Sidebar Ads

banner image

Mengenang Masa 'Keemasan' Pembaharuan Islam di Indonesia

Oleh: Ulil Abshar Abdalla 

Di tengah-tengah maraknya politik identitas akhir-akhir ini, narasi tentang pembaharuan Islam makin kurang populer. Banyak kecurigaan diarahkan kepada kata yang satu ini. Orang-orang yang kita kenang hari ini memulai karir pemikiran mereka pada masa ketika dorongan ke arah pembaharuan masih cukup besar. Mereka hidup di zaman ketika narasi tentang pembaharuan masih disambut dengan antusiasme yang tinggi.


(Ulil Abshar Abdalla/facebook)


Mereka bekerja sebagai intelektual dan aktivis pada saat ketika pembaharuan dipandang sebagai sumber harapan: pembaharuan adalah cara yang efektif untuk memajukan umat.

Banyak kalangan berharap bahwa gerakan pembaharuan ini akan menerobos kejumudan umat dan membawa mereka ke tanah terang yang diharapkan. Para pembaharu, pada zaman itu, juga dianggap sebagai “hero-hero kecil” yang disambut dengan senyum lebar.

Tentu saja, gambaran saya di atas agak penuh dengan penyederhanaan dan hiperbola. Saya tahu, bahwa pada zaman mereka, para pembaharu itu juga mendapat serangan yang sangat hebat (ingat laporan-laporan majalah Media Dakwah pada zaman itu). Mereka juga mendapat hujatan dan cemoohan. Tetapi, secara umum, tanggapan-tanggapan atas narasi pembaharuan di masa lalu masih bisa membanggakan kita karena dilakukan dalam bentuk percakapan intelektual, debat, dan polemik yang merangsang pemikiran. Hujatan memang ada. Tuduhan kafir juga dilemparkan. Tetapi, percakapan yang produktif masih cukup dominan. Umat pun tampaknya juga bisa menerima pikiran-pikiran “nakal” dari para pembaharu ini dengan dada yang masih lumayan lapang.

Sekarang ini, kita hidup di zaman yang agaknya berbeda. Pembaharuan pemikiran Islam dicurigai sebagai sumber penyesatan umat. Agak sulit melakukan percakapan yang produktif saat ini mengenai agenda pembaharuan, karena suasana sosial-kebudayaan umat Islam saat ini dipenuhi dengan kecurigaan, labelisasi, penyesatan, pengkafiran, dan sebagainya. Salah sebab yang membuat komunikasi intelektual saat ini begitu sulit adalah kuatnya gejala takfir (kafir-mengkafirkan) di tengah-tengah umat saat ini. Hal ini diperparah lagi dengan polarisasi politik setelah era demokrasi terbuka, terutama dalam dua tahun terakhir. Suatu posisi pemikiran langsung dengan gampang dihubungkan dengan posisi politik yang sarat dengan suasana yang “membelah”.

Di tengah-tengah suasana yang agak kurang menggembirakan ini, agaknya kita perlu mengenang zaman “keemasan” pembaharuan yang pernah dialami oleh tokoh-tokoh yang hari ini kita kenang dan peringati. Dengan mengenang mereka, mungkin kita bisa melipur diri, atau lebih dari itu, mengambil pelajaran berharga untuk masa depan. Meskipun secara personal, saya agak skeptis terhadap jalan dan prospek pembaharuan pemikiran Islam dalam sepuluh-dua puluh tahun mendatang. Ini, jika mau jujur, bukanlah keadaan yang khas Indonesia, melainkan merupakan gejala global di mana-mana. Narasi pembaharuan Islam di belahan dunia manapun agak susah dibicarakan lagi.

Perhatian sebagian orang lebih banyak diarahkan kepada hal-hal yang sifatnya lebih “politis” – misalnya, menyangkut isu-isu politik identitas, Islamofobia, bangkitnya narasi kanan di Barat, maraknya salafisme, bangkitnya narasi jihad, dan sebagainya. Usaha-usaha menelaah secara kritis terhadap tradisi klasik Islam seperti pernah menjadi keprihatinan para intelektual Muslim pada dekade 80an dan 90an menjadi kurang populer lagi.

Saya akan mengajak Anda untuk melakukan kilas balik sejarah, melihat kembali “masa keemasan” pembaharuan Islam di negeri kita pada tahun-tahun 70an hingga 90an. Semoga kilas balik tidak membosankan.

Sebagai caveat: Kilas balik yang saya lakukan ini jelas mengandung simplifikasi dan sangat dipengaruhi oleh pengalaman personal saya sendiri.
Pertama-tama, mungkin harus kita katakan bahwa gerakan pembaharuan Islam di Indonesia lahir dalam situasi yang secara politis menguntungkan.
Ini juga, sekali lagi, memperlihatkan bahwa sebuah gagasan kadang-kadang bisa berkecambah dan berkembang karena lahir pada zaman politik yang pas.

Sebagaimana kita tahu, gerakan pembaharuan Islam di Indonesia lahir ketika pemerintah Orde Baru sedang hendak melakukan modernisasi lembaga-lembaga sosial-politik yang ada dalam tubuh umat Islam sebagai bagian dari agenda besar pembangunan. Dalam konteks semacam ini, gagasan-gagasan pembaharuan dipandang cukup menguntungkan bagi agenda pemerintah itu. Kritik terhadap teologi Asyariyyah yang dianggap kurang rasional yang pernah diajukan oleh generasi Harun Nasuiton dulu, misalnya, cukup cocok dengan semangat “rasionalisasi” yang mendasari agenda modernisasi pemerintah.

Tetapi dengan mengatakan ini semua saya tak hendak menyugestikan bahwa gagasan pembaharuan Islam di Indonesia pada 70an dan 80an hanya akibat saja dari situasi politik. Pemahaman semacam ini jelas keliru. Konteks politik memang penting dipertimbangkan, tetapi gagasan pembaharuan sebetulnya memiliki sejarahnya sendiri yang cukup panjang, punya kehidupannya sendiri, dan bukan semata-maat merupakan akibat saja dari situasi politik di zaman modern.

Posisi Harun Nasution memang cukup spesial, sekurang-kurangnya dilihat dari dua hal berikut. Pertama, Pak Harun memperkenalkan kembali pelbagai mazhab teologi klasik dalam konteks modern, seraya menekankan bahwa teologi rasional sebagaimana diperkenalkan kelompok Muktazilah penting dipertimbangkan kembali. Semangat “rasionalisasi teologi” ini, sebagaimana saya katakan sebelumnya, cocok dengan cuaca politik Indonesia di era 70an dan 80an: era ketika rasionalisasi dipandang sebagai jalan yang akan menyelamatkan Indonesia dari situasi yang serba “over-politicized” di era-era sebelumnya.

Kedua, Pak Harun juga menanamkan kesadaran pada generasi baru sarjana Muslim tentang adanya pelbagai pendekatan atas Islam. Bahwa Islam bisa didekati dari pelbagai sudut (atau “aspek” dalam istilah Nasution ketika itu), ini merupakan pengertian yang cukup “eye opening” bagi generasi zaman itu. Ini sekaligus mendobrak cara pandang yang monolitik atas Islam melalui kajian fikih saja.

Suasana intelektual Muslim pada 70an dan 80an, sejauh yang saya tangkap, dicirikan oleh kesadaran tentang pentingnya “menelaah kembali” warisan teologi tradisional yang dianggap cenderung pasif dan kurang rasional, serta condong kepada status-quo politik.

Pada era 80an, muncul kritik atas pendekatan pembangunan yang dianggap top-down dan sentralistik. Sebagian intelektual Muslim pada saat itu –diwakili oleh sosok-sosok seperti Moeslim Abdurrahman, Mansour Fakih, dkk—hendak mengembangkan teologi Islam kritis. Gagasan Islam rasional ala Pak Harun tidak memuaskan bagi kalangan pembaharu dari generasi Kang Moeslim ini, karena dianggap hanya memberikan legitimasi kepada status quo politik. Islam harus menjadi sumber yang menginspirasikan transformasi dan pembebasan kesadaran.

Sementara itu, baik Gus Dur dan Cak Nur membawa kita kepada ranah yang lain. Jika generasi Kang Moeslim prihatin dengan nasib kaum kecil yang tertindas, dan karena itu Islam harus dirumuskan sebagai teologi yang membebaskan dan transformatif, maka Gus Dur dan Cak Nur mencoba mmbawa pemahaman lain tentang Islam.

Di satu pihak, Gus Dur menyadarkan kita bahwa Islam tumbuh di Indonesia melalui lembaga-lembaga setempat yang khas, seperti pesantren (Gus Dur dulu menyebutnya sebagai sub-kultur), dan seraya dengan itu tumbuh pula pengertian dan pemahaman Islam yang “mempribumi”. Di pihak lain, Cak Nur mengenalkan aspek lain dari Islam yang sebetulnya merupakan sisi lain dari gagasan Gus Dur: yaitu aspek kosmopolitanisme peradaban Islam.
Jika Gus Dur membawa kita turun dalam konteks Indonesia, Cak Nur menerbangkan kita ke konteks global dan kosmopolitan dari peradaban Islam yang melintasi batas-batas geografi negara nasional.

Saya memandang para pembaharu seperti Harun, Gus Dur, Cak Nur, Munawir Sjadzali, Wahib, Kang Moeslim sebagai sosok-sosok yang mewakili kubu yang ingin saya sebut sebagai “kubu rethinking”, kubu yang mengajak umat untuk menelaah dan memahami ulang tradisi.
Di seberang kubu ini ada kubu lain yang mencoba melakukan “reconfirming”, menegaskan kembali pokok-pokok akidah Islam, meskipun dengan cara pemahaman yang baru.

Saya ingin memasukkan orang-orang seperti Bang Imad dalam poros ini. Kuliah-kuliah tauhid Bang Imad yang cukup populer pada 80an mencerminkan semangat refkonfirmasi akidah ini. Saya cukup menikmati buku Kuliah Tauhid yang ditulis oleh Bang Imad. Gagasan dia tentang sunnatullah yang ia setarakan dengan “natural law” dan dengan demikian memiliki bau “saintifik” yang cukup kuat, sangat menarik generasi Islam pada dekade 70an dan 80an, terutama di kalangan mahasiswa ilmu-ilmu pasti. Gagasan bahwa Islam cocok dengan sains modern sebagian berasal dari kuliah tauhid yang dirintis oleh Bang Imad ini. Kecocokan Islam dan sains modern ini, tentu saja, memberikan semacam rasa percaya diri pada umat yang berhadapan dengan hegemoni Barat.



Orang-orang seperti Djohan Effendi membawa aspek lain dalam gerakan pembaharuan Islam, yaitu pentingnya umat melakukan dialog dengan kelompok-kelompok lain yang minoritas. Bersama Gus Dur dan Cak Nur, Pak Djohan bisa kita anggap sebagai sosok-sosok yang menyadarkan umat bahwa dialog lintas golongan dan iman sangatlah penting dalam membangun kehidupan yang beradab, yang terhindar dari kekerasan. Dalam konteks ini, sumbangan Cak Nur dalam bentuk gagasan tentang Islam yang hanif dan kepasrahan sangat penting perannya dalam memperkukuh dialog antar-iman.

Pak Munawir Sjadzali menurut saya punya perannya sendiri: yaitu menyadarkan kita bahwa tradisi pemikiran politik Islam perlu dibaca ulang dalam konteks negara kebangsaan modern. Dalam bentuknya yang asli sebagaimana dalam literatur klasik, fiqh al-siyasah Islam perlu dipahami kembali dalam terang zaman baru. Warisan Pak Munawir berguna untuk kita sekarang dalam menghadapi perdebatan mutakhir tentang khilafah yang dipantik oleh kelompok-kelompok seperti HTI dan ISIS.

Bagi saya, Ahmad Wahib adalah unik di antara seluruh tokoh yang kita kenang saat ini. Karena Wahib mati muda, maka sosok dan gambaran kita tentang sosok ini adalah gambaran tentang keberislaman yang penuh dengan kegelisahan. Di satu segi, cukup beruntung bahwa Wahib mati muda, karena dengan demikian gambaran kita tentang dia sebagai ikon kegelisahan akan terus melekat, tak pernah terkoreksi. Andai dia hidup lebih lama, mungkin kegelisahan dia akan selesai, dan kita kehilangan model tentang Islam yang gelisah.

Wahib mewakili tendensi pemikiran yang sebetulnya sudah ada sejak zaman klasik: yaitu beragama yang gelisah, terus mencari, terus menggugat, terus mempertanyakan. Wahib adalah gambaran dari “an Islamicity with a questioning style”. Islam yang gelisah ini cukup banyak membentuk “thought style” dari anak-anak muda yang muncul pada dekade 90an. Secara khusus saya ingin menyebut bahwa buku “Mencari Islam” yang pernah terbit oleh Mizan pada tahun 90an awal adalah kelanjutan dalam bentuk lain dari Islam gelisah, a questioning Islam, ala Wahib ini.

Wahib memang tidak membawa kita kepada sebuah pantai untuk melabuh dan menemukan jawaban yang menenangkan. Wahib agak mirip dengan penyair Perancis Baudelaire yang puisi-puisinya banyak memuji tentang petualangan di laut. Kita membutuhkan Islam jenis seperti ini untuk menyadarkan bahwa ada hal-hal yang kadang-kadang telah membusuk dalam ekspresi-ekrpresi empirik Islam yang kita, karena menjadi bagian darinya, kadang tak menyadarinya.

Sementara itu, Wahib jelas tak akan sampai kepada kita tanpa tangan Ismed Natsir. Meskipun Mas Ismed tak meninggarkan karya yang banyak, tetapi semangat dia dalam berislam tampaknya paralel dengan semangat Wahib: Islam yang terus mencari dan mempersoalkan, Islam yang tak dibatasi dengan mazhab tertentu (L'islam sans mazhab).

Sebuah pembaharuan adalah proses yang lahir dari sebuah percakapan dalam konteks komunitas yang kongkrit. Pembaharuan bukanlah hasil fantasi-platonik di kamar sepi, melainkan respon atas sebuah gejala sosial yang tak ideal. Respon ini biasanya dibentuk dalam sebuah diskusi panjang. Dalam konteks inilah kita perlu memberikan apresiasi kepada sosok-sosok seperti Utomo Dananjaya, Ekky Syachruddin, Syu’bah Asa dan Aswab Mahasin. Orang-orang ini, dengan cara yang berbeda-beda, membangun apa yang sering disebut sebagai komunitas epistemik. Mas Tom dan Bang Ekky membangun Majelis Reboan yang di era 90an cukup menarik banyak minat anak-anak muda Islam yang sedang gelisah dan mencari.

Keistimewaan Majelis Reboan, menurut saya, ialah adanya suasana kebebasan pemikiran, semangat melintasi mazhab dan kelompok, serta ruang terbuka yang disediakan untuk partisipan dari luar Islam (saya langsung teringat pada sosok-sosok sepearti Pdt. Victor Tanja, Romo Mudji Sutrisno, Romo Magnis, dan Rom Benny Susetyo Full ).
Aswab Mahasin membangun wadah epistemik melalui jurnal Prisma yang kemudian juga menyuarakan gaung pembaharuan Islam melalui edisi-edisi khusus. Sementara Syubah Asa punya peran penting dalam menggaungkan narasi pembaharuan Islam melalui majalah Tempo, sehingga ia menjadi percakapan yang bersifat nasional.

Terus terang, saya mengenal sosok-sosok pembaharu ini melalui majalah Tempo saat saya masih di kampung kecil di Pati, Jawa Tengah, pada 80an.
Para pembaharu ini juga bersahabat satu dengan yang lain dalam ikatan yang unik. Persahabatan mereka patut kita kenang saat ini di era ketika polarisasi politik membuat persahabatan pemikiran menjadi kacau-balau.

Generasi sekarang yang hendak membangkitkan kembali warisan pembaharuan berhadapan dengan tiga tantangan yang amat sulit: Pertama adalah merebaknya politik identitas.

Kedua, menguatnya polarisasi politik sebagai akibat dari demokrasi yang terbuka.

Dan ketiga yang tak kalah penting adalah “profesionalisasi dunia akademis” yang melahirkan para sarjana-sarjana Muslim yang piawai menulis di jurnal-jurnal ilmiah dalam semangat yang di Barat biasa disebut “publish or perish”, tetapi tak memiliki kegelisahan ala Wahib untuk melakukan terobosan.

Dengan mengenang sosok-sosok ini, saya berharap kita bisa agak sedikit terlipur hari ini: bahwa kita pernah punya masa keemasan dalam pembaharuan Islam.*

Jakarta, 16 Desember 2017


*Disampaikan dalam acara Tahlil untuk Djohan Effendi di Omah Btari Sri, Jakarta Selatan, pada Sabtu, 16 Desember 2017
Mengenang Masa 'Keemasan' Pembaharuan Islam di Indonesia Mengenang Masa 'Keemasan' Pembaharuan Islam di Indonesia Reviewed by Erhaje88 Blog on December 17, 2017 Rating: 5

No comments:

Erhaje88 tidak bertanggung jawab atas isi komentar yang ditulis. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Stay Connected

Powered by Blogger.