗَﺄْﺗِﻲ ﺍﻟﺴَّﻤَﺎﺀُ ﺑِﺪُﺧَﺎﻥٍ ﻣُﺒِﻴﻦٍ { [ ﺍﻟﺪﺧﺎﻥ : 10 ]
bahwa di hari kiamat nanti akan datang asap kepada seluruh manusia, lalu mengganggu nafas mereka sehingga mereka seperti terserang pilek.
Ini contoh tafsir yang tidak berdasar pada pengetahuan. Sementara itu akal manusia sangat besar perannya dalam menganalisis struktur kalimat al-Qur’an, menelusuri berita-berita tentang konteks, membedakan bahwa lugas dan bahasa kiasan dan seterusnya yang dibahas dalam ilmu tafsir. Dalam kenyataannya pun banyak ahli tafsir yang menggunakan pemikiran dan analisis dalam menjelaskan pengertian ayat-ayat al-Qur’an. Dengan demikian, yang dilarang adalah menggunakan akal secara bebas, tak terkendali oleh tertib pikir dan analisis terhadap informasi terpercaya yang tersedia berkaitan dengan ayat yang ditafsirkan.
Secara husnuzan dapat dikatakan bahwa ulama ulama pendukung pemahaman harafiah terhadap al-Qur’an mengambil sikap itu untuk menjaga orang awam tidak mudah diajak berpikir. Kepada mereka cukup diberikan pengetahuan dasar yang memungkinkan mereka untuk menjalani hidup secara bertanggungjawab dengan berpegang pada ajaran agama. Pemikiran mendalam adalah tugas para cendekia yang diberi karunia kecakapan berpikir. Itu adalah karunia Tuhan yang mesti dimanfaatkan. Kepada orang awam tidak perlu diberikan beban berpikir mendalam karena beban hidup mereka sudah cukup berat, namun orang yang dianugerahi kecakapan berpikir tidak semestinya memilih beban yang ringan dengan mengorbankan karunia.
Disamping itu sejarah juga mencatat bahwa sering kali penguasa politik merasa lebih mudah menghadapi orang yang kurang pandai berpikir, sehingga dikembangkanlah teologi yang membuat mereka lebih “jinak” dan mudah diarahkan ke tujuan yang menguntungkan para penguasa. Semestinya mereka mengingat bahwa warga yang dapat berpikir dengan baik merupakan aset yang sangat berharga untuk memperkuat masyarakat dan negara. Akan tetapi, tidak mudah mengendalikan mereka.
Selanjutnya>>> Kembali ke Hukum Allah
*Dosen UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
Sebelumnya <<<
Lahirnya Ilmu Kalam
Dalam pertemuan dengan penduduk negeri-negeri yang ditaklukkan, kaum Muslim mendapatkan banyak pelajaran di samping persoalan yang menuntut pemikiran. Di antaranya, dalam pertemuan dengan orang-orang Nasrani di Syam diajukan pertanyaan dari pihak Nasrani: Kalau Isa bin Maryam disebut di dalam al-Qur’an sebagai Firman Allah, { ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﺍﻟْﻤَﺴِﻴﺢُ ﻋِﻴﺴَﻰ ﺍﺑْﻦُ ﻣَﺮْﻳَﻢَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻭَﻛَﻠِﻤَﺘُﻪُ { [ ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ : 171] —al-Masīḥ ‘Īsā hanyalah Utusan Allah dan Firman-Nya—, sedangkan Firman Allah itu kekal, apakah beliau juga kekal?
Pertanyaan yang sangat sulit untuk dijawab dengan singkat. Mengapa? Kalau dijawab positif/isbat, akan datang pertanyaan berikut: kalau kekal, bukankah itu berarti Isa tuhan, karena yang kekal hanya tuhan? Kalau dijawab negatif/nafi, itu berarti bahwa ada “bagian” yang tidak kekal dari Tuhan, yakni Firman-Nya. Pertanyaan ini dan sejenisnya tidak berlalu begitu saja. Ada di antara warga umat Islam yang menanggapinya dengan serius dan melahirkan pemikiran dalam bidang teologi Islam. Karena pertanyaan itu diajukan oleh orang-orang luar, argumen yang dipakai adalah argumen yang tertib nalarnya dan metodenya diambil dari tradisi orang luar itu agar dapat dimengerti, tetapi bahannya berasal dari Islam.
(Gambar: Slideshare.net)
Kegiatan ini menghasilkan karya yang luar biasa besarnya dalam khazanah pemikiran kalām. Akan tetapi, justru di sini muncul dilema. Ketika merespon pertanyaan dan serangan orang-orang dari luar itu, belum ada rumusan baku tentang akidah Islam, sehingga boleh dikatakan bahwa respon kepada pihak luar itu dilakukan senyampang melakukan percobaan perumusan terhadap akidah. Cara berargumen pun belum digambarkan secara tertib. Akibatnya, orang luar tidak atau belum dapat dikalahkan argumennya, sementara orang dalam merasa bahwa argumen dan penggambaran akidah Islam atau metodenya bertentangan dengan tuntunan Islam sendiri.
Ambillah contoh mengenai kebebasan manusia dalam memilih dan melakukan perbuatan yang diperhadapkan. Ketika orang-orang yang menganut paham ini menjelaskan argumen akaliah mengenai keyakinan mereka, orang-orang Islam lain yang tidak sepaham mengatakan bahwa itu bukan ajaran Islam. Islam mengajarkan kepercayaan bahwa semua perbuatan manusia dibuat oleh Allah, manusia dipaksa untuk melakukannya tanpa kebebasan sama sekali untuk menghindarinya atau memilih perbuatan lain. Dalilnya antara lain adalah firman Allah { ﻭَﺍﻟﻠَّﻪُ ﺧَﻠَﻘَﻜُﻢْ ﻭَﻣَﺎ ﺗَﻌْﻤَﻠُﻮﻥَ { [ ﺍﻟﺼﺎﻓﺎﺕ : 96 ],
Dan Allah telah menciptakan kalian dan apa yang kalian lakukan.
Sebenarnya kedua sayap pemikiran ini telah berjasa besar dalam mengaktualkan potensi ajaran Islam yang sejatinya saling melengkapi. Sayangnya, dahulu keduanya saling berhadapan sebagai pihak-pihak yang mengangkangi kebenaran. Pilihannya hanya satu: pihakku yang benar dan kalian salah; padahal kalau direnungkan, kedua-duanya memegangi sebagian dari kebenaran yang kalau digabung atau disintesakan akan melahirkan ajaran yang lebih baik.
Ya, begitulah. Kita mewarisi sikap dan cara berpikir yang hanya melihat kebenaran ada pada pihak sendiri, tidak pada pihak lain. Bisakah kita keluar dari jebakan sejarah ini?
Masalah Akal Dan Wahyu
Di dalam sejarah Islam, pada awalnya kata ‘ilm’ dipakai untuk menyebut tuntunan, ajaran atau apa yang dipelajari dari generasi Nabi dan para sahabat; ilmu bukan dalam pengertian pengetahuan yang memenuhi persyaratan tertentu. Untuk menyebut hasil pemahaman dengan pemikiran sendiri, atau dengan menggunakan asas kecerdasan, dipakai kata “fiqh”. Jadi, kalau dikatakan, huwa min ahl al-ilm atau huwa ṣāhib al-’ilm berarti orang itu hafal banyak berita dari Nabi (ḥadīts) dan dari Sahabat (ātsār). Kalau dikatakan, huwa min ahl al-fiqh, artinya orang itu memecahkan persoalan dengan menggunakan pertimbangan nalarnya. Di dalam menggunakan nalar ini, sudah barang tentu orang tidak meninggalkan sama sekali tuntunan yang sudah ada dari Rasul dan para Sahabat beliau, melainkan, dengan menggunakan kecerdasan, orang menyimpulkan pendapat baru mengenai hal-hal yang belum ada sebelumnya atau hal-hal yang tidak lagi sama dengan sebelumnya. Dalam tahap ini ‘ilm dan fiqh saling melengkapi. ‘Ilm merupakan dasar, tetapi sifatnya terbatas karena “sumber pembuatannya”--
Dalam tahap ini ‘ilm dan fiqh saling melengkapi. ‘Ilm merupakan dasar, tetapi sifatnya terbatas karena “sumber pembuatannya”--yakni Nabi Muhammad saw. dan para Sahabat--telah meninggal, sedangkan persoalan kehidupan terus bertambah dan berkembang. Karena itu diperlukan penalaran yang benar dan bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan yang terus berkembang dan berubah itu. Kata fiqih dipergunakan untuk menyebut keahlian dalam menangkap pesan dari teks (baik dari al-Qur’an maupun dari hadis Nabi) dan relevansinya dengan masalah yng dihadapi umat semasa.
Sampai pertengahan abad kedua Hijriah, fiqih dipakai dalam pengertiannya yang luas/umum, sehingga mencakup semua bidang kehidupan, tidak hanya yang terkait dengan hukum perbuatan manusia. Salah satu buktinya adalah bahwa Imam Abu Hanifah menamai karyanya yang berisi pembahasan tentang beberapa pokok akidah dengan al-Fiqh al-Akbar, Fiqih Besar. Apa yang dikenal kemudian dengan nama Fiqih, saat itu disebut al-Fiqh al-Asghar, Fiqih Kecil.
Dalam perkembangannya, istilah fiqih kemudian hanya mencakup masalah hukum perbuatan manusia atau secara lebih rinci: ibadah, halal-haram dan mu’amalah. Penalaran atau ra’y dipahami sebagai penggunaan pertimbangan nalar secara luas, baik ketika ada nash sharih maupun ketika nash yang ada tidak cukup tegas atau, apalagi, ketika tidak ada nash. Ra’y atau ‘aql kemudian dipertentangkan dengan nash atau naqal. Dari sinilah muncul problem pertentangan akal dan wahyu dalam sejarah pemikiran Islam.
Latar belakang politiknya adalah bahwa beberapa pemikir agama yang kemudian disebut kaum Mu’tazilah, ikut terlibat dalam propaganda politik Bani ‘Abbas. Ketika kemudian Bani ‘Abbas berhasil memegang kekuasaan politik, banyak dari mereka itu menempati posisi penting, yakni dari mereka yang termasuk dalam Mu’tazilah cabang Baghdad yang dikomandani Bisyr bin al-Mu’tamir. Mereka terlibat dalam pembicaraan mengenai kebijakan publik dan banyak mempelajari filsafat Yunani dan mempergunakannya dalam membuat argumen dalam perdebatan dengan pihak lain. Cabang lain, yakni cabang Basrah tidak terlibat dalam politik dan lebih banyak mengembangkan cara berpikir “dari dalam”, walaupun tetap memberikan peran yang besar kepada nalar. Di antara tokohnya yang penting adalah Abu ‘Ali al-Jubba’i dan putranya, Abu Hasyim al-Jubba’i. Di dalam keluarga inilah Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari, bapak kaum ahl al-Sunnah wal-jama’ah, karena ibunya menikah dengan Abu ‘Ali ketika beliau masih kanak-kanak dan dia sebaya dengan Abu Hasyim.
Sementara itu, ketika di kalangan istana Bani ‘Abbas terjadi perebutan kekuasaan antara dua anak Harun al-Rasyid: al-Amin (809-813) yang lahir dari ibu berbangsa Arab dan al-Ma’mun (813-833) yang lahir dari ibu berbangsa Persi. Ini membuat masing-masing mengerahkan dukungan dari kedua bangsa yang sebenarnya sedang bersaing. Bani Umayyah dapat dikatakan sebagai representasi kuasa Arab, sementara Bani ‘Abbas representasi Persi, walaupun khalifah-khalifahnya berbangsa Arab. Kemenangan al-Ma’mun tidak menghentikan persaingan ini, melainkan hanya mereda dan tidak nampak di permukaan untuk muncul lagi ketika keadaan memungkinkan.
Keadaan atau lebih tepatnya kesempatan itu tiba ketika al-Watsiq (cucu al-Ma’mun) berkuasa (842-847). Miḥnah atau pengujian keimanan yang dimulai sejak masa al-Ma’mun diperluas pemberlakuannya masa ini. Kalau semula yang diuji hanyalah calon pejabat negara dan saksi di pengadilan, saat itu diberlakukan juga untuk semua tokoh masyarakat. Di sini muncul tokoh heroik Imam Ahmad bin Hanbal yang menolak menyetujui paham kebaharuan al-Qur’an yang merupakan paham resmi penguasa. Beliaupun lalu dipenjara dan disiksa di dalamnya.
Peristiwa ini menimbulkan kebangkitan ahl al-Hadits, yang tokoh utamanya diperlakukan dengan semena-mena, yakni Ibn Hanbal. Mereka adalah representasi dari ahl al-’ilm yang telah dibicarakan di atas, dengan sikap yang tidak akomodatif terhadap kekuatan nalar. Jadilah dalam persaingan politik istana, mereka mendukung al-Mutawakkil (847-861) yang tidak begitu mesra dengan kaum Mu’tazilah. Dengan naiknya al-Mutawakkil ke puncak kekuasaan, ganti kaum ahl al-ḥadīts yang berada di atas angin. Kebetulan saat itu tokoh-tokoh besar Mu’tazilah sudah tidak ada lagi, selain kedua Jubbai. Abū al-Ḥasan al-Asy’ari pun kemudian memisahkan diri dari mereka dan memihak kepada ahl al-ḥadīts. Itu pun dilakukannya setelah melewati banyak rintangan karena pemikirannya yang dianggap tidak banyak berbeda dengan pemikiran kaum Mu’tazilah. Namun kemudian beliau dapat diterima, bahkan menjadi tokohnya yang penting dan mendapatkan gelar Penolong Tradisi (Nāṣir al-Sunnah).
Memahami Wahyu Dengan Akal
Demikianlah, dengan penerimaan ahl al-Ḥadīts terhadap “kepemimpinan” Abū al-Ḥasan al-Asy’ari dan penyebaran pahamnya yang luas melalui kekuasaan negara, dapat dikatakan tidak ada lagi persaingan yang berdarah-darah antara pendukung pemikiran yang relatif bebas dalam menyelesaikan persoalan keagamaan dan pendukung pemikiran yang lebih terikat kepada dalil-dalil warisan orang-orang terdahulu.
Sub judul yang dipakai dalam tulisan diatas ini, “Akal dan Wahyu”, sebenarnya kurang pas dalam menggambarkan apa yang terjadi. Akal dalam sejarah pemikiran Islam selalu dalam bimbingan Wahyu, dalam pengertian bahwa dalam kerjanya akal Islam tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang dipahami dari Wahyu. Wahyu pun tidak akan dipahami dengan baik jika orang yang mempelajarinya tidak mempunyai kecakapan menggunakan akal dengan baik.
Akan lebih tepat dikatakan bahwa di dalam masyarakat Islam terdapat pemahaman yang lebih dekat kepada pengertian harfiah nash al-Qur’an dan Hadis. Tentu untuk melakukan pemahaman seperti ini diperlukan akal yang terasah. Di lain pihak terdapat pemahaman yang lebih bebas dalam menggunakan akal dan tidak segan untuk mengambil pengertian yang melampaui pengertian harfiah.
Ambillah contoh masalah kata tangan ketika dinisbahkan kepada Allah dalam ayat 10 dari surat al-Fatḥ, { ﺇِﻥَّ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻳُﺒَﺎﻳِﻌُﻮﻧَﻚَ ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﻳُﺒَﺎﻳِﻌُﻮﻥَ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻳَﺪُ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻓَﻮْﻕَ ﺃَﻳْﺪِﻳﻬِﻢْ { [ ﺍﻟﻔﺘﺢ : 10 ].
Satu pendapat mengatakan bahwa kata “yad Allah” itu mesti diambil dalam pengertian harfiahnya, yakni tangan sebagaimana yang dipahami dalam keadaan lahiriah mengenai manusia: tangan sebagai anggota tubuh manusia yang lazim dipakai untuk memegang, memukul, mengambil dan seterusnya. Pendapat ini dibangun di atas gambaran yang mudah diterima akal manusia, tanpa bermaksud untuk merendahkan Allah dengan gambaran yang menyamakan-Nya dengan manusia pada umumnya. Pendapat yang lain mengatakan bahwa kata itu mesti dipahami sebagai kemahakuasaan Allah. Ini karena Allah tidak boleh dibayangkan sebagai wujud yang serupa dengan manusia. Manusia ciptaan Allah dan karenanya Ia berbeda dengan manusia.
Contoh lain dapat diambil dari kenyataan kehidupan yang masih berlaku sampai saat ini, seperti ayat yang menyatakan bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan, { ﺍﻟﺮِّﺟَﺎﻝُ ﻗَﻮَّﺍﻣُﻮﻥَ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻨِّﺴَﺎﺀِ ﺑِﻤَﺎ ﻓَﻀَّﻞَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺑَﻌْﻀَﻬُﻢْ ﻋَﻠَﻰ ﺑَﻌْﺾٍ ﻭَﺑِﻤَﺎ ﺃَﻧْﻔَﻘُﻮﺍ ﻣِﻦْ ﺃَﻣْﻮَﺍﻟِﻬِﻢْ ... ﺍﻵﻳﺔ { [ ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ : 34 ].
Disini secara harfiah disebutkan kata ar-rijāl yang berarti laki-laki, sembarang laki-laki baik dalam peran keluarga (suami) maupun dalam peran kemasyarakatan. Juga kata al-nisā’ yang berarti perempuan baik dalam fungsi ke-rumahtangga-an maupun kemasyarakatan. Demikian argumen yang dipakai pendukung kepemimpinan laki-laki.
Pendukung paham lain mengatakan bahwa kedua kata itu dapat dipakai dalam pengertian fungsinya, bukan jenis fisiknya. Seorang laki-laki dapat saja tidak mempunyai jiwa kepemimpinan dan karenanya lebih cocok untuk dipimpin daripada memimpin. Dapat juga seorang perempuan mempunyai kecakapan dan kemauan untuk memimpin sehingga orang-orang di sekitarnya, baik laki-laki maupun perempuan, dapat diarahkannya ke tujuan bersama.
Kembali kepada persoalan Akal dan Wahyu, mengapa terdapat paham bahwa akal harus diletakkan di bawah Wahyu? Nampak pada tinjauan pertama adanya kekhawatiran mengenai berkurangnya kekudusan wahyu kalau akal dipakai untuk memahami wahyu secara bebas. Orang tidak boleh menafsirkan al-Qur’an dengan kemampuannya menalar, demikian dikatakan banyak ahli tafsir dengan berdalil kepada hadis seperti:
ﻣَﻦْ ﻗَﺎﻝَ ﻓِﻲ ﺍﻟﻘُﺮْﺁﻥِ ﺑِﺮَﺃْﻳِﻪِ ﻓَﺄَﺻَﺎﺏَ ﻓَﻘَﺪْ ﺃَﺧْﻄَﺄَ ( ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺘﺮﻣﺬﻱ ).
(Barangsiapa berkata tentang al-Qur’an (menafsirkannya) dan ternyata perkataannya itu tepat, maka sesungguhnya ia telah luput).
Juga hadis:
ﻣﻦ ﻓﺴﺮ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﺑﺮﺃﻳﻪ ﻓﻠﻴﺘﺒﻮﺃ ﻣﻘﻌﺪﻩ ﻣﻦ ﺍﻟﻨﺎﺭ ( ﺷﺮﺡ ﻣﻘﺪﻣﺔ ﻓﻲ ﺃﺻﻮﻝ ﺍﻟﺘﻔﺴﻴﺮ ﻻﺑﻦ ﺗﻴﻤﻴﺔ، ﺹ : 318 )
(Barangsiapa menafsirkan al-Qur’an dengan pendapatnya sendiri, maka hendaklah ia mendudukkan tempat duduknya di neraka.)
Apakah ini berarti orang tidak boleh memahami al-Qur’an dngan kecakapannya berpikir? Nanti dulu. Di dalam riwayat al-Turmudzi terdapat pula hadits yang berbunyi:
ﻗَﺎﻝَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ ﺹ - ﻡ :- ﻣَﻦْ ﻗَﺎﻝَ ﻓِﻲ ﺍﻟﻘُﺮْﺁﻥِ ﺑِﻐَﻴْﺮِ ﻋِﻠْﻢٍ ﻓَﻠْﻴَﺘَﺒَﻮَّﺃْ ﻣَﻘْﻌَﺪَﻩُ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻨَّﺎﺭِ .
Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa berbicara tentang al-Qur’an tanpa pengetahuan, maka hendaklah ia mendudukkan tempat duduknya di neraka.)
Di dalam Ṣaḥīḥ Muslim disebutkan bahwa ada orang yang menjelaskan ayat 10 dari surat al-Dukhān { ﻳَﻮْﻡَ ﺗَﺄْﺗِﻲ ﺍﻟﺴَّﻤَﺎﺀُ ﺑِﺪُﺧَﺎﻥٍ ﻣُﺒِﻴﻦٍ { [ ﺍﻟﺪﺧﺎﻥ : 10 ]
bahwa di hari kiamat nanti akan datang asap kepada seluruh manusia, lalu mengganggu nafas mereka sehingga mereka seperti terserang pilek.
Ini contoh tafsir yang tidak berdasar pada pengetahuan. Sementara itu akal manusia sangat besar perannya dalam menganalisis struktur kalimat al-Qur’an, menelusuri berita-berita tentang konteks, membedakan bahwa lugas dan bahasa kiasan dan seterusnya yang dibahas dalam ilmu tafsir. Dalam kenyataannya pun banyak ahli tafsir yang menggunakan pemikiran dan analisis dalam menjelaskan pengertian ayat-ayat al-Qur’an. Dengan demikian, yang dilarang adalah menggunakan akal secara bebas, tak terkendali oleh tertib pikir dan analisis terhadap informasi terpercaya yang tersedia berkaitan dengan ayat yang ditafsirkan.
Secara husnuzan dapat dikatakan bahwa ulama ulama pendukung pemahaman harafiah terhadap al-Qur’an mengambil sikap itu untuk menjaga orang awam tidak mudah diajak berpikir. Kepada mereka cukup diberikan pengetahuan dasar yang memungkinkan mereka untuk menjalani hidup secara bertanggungjawab dengan berpegang pada ajaran agama. Pemikiran mendalam adalah tugas para cendekia yang diberi karunia kecakapan berpikir. Itu adalah karunia Tuhan yang mesti dimanfaatkan. Kepada orang awam tidak perlu diberikan beban berpikir mendalam karena beban hidup mereka sudah cukup berat, namun orang yang dianugerahi kecakapan berpikir tidak semestinya memilih beban yang ringan dengan mengorbankan karunia.
Disamping itu sejarah juga mencatat bahwa sering kali penguasa politik merasa lebih mudah menghadapi orang yang kurang pandai berpikir, sehingga dikembangkanlah teologi yang membuat mereka lebih “jinak” dan mudah diarahkan ke tujuan yang menguntungkan para penguasa. Semestinya mereka mengingat bahwa warga yang dapat berpikir dengan baik merupakan aset yang sangat berharga untuk memperkuat masyarakat dan negara. Akan tetapi, tidak mudah mengendalikan mereka.
Selanjutnya>>> Kembali ke Hukum Allah
*Dosen UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
Pemikiran Islam (3) | Munculnya Ilmu Kalam dan Fiqih
Reviewed by Erhaje88 Blog
on
September 05, 2017
Rating:

No comments:
Erhaje88 tidak bertanggung jawab atas isi komentar yang ditulis. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE