Oleh: Prof. Muhammad Machasin*
Sebelumnya<<<
Kesesatan Aqidah Faham Murji'ah
Prinsip utama kaum Murjiah berbunyi, “Kedurhakaan tak membahayakan sepanjang ada iman, sebagaimana ketaatan tak berguna sepanjang ada kufur” ( ﻻ ﺗﻀﺮ ﻣﻊ ﺍﻹﻳﻤﺎﻥ ﻣﻌﺼﻴﺔ ﻛﻤﺎ ﻻ ﻳﻨﻔﻊ ﻣﻊ ﺍﻟﻜﻔﺮ ﻃﺎﻋﺔ ). Inilah sebenarnya yang menyebabkan mereka oleh para penulis sejarah aliran dalam Islam menganggap mereka keluar dari ajaran pokok Islam. Sebelum membicarakan masalah ini lebih jauh, kiranya perlu kita ketahui bahwa kaum Murjiah secara garis besar dapat digolongkan menjadi empat golongan.
Pertama, Murjiah Khawārij, yakni kaum Khawārij yang tidak menyatakan pemisahan diri dari ‘Alī, seperti kaum Ḥāzimiah.
Kedua, Murjiah qadariah, yakni golongan mereka yang berpaham bahwa perbuatan bukan bagian dari iman atau bahwa hukum iman/kafir diserahkan kepada Allah (irjā’) dan kebebasan manusia dalam melakukan perbuatan. Di antara tokoh mereka adalah Muḥammad bin Syabīb, al-Ṣāliḥī dan Ghailān al-Dimasyqī.
Ketiga, Murjiah jabariah yang menggabungkan paham irjā’ dengan paham bahwa semua perbuatan manusia ditentukan dan diciptakan oleh Allah.
Keempat, Murjiah murni, yang berpaham irjā; tapi tidak berbicara tentang status perbuatan manusia: apakah dilakukannya secar bebas atau dipaksakan oleh Allah.
Sebagaimana kebanyakan aliran dalam Islam yang lain, kaum Murjiah juga terpecah menjadi beberapa kelompok. Di antaranya, al-Jahmiah, pengikut Jahm bin Ṣafwān (78-128 H/696-746 M); al-Ṣāliḥiah, pengikut Abū al-Ḥusain Ṣāliḥ bin ‘Umar al-Ṣāliḥī; al-Yūnusiah, pengikut Yūnus bin ‘Aun al-Numairī; al-‘Ubaidiah, pengikut ‘Ubaid al-Muktaib; al-Ghassāniah, pengikut Ghassān al-Kūfī; al-Taubāniah, pengikut ‘Abū Tsaubān al-Murji’; al-Marīsiah, pengikut Bisyr al-Marīsī dan Tūmaniah, pengikut Abū Muʻādz al-Tūmanī.
Pemikiran irjā’, selain disebabkan perang Jamal dan perang Ṣiffīn sesama kaum Muslim, juga dipengaruhi pembangkangan panglima pasukan Bani Umayyah ‘Abdurraḥmān bin Muḥammad bin al-Asyʻats al-Kindī (w. 85/704) terhadap pimpinannya, al-Ḥajjāj bin Yūsuf al-Tsaqafī (40-95 H/661-714). Ḥajjāj adalah seorang gubernur militer Bani Umayyah yang sangat bengis. Ketika datang ke Iraq sebagai gubernur—saat itu terjadi pembangkangan di sana—, ia masuk masjid Kufah dan menyampaikan pidatonya, “… Kulihat kepala-kepala orang di sini telah masak dan akulah pemetiknya. Demi Allah, kalau aku perintahkan kalian untuk keluar dari mesjid melalui pintu tertentu, lalu ternyata ada yang memilih pintu lain, maka pasti orang itu akan kupenggal kepalanya.” Ibn al-Asyʻats, sebaliknya, adalah orang sangat sopan dan dekat dengan pendukuk Iraq, terutama para ulamanya. Ketika mendengar keluhan mereka terhadap perlakuan kejam dari bosnya, ia pun tidak mampu menahan diri dari memenuhi keinginan mereka untuk melawan Ḥajjāj, maka terjadilah perang-perang antara kedua pimpinan Bani Umayyah ini selama kurang lebih tiga tahun (81-83 H) dan puncaknya adalah perang Dīr al-Jamājim (83 H) yang merupakan perang terbesar dalam masa pemerintahan Bani Umayyah. Ḥajjāj menang dan Ibn al-Asyʻats melarikan diri sebelum akhirnya bunuh diri dua tahun kemudian.
Banyak ulama terbunuh pada perang ini dan persekusi yang dilakukan pihak Ḥajjāj; karenanya terjadi semacam kekosongan dalam bidang pembimbingan umat dan paham irjā’ mengambil kesempatan untuk berkembang dan menyebar. Dapat diperkirakan bahwa paham ini menarik banyak orang karena dirasa menyelamatkan iman mereka di hadapan penguasa lalim yang memaksa mereka untuk melakukan hal-hal yang bertentangan dengan keyakinan mereka.
Empat Inti Pemikiran Kaum Murji'ah
Gerakan irjā’ muncul di kalangan ahli fiqih. Di antara tokohnya adalah Ḥammād bin Abī Sulaimān (w. 120/747), guru dari Imam Abū Ḥanīfah al-Nuʻmān dan murid dari Ibrāhīm al-Nakha’ī (w. 96/714). Para ahli fiqih dari Kufah itu berpendapat bahwa perbuatan tidak termasuk dalam hakekat iman ( ﺍﻥ ﺍﻟﻌﻤﻞ ﻟﻴﺲ ﻣﻦ ﺣﻘﻴﻘﺔ ﺍﻹﻳﻤﺎﻥ ). Tokoh lain yang cukup penting adalah Dzarr bin ‘Abdillāh al-Hamadānī al-Murhibī al-Kūfī (w. 83/702) disebut oleh banyak penulis buku rijāl al-ḥadīts (birografi para periwayat hadis Nabi) terlibat dalam pembangkangan Ibn al-Asyʻats. Ia pun disebut meninggal dalam perang Dīr al-Jamājim.
Melihat keterlibatan Dzarr dalam pembangkangan itu dan sikap irjā’ yang menganggap bahwa perbuatan tidak merupakan bagian dari iman, kita dapat mengatakan bahwa pada awalnya sikap irjā’ tidak mesti berarti mendukung kekuasaan atau membiarkan orang yang melakukan dosa tetap berkuasa, asalkan ia beriman di dalam hati ( ﺍﻟﺘﺼﺪﻳﻖ ﺑﺎﻟﻘﻠﺐ ) dan/atau menyatakannya dengan pernyataan lidah ( ﺍﻹﻗﺮﺍﺭ ﺑﺎﻟﻠﺴﺎﻥ ). Dzarr tidak membiarkan al-Ḥajjāj memerintah dengan kebengisan dan kejahatan dan karenanya ikut dalam pasukan Ibn al-Asyʻats, walaupun dapat pula dikatakan bahwa ia tidak mempersoalkan keabsahan otoritas politik Bani Umayyah dan yang dilawan adalah kekejaman dan ketidakadilan kaki-tangan dinasti itu.
Akan tetapi jelas bahwa Bani Umayyah diuntungkan dengan adanya paham kaum Murjiah: baik bahwa perbuatan tidak merupakan bagian dari iman, maupun bahwa manusia tidak berhak menentukan status keimanan atau kekafiran pelaku dosa besar. Yang berhak untuk menentukan itu adalah Allah; itu pun baru akan diketahui di akherat nanti. Dengan itu, berarti keabsahan kekuasaan Bani Umayyah tidak dipersoalkan dari segi keimanan para khalifahnya. Ini bertentangan dengan pendapat kaum Khawārij yang berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidak lagi beriman dan karenanya tidak boleh memegang jabatan Khalifah atau Imam.
Paham irjā’ ahli fiqih ini kemudian dikembangkan oleh pemikir kalam. Intinya adalah:
1. Iman adalah pembenaran di dalam hati disertai atau tidak disertai dengan pernyataan dengan lidah.
2. Iman tidak bertambah dan tidak berkurang.
3. Pelaku dosa besar tidak kafir selama ia tetapi membenarkan dalam akan adanya Allah dan atau menyatakannya dengan mulutnya.
4. Pelaku dosa besar tidak abadi di neraka, walaupun tidak bertobat, dan tidak dihukumi dengan ancaman dan siksa karena Allah Maha Pemaaf.
Walaupun terdapat perbedaan mengenai detil pemikiran di antara berbagai golongan yang termasuk di dalam aliran Murjiah, namun pada dasarnya mereka sepakat dalam keempat poin di atas. Masih perlu diteliti lebih jauh apakah pemikiran ini merupakan upaya akomodasi mereka terhadap kenyataan politik yang ada (yakni bahwa umat Islam terbagi dalam tiga kelompok: Bani Umayyah yang makin kuat, Khawārij yang terus melawan dan Syīʻah yang terus bergerak di bawah tanah) ataukah merupakan gerakan pemikiran keagamaan semata. Sementara itu, kekuatan politik keempat, yakni Bani ‘Abbas mulai bergerak baik dalam lingkaran politik maupun keilmuan agama.
Selanjutnya >>>Imam Abu Hanifah Penganut Faham Murji'ah?
*Dosen UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
Sebelumnya<<<
Kesesatan Aqidah Faham Murji'ah
Prinsip utama kaum Murjiah berbunyi, “Kedurhakaan tak membahayakan sepanjang ada iman, sebagaimana ketaatan tak berguna sepanjang ada kufur” ( ﻻ ﺗﻀﺮ ﻣﻊ ﺍﻹﻳﻤﺎﻥ ﻣﻌﺼﻴﺔ ﻛﻤﺎ ﻻ ﻳﻨﻔﻊ ﻣﻊ ﺍﻟﻜﻔﺮ ﻃﺎﻋﺔ ). Inilah sebenarnya yang menyebabkan mereka oleh para penulis sejarah aliran dalam Islam menganggap mereka keluar dari ajaran pokok Islam. Sebelum membicarakan masalah ini lebih jauh, kiranya perlu kita ketahui bahwa kaum Murjiah secara garis besar dapat digolongkan menjadi empat golongan.
Pertama, Murjiah Khawārij, yakni kaum Khawārij yang tidak menyatakan pemisahan diri dari ‘Alī, seperti kaum Ḥāzimiah.
Kedua, Murjiah qadariah, yakni golongan mereka yang berpaham bahwa perbuatan bukan bagian dari iman atau bahwa hukum iman/kafir diserahkan kepada Allah (irjā’) dan kebebasan manusia dalam melakukan perbuatan. Di antara tokoh mereka adalah Muḥammad bin Syabīb, al-Ṣāliḥī dan Ghailān al-Dimasyqī.
Ketiga, Murjiah jabariah yang menggabungkan paham irjā’ dengan paham bahwa semua perbuatan manusia ditentukan dan diciptakan oleh Allah.
Keempat, Murjiah murni, yang berpaham irjā; tapi tidak berbicara tentang status perbuatan manusia: apakah dilakukannya secar bebas atau dipaksakan oleh Allah.
Sebagaimana kebanyakan aliran dalam Islam yang lain, kaum Murjiah juga terpecah menjadi beberapa kelompok. Di antaranya, al-Jahmiah, pengikut Jahm bin Ṣafwān (78-128 H/696-746 M); al-Ṣāliḥiah, pengikut Abū al-Ḥusain Ṣāliḥ bin ‘Umar al-Ṣāliḥī; al-Yūnusiah, pengikut Yūnus bin ‘Aun al-Numairī; al-‘Ubaidiah, pengikut ‘Ubaid al-Muktaib; al-Ghassāniah, pengikut Ghassān al-Kūfī; al-Taubāniah, pengikut ‘Abū Tsaubān al-Murji’; al-Marīsiah, pengikut Bisyr al-Marīsī dan Tūmaniah, pengikut Abū Muʻādz al-Tūmanī.
Pemikiran irjā’, selain disebabkan perang Jamal dan perang Ṣiffīn sesama kaum Muslim, juga dipengaruhi pembangkangan panglima pasukan Bani Umayyah ‘Abdurraḥmān bin Muḥammad bin al-Asyʻats al-Kindī (w. 85/704) terhadap pimpinannya, al-Ḥajjāj bin Yūsuf al-Tsaqafī (40-95 H/661-714). Ḥajjāj adalah seorang gubernur militer Bani Umayyah yang sangat bengis. Ketika datang ke Iraq sebagai gubernur—saat itu terjadi pembangkangan di sana—, ia masuk masjid Kufah dan menyampaikan pidatonya, “… Kulihat kepala-kepala orang di sini telah masak dan akulah pemetiknya. Demi Allah, kalau aku perintahkan kalian untuk keluar dari mesjid melalui pintu tertentu, lalu ternyata ada yang memilih pintu lain, maka pasti orang itu akan kupenggal kepalanya.” Ibn al-Asyʻats, sebaliknya, adalah orang sangat sopan dan dekat dengan pendukuk Iraq, terutama para ulamanya. Ketika mendengar keluhan mereka terhadap perlakuan kejam dari bosnya, ia pun tidak mampu menahan diri dari memenuhi keinginan mereka untuk melawan Ḥajjāj, maka terjadilah perang-perang antara kedua pimpinan Bani Umayyah ini selama kurang lebih tiga tahun (81-83 H) dan puncaknya adalah perang Dīr al-Jamājim (83 H) yang merupakan perang terbesar dalam masa pemerintahan Bani Umayyah. Ḥajjāj menang dan Ibn al-Asyʻats melarikan diri sebelum akhirnya bunuh diri dua tahun kemudian.
Banyak ulama terbunuh pada perang ini dan persekusi yang dilakukan pihak Ḥajjāj; karenanya terjadi semacam kekosongan dalam bidang pembimbingan umat dan paham irjā’ mengambil kesempatan untuk berkembang dan menyebar. Dapat diperkirakan bahwa paham ini menarik banyak orang karena dirasa menyelamatkan iman mereka di hadapan penguasa lalim yang memaksa mereka untuk melakukan hal-hal yang bertentangan dengan keyakinan mereka.
Empat Inti Pemikiran Kaum Murji'ah
Gerakan irjā’ muncul di kalangan ahli fiqih. Di antara tokohnya adalah Ḥammād bin Abī Sulaimān (w. 120/747), guru dari Imam Abū Ḥanīfah al-Nuʻmān dan murid dari Ibrāhīm al-Nakha’ī (w. 96/714). Para ahli fiqih dari Kufah itu berpendapat bahwa perbuatan tidak termasuk dalam hakekat iman ( ﺍﻥ ﺍﻟﻌﻤﻞ ﻟﻴﺲ ﻣﻦ ﺣﻘﻴﻘﺔ ﺍﻹﻳﻤﺎﻥ ). Tokoh lain yang cukup penting adalah Dzarr bin ‘Abdillāh al-Hamadānī al-Murhibī al-Kūfī (w. 83/702) disebut oleh banyak penulis buku rijāl al-ḥadīts (birografi para periwayat hadis Nabi) terlibat dalam pembangkangan Ibn al-Asyʻats. Ia pun disebut meninggal dalam perang Dīr al-Jamājim.
Melihat keterlibatan Dzarr dalam pembangkangan itu dan sikap irjā’ yang menganggap bahwa perbuatan tidak merupakan bagian dari iman, kita dapat mengatakan bahwa pada awalnya sikap irjā’ tidak mesti berarti mendukung kekuasaan atau membiarkan orang yang melakukan dosa tetap berkuasa, asalkan ia beriman di dalam hati ( ﺍﻟﺘﺼﺪﻳﻖ ﺑﺎﻟﻘﻠﺐ ) dan/atau menyatakannya dengan pernyataan lidah ( ﺍﻹﻗﺮﺍﺭ ﺑﺎﻟﻠﺴﺎﻥ ). Dzarr tidak membiarkan al-Ḥajjāj memerintah dengan kebengisan dan kejahatan dan karenanya ikut dalam pasukan Ibn al-Asyʻats, walaupun dapat pula dikatakan bahwa ia tidak mempersoalkan keabsahan otoritas politik Bani Umayyah dan yang dilawan adalah kekejaman dan ketidakadilan kaki-tangan dinasti itu.
Akan tetapi jelas bahwa Bani Umayyah diuntungkan dengan adanya paham kaum Murjiah: baik bahwa perbuatan tidak merupakan bagian dari iman, maupun bahwa manusia tidak berhak menentukan status keimanan atau kekafiran pelaku dosa besar. Yang berhak untuk menentukan itu adalah Allah; itu pun baru akan diketahui di akherat nanti. Dengan itu, berarti keabsahan kekuasaan Bani Umayyah tidak dipersoalkan dari segi keimanan para khalifahnya. Ini bertentangan dengan pendapat kaum Khawārij yang berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidak lagi beriman dan karenanya tidak boleh memegang jabatan Khalifah atau Imam.
Paham irjā’ ahli fiqih ini kemudian dikembangkan oleh pemikir kalam. Intinya adalah:
1. Iman adalah pembenaran di dalam hati disertai atau tidak disertai dengan pernyataan dengan lidah.
2. Iman tidak bertambah dan tidak berkurang.
3. Pelaku dosa besar tidak kafir selama ia tetapi membenarkan dalam akan adanya Allah dan atau menyatakannya dengan mulutnya.
4. Pelaku dosa besar tidak abadi di neraka, walaupun tidak bertobat, dan tidak dihukumi dengan ancaman dan siksa karena Allah Maha Pemaaf.
Walaupun terdapat perbedaan mengenai detil pemikiran di antara berbagai golongan yang termasuk di dalam aliran Murjiah, namun pada dasarnya mereka sepakat dalam keempat poin di atas. Masih perlu diteliti lebih jauh apakah pemikiran ini merupakan upaya akomodasi mereka terhadap kenyataan politik yang ada (yakni bahwa umat Islam terbagi dalam tiga kelompok: Bani Umayyah yang makin kuat, Khawārij yang terus melawan dan Syīʻah yang terus bergerak di bawah tanah) ataukah merupakan gerakan pemikiran keagamaan semata. Sementara itu, kekuatan politik keempat, yakni Bani ‘Abbas mulai bergerak baik dalam lingkaran politik maupun keilmuan agama.
Selanjutnya >>>Imam Abu Hanifah Penganut Faham Murji'ah?
*Dosen UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
Pemikiran Islam (9), Kesesatan Aqidah Kaum Murji'ah
Reviewed by Erhaje88 Blog
on
September 09, 2017
Rating:
No comments:
Erhaje88 tidak bertanggung jawab atas isi komentar yang ditulis. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE