Oleh: Musoffa Irfan
Sejak pertengahan Oktober, para kiai pedesaan bergegas menuju pusat kota Surabaya. Di belakangnya, para santri berduyun-duyun mengikuti sang pemimpin, ditarik dari tempat2 pesantren dan gubug mrk yg terpencil, lantaran ada firasat bhw krisis umum akan segera tiba.
Pemuda 25 tahun bernama Soetomo (Bung Tomo), memimpin pemuda yg telah diliputi semangat bertempur. Bung Tomo mendirikan stasiun pemancar radio, bernama Radio Pemberontakan. Siaran2 Bung Tomo yg selalu dimulai dg pekik takbir berhasil membangkitkan hati kaum santri Jawa dan Madura.
Pada 21-22 Oktober NU dari seluruh Jawa dan Madura mengadakan rapat akbar, yg dlm rapat itu disepakati sebuah resolusi yg isinya; 1) Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 wajib dipertahankan, 2) Republik Indonesia sbg satu2nya pemerintahan yg sah wajib dibela, 3) Umat Islam, terutama warga NU wajib mengangkat senjata melawan Belanda dan Sekutunya, 4) Kewajiban ini merupakan perang suci (jihad) dan merupakan fardlu 'ain bg seluruh umat muslim yg tinggal dlm radius 94 km. Sedangkan mrk yg tinggal di luar radius tsb wajib membantu scr materiil.
Seruan ulama NU yg dikeluarkan langsung oleh Hadratus Syeikh KH. Hasyim Asy'ari, yg populer dg sebutan Resolusi Jihad itu, bergema ke seluruh penjuru Jawa dan Madura. Hati umat Islam bergetar, dan mrk pun berbondong-bondong menuju pusat kota memenuhi seruan tsb.
Menurut Martin Van Bruinessen (1994), Resolusi Jihad merupakan pengakuan legitimasi bg pemerintah, dan sekaligus kritik tdk langsung atas sikap pasifnya.
Kritik ini muncul sbg akibat tdk adanya sikap tegas pemerintah menyangkut krisis politik yg tengah berkobar di langit Surabaya. Dlm suatu pidato radio tgl 31 Oktober, Soekarno bahkan berseru, "..Djanganlah kita memaksakan diri kita sendiri menghadapi segala kekerasan perang Inggris dan seloeroeh Sekoetoe..! ..Sekali lagi, saja memerintahkan, soepaja semoea pertempoeran dg Sekoetoe diperhentikan. Djalankan perintah saja itoe..! Merdeka!" (Anderson, 1988).
Jantung rakyat Surabaya terbelah dua. Sebagian percaya pd himbauan Soekarno, dan sebagian lainnya tetap mencurigai Sekutu. Tapi nyatanya, teriakan2 rakyat Surabaya kembali membelah angkasa. Himbauan Soekarno pelan2 lenyap disapu kencangnya badai revolusi.
Para pemuda itu terus mengobarkan semangat bertempur. Mereka terus berteriak, "Ambillah jiwa kami..!" Tapi pd saat berteriak itu, mrk sambil menembak.
Pada tgl 28 Ojtober, Brigadir Jenderal Mallaby tewas, dlm suatu insiden pertempuran yg kacau, suatu pertempuran yg rupanya baru tahap pendahuluan yg kemudian menjadi titik tolak utk peristiwa2 berikutnya yg lbh dahsyat.
Teriakan2 terus membelah angkasa. Puncak kemarahan arek2 Surabaya pecah, tatkala tgl 9 November Jenderal Mansergh mengeluarkan ultimatum yg menuntut supaya seluruh senjata di Surabaya diserahkan sebelum jam 06.00 tgl 10 November, dan supaya orang2 yg bertanggung jawab atas tewasnya Mallaby diserahkan.
Ultimatum Mansergh menyebar ke seluruh penjuru kota. Tapi di mana2 orang2 hampir berkata sama, "Sekoetoe memang boekan moesoeh, tapi mrk memboenoeh di Djakarta. Kita tdk maoe diperlakoekan seperti orang2 Djakarta. Kita akan menolak. Kita akan berdjoeang. Kita poenja revolver dan pisau belati..!".
Rakyat Surabaya tdk sudi menyerahkan senjatanya. Mrk memilih mati berkalang tanah daripada harus menyerah. Dan dlm waktu sekejap, kota Surabaya telah berubah menjadi medan Kurusetra.
Pemuda2 revolusioner itu menghadapi serangan Sekutu dg semangat nasionalisme yg membara. Pemuda Hizbullah seger mengorganisasikan diri menyiagakan anak buahnya utk betsiap2 masuk ke jantung kota. Pemuda Ansor (ANO) yg tergabung dlm barisan Hizbullah bertempur dg semangat jihad yg berkobar-kobar. Mereka berjuang tanpa sedikit pun muncul perasaan cemas dan takut terselip di dadanya.
David Wehl (1970), mengikhtisarkan konsekuensi2 pertempuran Surabaya dg sangat baik. "Seandainya pertempuran2 seperti itu berlangsung di seluruh Jawa, jutaan org akan tewas, dan baik Republik Indonesia maupun Hindia Timur Belanda akan tenggelam dlm lautan darah. Akan tetapi fanatisme dan kemarahan Surabaya yg luar biasa itu tdk pernah terulang kembali, dan bahkan ketika perang terbuka mulai antara Belanda dan Republik Indonesia, tdk ada pertempuran yg dilancarkan Republik yg dpt disebandingkan dg pertempuran Surabaya itu, baik dlm keberanian maupun dlm kegigihannya".
(facebook/musoffairfan)
Sejak pertengahan Oktober, para kiai pedesaan bergegas menuju pusat kota Surabaya. Di belakangnya, para santri berduyun-duyun mengikuti sang pemimpin, ditarik dari tempat2 pesantren dan gubug mrk yg terpencil, lantaran ada firasat bhw krisis umum akan segera tiba.
Pemuda 25 tahun bernama Soetomo (Bung Tomo), memimpin pemuda yg telah diliputi semangat bertempur. Bung Tomo mendirikan stasiun pemancar radio, bernama Radio Pemberontakan. Siaran2 Bung Tomo yg selalu dimulai dg pekik takbir berhasil membangkitkan hati kaum santri Jawa dan Madura.
Pada 21-22 Oktober NU dari seluruh Jawa dan Madura mengadakan rapat akbar, yg dlm rapat itu disepakati sebuah resolusi yg isinya; 1) Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 wajib dipertahankan, 2) Republik Indonesia sbg satu2nya pemerintahan yg sah wajib dibela, 3) Umat Islam, terutama warga NU wajib mengangkat senjata melawan Belanda dan Sekutunya, 4) Kewajiban ini merupakan perang suci (jihad) dan merupakan fardlu 'ain bg seluruh umat muslim yg tinggal dlm radius 94 km. Sedangkan mrk yg tinggal di luar radius tsb wajib membantu scr materiil.
Seruan ulama NU yg dikeluarkan langsung oleh Hadratus Syeikh KH. Hasyim Asy'ari, yg populer dg sebutan Resolusi Jihad itu, bergema ke seluruh penjuru Jawa dan Madura. Hati umat Islam bergetar, dan mrk pun berbondong-bondong menuju pusat kota memenuhi seruan tsb.
Menurut Martin Van Bruinessen (1994), Resolusi Jihad merupakan pengakuan legitimasi bg pemerintah, dan sekaligus kritik tdk langsung atas sikap pasifnya.
Kritik ini muncul sbg akibat tdk adanya sikap tegas pemerintah menyangkut krisis politik yg tengah berkobar di langit Surabaya. Dlm suatu pidato radio tgl 31 Oktober, Soekarno bahkan berseru, "..Djanganlah kita memaksakan diri kita sendiri menghadapi segala kekerasan perang Inggris dan seloeroeh Sekoetoe..! ..Sekali lagi, saja memerintahkan, soepaja semoea pertempoeran dg Sekoetoe diperhentikan. Djalankan perintah saja itoe..! Merdeka!" (Anderson, 1988).
Jantung rakyat Surabaya terbelah dua. Sebagian percaya pd himbauan Soekarno, dan sebagian lainnya tetap mencurigai Sekutu. Tapi nyatanya, teriakan2 rakyat Surabaya kembali membelah angkasa. Himbauan Soekarno pelan2 lenyap disapu kencangnya badai revolusi.
Para pemuda itu terus mengobarkan semangat bertempur. Mereka terus berteriak, "Ambillah jiwa kami..!" Tapi pd saat berteriak itu, mrk sambil menembak.
Pada tgl 28 Ojtober, Brigadir Jenderal Mallaby tewas, dlm suatu insiden pertempuran yg kacau, suatu pertempuran yg rupanya baru tahap pendahuluan yg kemudian menjadi titik tolak utk peristiwa2 berikutnya yg lbh dahsyat.
Teriakan2 terus membelah angkasa. Puncak kemarahan arek2 Surabaya pecah, tatkala tgl 9 November Jenderal Mansergh mengeluarkan ultimatum yg menuntut supaya seluruh senjata di Surabaya diserahkan sebelum jam 06.00 tgl 10 November, dan supaya orang2 yg bertanggung jawab atas tewasnya Mallaby diserahkan.
Ultimatum Mansergh menyebar ke seluruh penjuru kota. Tapi di mana2 orang2 hampir berkata sama, "Sekoetoe memang boekan moesoeh, tapi mrk memboenoeh di Djakarta. Kita tdk maoe diperlakoekan seperti orang2 Djakarta. Kita akan menolak. Kita akan berdjoeang. Kita poenja revolver dan pisau belati..!".
Rakyat Surabaya tdk sudi menyerahkan senjatanya. Mrk memilih mati berkalang tanah daripada harus menyerah. Dan dlm waktu sekejap, kota Surabaya telah berubah menjadi medan Kurusetra.
Pemuda2 revolusioner itu menghadapi serangan Sekutu dg semangat nasionalisme yg membara. Pemuda Hizbullah seger mengorganisasikan diri menyiagakan anak buahnya utk betsiap2 masuk ke jantung kota. Pemuda Ansor (ANO) yg tergabung dlm barisan Hizbullah bertempur dg semangat jihad yg berkobar-kobar. Mereka berjuang tanpa sedikit pun muncul perasaan cemas dan takut terselip di dadanya.
David Wehl (1970), mengikhtisarkan konsekuensi2 pertempuran Surabaya dg sangat baik. "Seandainya pertempuran2 seperti itu berlangsung di seluruh Jawa, jutaan org akan tewas, dan baik Republik Indonesia maupun Hindia Timur Belanda akan tenggelam dlm lautan darah. Akan tetapi fanatisme dan kemarahan Surabaya yg luar biasa itu tdk pernah terulang kembali, dan bahkan ketika perang terbuka mulai antara Belanda dan Republik Indonesia, tdk ada pertempuran yg dilancarkan Republik yg dpt disebandingkan dg pertempuran Surabaya itu, baik dlm keberanian maupun dlm kegigihannya".
(facebook/musoffairfan)
Resolusi Jihad dan Kepahlawanan Kaum Santri
Reviewed by Erhaje88 Blog
on
October 16, 2017
Rating:
No comments:
Erhaje88 tidak bertanggung jawab atas isi komentar yang ditulis. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE