Sidebar Ads

banner image

Saya Belum Teruji Untuk Menjadi Asmat

Oleh: Moh. Agus Fuat*

Hari-hari ini hampir di semua media sosial tengah membincangkan persoalan #KartuKuningJokowi. Berjibun komen sanjungan hingga seloroh kata "goblag-goblog" bersahut-sahutan di setiap kolom komentar.


Fuat dan Anak Asmat (Foto:Hafid)



Berbicara mengenai Kejadian Luar Biasa (KLB) di Asmat, izinkanlah saya untuk berbagi cerita. Saya tergabung dalam tim NU Peduli Kemanusiaan untuk Asmat. Sebelumnya tak pernah terbayangkan jikalau saya ikut andil mengemban tugas ini. Dalam benak saya sudah tergambar bagaimana susahnya menuju Asmat, apalagi ancaman penyakit malaria maupun campak membuat bulu kudu saya berdesir bila membayangkannya.

Anak di Asmat diperiksa kesehatannya (Foto:Mohammad Agus Fuat)


Bermodal nekad dan tawakal, apalagi ini tugas mulia dari NU saya siapkanlah mental dan segala keperluan. Seminggu sebelum keberangkatan kami harus menjalani vaksin campak dan minum obat anti malaria—obat ini masih harus diminum sampai sekarang—supaya tubuh kita kebal. Bersama dokter Makky dan Kang Wahib, kita berangkat naik pesawat dari Jakarta menuju Surabaya-Makasar-Timika.

Dari Timika menuju Asmat kita harus mengendarai pesawat kecil seperti capung. Itu pun jadwal pesawatnya tak menentu. Beruntung tim NU lokal Timika dengan segala upaya berhasil membantu kita untuk mendapatkan tiket keberangkatan esoknya. Di jadwal awal kita berangkat jam 05.00. Walhasil ketika kita berangkat subuh di bandara belum ada tanda-tanda kehidupan. Hujan deras menemani waktu fajar kami hingga sang petugas bandara menyampaikan bahwa keberangkatan pesawat diundur menjadi jam 10.00.

Perjalanan Timika-Asmat kami tempuh dengan durasi 45 menit. Setiba di bandara Ewer, Kabupaten Asmat kami disambut oleh PCNU Kabupaten Asmat dan beberapa tokoh masyarakat. Untuk menuju lokasi KLB, kita naik speedboat. Itu pun kita tak disediakan pelampung. Jadi, ketika ombak datang menghantam kapal, seketika itu pula jantung saya berdentum.


Fuat dan anak di Asmat (Foto:Mohammad Agus Fuat)


Perasaan saya sedikit lega ketika speedboat sampai di distrik Agast. Di sini kami beruntung karena salah satu pengurus NU setempat adalah salah satu tetua adat di kampungnya. Beliau bernama Bapak Leo Rahamtulloh Piripas, Ketua Badan Musyawarah Kampung (BAMUSKAM). Kehadiran beliau membuat kami bisa disambut hangat oleh masyarakat Asmat. Hambatan komunikasi dan memahami kultur warga setempat yang dialami oleh beberapa NGO lain setidaknya tidak terlalu kami pusingkan.

Untuk meninjau bagaimana kondisi anak-anak Asmat, Pak Leo mengajak kami untuk silaturahmi terlebih dahulu dengan tetua adat di Kampung Syuru. Kami diterima oleh para tetua di rumah adat. Mereka sebut itu JEW. Di tempat inilah kami mengutarakan kedatangan kami. Pak Leo menjadi menjadi penyambung lidah di antara kami. Ditemani kopi dan rokok perbincangan menjadi semakin gayeng dan akhirnya forum tetua adat mempersilakan kami untuk menjalankan program di Kampung Syuru.


Masyarakat Asmat (Foto:Mohammad Agus Fuat)


Di sepanjang jalan kami menyusuri rumah-rumah, banyak sekali anak-anak Asmat yang ingin di foto dengan segala tingkah lucunya. Tampaknya mereka pun merasa sangat bahagia atas kedatangan kami. Hanya saja ada sedikit pemandangan yang ganjil menurut saya. Anak-anak balita di sini seringkali makan buah kedondong dengan dicampur micin dan juga penyedap rasa lainnya. Kata mama-mama, itu sudah menjadi cemilan anak-anak. Belakangan saya juga baru tahu kenapa ingus anak-anak seolah tak pernah berhenti itu karena setiap hari mereka minum air mentah. Memang air bersih di Asmat hanya mengandalkan air hujan.

Keesokan hari kami bersama tim lokal mengumpulkan sekitar 300 anak untuk menjalani screening dengan Pak Dokter. Selain itu, anak-anak juga mendapatkan vitamin, susu, dan biskuit. Dari hasil screening sekitar 14 anak terindikasi kurang gizi. Jumlah ini kemungkinan akan terus bertambah karena ini baru screening satu kampung.

Salah satu anak yang masuk dalam list  kami adalah Susana. Umurnya 1,5 tahun. Namun Susana hanya memiliki berat badan 4 kg. Dalam sehari Susana hanya makan nasi atau sagu dua kali. Di waktu pagi ia hanya minum teh atau kopi. Waktu kami beri susu dan biskuit, tangan Susana gemetar. Kata dokter ia kurang banyak protein.

Untuk me-monitoring anak-anak ini NU Peduli Kemanusiaan bersama tim lokal mendirikan rumah gizi. Atau, bahasa lokal mereka sebut CEM GIZI. CEM GIZI ini akan menjadi tempat anak-anak diberikan asupan gizi lebih. Setiap minggu dalam 4 kali mereka akan datang di CEM GIZI untuk diberikan asupan makanan bergizi.

Para pembaca yang budiman, CEM GIZI ini akan menjadi rumah bagi anak-anak Asmat supaya tetap bisa sehat seperti anak-anak Indonesia lainnya. Oleh karena itu, NU CARE-LAZISNU juga melakukan penggalang dana untuk anak-anak Asmat di https://kitabisa.com/NUpeduliAsmat

Banyak cerita yang belum bisa saya tuliskan tentang pengalaman berharga di Asmat. Ini adalah kali pertama saya menginjakkan kaki di tanah Asmat dan begitu pula akan tertancap dalam lembaran hidup saya. Orang bilang ASMAT adalah kependekan dari Asal Mau Tahan. Dan, tampaknya saya belum teruji sepenuhnya untuk menjadi ASMAT.

*Ketua BEM FIB UI 2016, Tim NU Peduli Kemanusiaan

[kolom detik]

Baca artikel terkait:

Ini Cerita Aktivis NU dan Mantan Ketua BEM UI, Moh. Fuat
Saya Belum Teruji Untuk Menjadi Asmat Saya Belum Teruji Untuk Menjadi Asmat Reviewed by Erhaje88 Blog on February 08, 2018 Rating: 5

No comments:

Erhaje88 tidak bertanggung jawab atas isi komentar yang ditulis. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Stay Connected

Powered by Blogger.