Sidebar Ads

banner image

Tulisan Akademik Kiai Ishomuddin Terkait Bahaya HTI

Definisi Hizbut Tahrir

Hizbut Tahrir berasal dari bahasa Arab yang disusun dalam bentuk al-idlafah, hizb  sebagai mudlaf (kata yang disandari) yang dalam bahasa Indonesia berarti partai[1], dan al-tahrir sebagai mudlaf ilaihi (kata yang bersandar kepada mudlaf yang berarti pembebasan.[2] Sehingga Hizbut Tahrir dalam bahasa Indonesia berarti Partai (untuk) Pembebasan.

Hizbut Tahrir Indonesia dibubarkan
Ilustrasi : Luqman Hakim Naba/akurat.co

Saya kutipkan definisi Hizbut Tahrir dari sebuah buku sangat tipis berbahasa Arab, karena bahasa resmi Hizbut Tahrir adalah Bahasa Arab, berjudul Hizb al-Tahrir yang terdiri dari 106 halaman terdapat definisi (al-ta’rif) dari Hizbut Tahrir sebagai berikut :

حزب التحرير هو حزب سياسي مبدؤه الإسلام فالسياسة عمله والإسلام مبدؤه وهو يعمل بين الأمة ومعها لتتخذ الإسلام قضية لها وليقودها لإعادة الخلافة والحكم بما أنزل الله إلى الوجود وحزب التحرير هو تكتل سياسي وليس تكتلا روحيا ولا تكتلا علميا ولا تعليميا ولا تكتلا خيريا [3

“Hizbut Tahrir adalah partai politik, ideologinya Islam, maka politik adalah aktivitasnya sedangkan Islam adalah ideologinya. Hizbut Tahrir selalu beraktivitas di antara umat dan bersamanya untuk menjadikan Islam sebagai petunjuk baginya dan agar menjadi penuntunnya untuk mengembalikan al-khilafah dan memutus dengan apa yang diiturunkan Allah kepada wujud. Dan Hizbut Tahrir adalah perhimpunan (organisasi) yang bersifat politik, bukan organisasi kerohanian, bukan organisasi ilmiah, bukan organisasi pendidikan dan bukan pula organisasi sosial.”

Dalam buku berbahasa Arab yang berjudul Hizbut Tahrir tersebut dijelaskan tentang aktivitas atau kegiatan Hizbut Tahrir keseluruhannya adalah aktivitas politik dengan penjelasan sebagai berikut,

فعمل الحزب كله عمل سياسي سواء أكان خارج الحكم أم كان في الحكم وليس عمله تعليميا فهو ليس مدرسة كما أن عمله ليس وعظا و إرشادا بل عمله سياسي تعطى فيه أفكار الإسلام وأحكامه ليعمل بها ولتحمل لإيجادها في واقع الحياة والدولة [4

“Maka aktivias Hizbut Tahrir semuanya adalah aktivitas politik, baik aktivitas itu di luar hukum atau di dalam hukum. Aktivitasnya bukan bersifat pendidikan, sehingga ia bukanlah madrasah, sebagaimana bahwa aktivitasnya bukanlah memberikan petuah dan bimbingan, namun aktivitasnya bersifat politik yang di dalamnya diberikan gagasan-gagasan Islam dan hukum-hukumnya agar diamalkan dan diwujudkan dalam kehidupan nyata dan negara (daulah islamiyah).”

Website resmi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)–yang merupakan bagian Hizbut Tahrir (HT)–juga menyatakan bahwa Hizbut Tahrir adalah sebuah partai politik yang beridiologi Islam, bukan organisasi kerohanian, bukan lembaga ilmiah, bukan lembaga pendidikan dan bukan pula lembaga sosial yang bermaksud membangun kembali Daulah Khilafah Islamiyah di muka bumi.

Dalam buku berbahasa Inggris,The Method to Re-Estasblish the Khilafah and Resume the Islamic Way of Life, yang dirilis oleh Hizbut Britain dinyatakan bahwa Hizbut Tahrir sebagai partai dimaksudkan untuk bekerja ke arah pembentukan pemerintah, menerapkan Islam secara komprehensif dan membawa pesannya ke seluruh dunia.[5]

Dari berbagai kutipan di atas cukup jelas bahwa HTI adalah partai politik yang merupakan bagian dari Hizbut Tahrir yang juga partai politik, bahkan satu-satunya partai politik Islam di dunia Internasional.

HTI Menyimpangkan Makna Khalifah

Ditinjau dari sisi bahasa Arab, kata خليفة (khalifah) adalah bentuk kata benda tunggal yang berarti “orang yang mengatur urusan-urusan kaum muslim”, sedangkan bentuk jamak (plural) nya adalah خلائف (khalaif). Adapun kata خلفاء (khulafa’) merupakan bentuk jamak dari kata خليف (khalif) tanpa huruf الهاء (ha’) karena kata ini bermakna al-fa’il (kata benda yang menunjukkan pelaku suatu perbuatan). Kata “khalif” ini adalah asal kata dari خليفة (khalifah). Penambahan huruf الهاء (ha’) padanya adalah mubalaghah (bentuk pernyataan yang dilebihkan/pleonastic) sehingga menjadi sifat spesifik bagi orang tertentu.[6]

Menurut Muhammad Jamal al-Din al-Qasimi (1283 H./1866 M.- 1332 H./1914 M.), seorang ulama besar dari Syam (Syiria) menuliskan dalam tafsirnya, bahwa firman Allah dalam Qs. al-Baqarah ayat 30 :

وإذ قال ربك للملائكة إني جاعل في الأرض خليفة أي قوما يخلف بعضهم بعضا قرنا بعد قرن كما قال تعالى وهو الذي جعلكم خلائف الأرض، (الأنعام : ١٦٥ [7

“Dan (ingatlah) ketika Tuhan Pemelihara kamu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan satu khalifah,” maksudnya (menjadikan) suatu kaum menggantikan sebagian mereka dengan sebagian yang lain, satu generasi sesudah generasi sebelumnya, sebagaimana firman Allah ta’ala: “Dan Dia-lah yang menjadikan kamu para khalifah (di) bumi.” (Qs. al-An’am: 165)

Menurut al-Imam al-Qurthubi, kata “khalifah” itu bermakna fa’il (pelaku pekerjaan), yaitu :

يخلف من كان قبله من الملائكة في الأرض أو من كان قبله من غير الملائكة على ما روي

“Yang menggantikan orang yang sebelumnya berupa malaikat yang menetap di bumi atau orang yang sebelumnya (yang tinggal di bumi) dari selain malaikat atas dasar suatu riwayat.”

Makna “khalifah” dalam Qs. al-Baqarah ayat 30 ini menurut Ibnu Mas’ud, Ibn ‘Abbas dan seluruh pakar tafsir adalah Nabi Adam ‘alaihi al-salam, demikian dikeluarkan oleh al-Imam al-Thabari dalam tafsirnya[8]. Nabi Adam adalah khalifatullah dalam melaksanakan hukum-hukum-Nya dan perintah-perintah-Nya, karena ia adalah awwalu rasulin (orang yang mula-mula diutus oleh Allah) ke bumi[9].

الرابعة : هذه الأية أصل في نصب إمام وخليفة يسمع له ويطاع لتجتمع به الكلمة وتنفذ به أحكام الخليفة ولا خلاف في وجوب ذلك بين الأمة ولا بين الأئمة إلا ما روي عن الأصم حيث كان عن الشريعة أصم وكذلك كل من قال بقوله واتبعه على رأيه و مذهبه قال : إنها غير واجبة في الدين بل يسوغ ذلك وإن الأمة متى أقاموا حجهم وجهادهم وتناصفوا فيما بينهم وبذلوا الحق من أنفسهم وقسموا الغنائم والفيء والصدقات على أهلها وأقاموا الحدود على من وجبت عليه أجزأهم ذلك ولا يجب عليهم أن ينصبوا إماما يتولى ذلك

 ودليلنا قول الله تعالى : إني جاعل في الأرض خليفة وقوله تعالى : يادوود انا جعلناك خليفة في الأرض (ص: ٦٦

وقال : وعد الله الذين ءامنوا وعملوا الصالحات ليستخلفنهم في الأرض (النور : ١١) أي : يجعل منهم خلفاء إلى غير ذلك من الآي [10

Keempat: ayat ini (yakni penggalan firman Allah Qs. al-Baqarah ayat 30) adalah landasan (dalil) dalam pengangkatan imam dan khalifah yang karenanya ia didengar dan ditaati, yang dengannya supaya sepakat dalam satu kata dan dengannya hukum-hukum dari khalifah dilaksanakan.

Tidak ada perbedaan terkait kewajiban itu (mengangkat pemimpin) di antara umat dan para imam, kecuali apa yang diriwayatkan oleh al-Asham (yaitu ‘Abd al-Rahman bin Kaisan, Syaikh al-Mu’tazilah, wafat tahun 201 H.) dimana ia tuli dari syari’ah, demikian juga setiap orang yang menyatakan, mengikuti pendapatnya dan madzhabnya. Ia (al-Asham) berkata, “Sesungguhnya (mengangkat) khalifah itu bukan kewajiban dalam agama, yang demikian itu hanyalah merupakan kebolehan. Sesungguhnya apabila umat telah menunaikan haji, jihad mereka dan saling bersikap adil dalam apa yang di antara mereka, memberikan hak dari diri mereka, mereka membagikan ghanimah (harta rampasan perang), fai’ dan sedekah kepada yang pantas menerimanya, mereka menegakkan al-hudud (sanksi pidana yang ditentukan oleh teks al-Qur’an) kepada orang yang wajib menanggungnya, maka yang demikian itu sudah cukup dan tidak wajib bagi mereka untuk mengangkat imam (pemimpin) untuk menangani semua itu.”

Adapun dalil kami adalah firman Allah, “Sesungguhnya Aku hendak menciptakan satu khalifah di bumi,” firman Allah, “Wahai Daud! Sesungguhnya Kami telah menjadikanmu khalifah (penguasa) di bumi,” (Qs. Shad: 26) dan firman Allah, “Allah telah menjanjikan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh bahwa Dia pasti akan menjadikan mereka penguasa di bumi…” (QS. Al Nur: 55), maknanya: Allah akan menjadikan di antara mereka khulafa’ (para khalifah).

Mencermati penafsiran di atas, sangat jelas bahwa firman Allah dalam Qs.al-Baqarah ayat 30 menyebut kata “khalifah” bukan dalam pengertian dan tidak pula berkonotasi atau memberikan petunjuk yang jelas untuk menciptakan pemimpin (khilafah) politik, sistem pemerintahan atau bentuk Negara dalam Islam.

QS. al-Baqarah ayat 30 di atas dan QS.Shad ayat 26 yakni firman Allah yang artinya, “Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu sebagai khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah” adalah dua ayat yang paling sering dipakai untuk melegitimasi sistem politik dalam Islam sebagaimana dilakukan HTI dan para pegiat khilafah lainnya.

Padahal QS. al-Baqarah ayat 30 yang menyebut kata “khalifah” bermakna sebagai khalifatullah (pengganti Allah) dalam memakmurkan bumi melalui peran manusia dengan berbagai kesempurnaan yang melekat padanya. Sedangkan QS. Shad ayat 26 bermakna lebih menunjukkan kepada tugas untuk memberikan keputusan hukum di antara manusia secara benar dan adil di mana hal ini ditujukan kepada Nabi Daud ‘alaihissalam. Jadi, kedua ayat tersebut sama sekali tidak menunjukkan makna “khalifah” sebagai entitas kepemimpinan politik untuk menegakkan sistem khilafah islam yang bersifat internasional (al-khilafah al-islamiyyah al-‘alamiyyah) sebagaimana ditafsirkan oleh HTI.

Hanya HTI saja yang mewajibkan penegakan sistem khilafah dengan kewajiban mengangkat satu orang khalifah[11] sedangkan di dunia ini hanya boleh ada satu kekhilafahan saja. Dalam hal ini sebuah buku berbahasa Arab berjudul Ajhizat Daulat al-Khilafah menjelaskan sebagai berikut,

يجب أن يكون المسلمون جميعا في دولة واحدة وأن يكون لهم خليفة واحد لا غير ويحرم شرعا أن يكون للمسلمين في العالم أكثر من دولة واحدة وأكثر من خليفة واحد [12

“Semua orang muslim wajib berada di dalam satu negara dan (wajib) hanya memiliki satu khalifah, tidak ada yang selainnya. Menurut syara’ haram bagi orang-orang muslim memiliki lebih banyak dari satu negara di dunia ini dan (haram) memiliki lebih dari satu khalifah.”

Padahal tidak ada seorang pun dari ulama madzhab Sunni dalam kitab-kitab mereka yang mewajibkan hanya ada satu negara yang sah di dunia yang sangat luas ini yang wajib berada dalam genggaman kekuasaan satu orang khalifah. Kitab-kitab fikih empat madzhab hanyalah mewajibkan pengangkatan pemimpin (nashb al-imam) sebagaimana kewajiban tersebut berdasarkan dalil al-Qur’an, al-Sunnah dan al-ijma’ (konsensus ulama). Tidak ada satupun teks-teks fikih klasik itu menyebut kata “khilafah” sebagaimana yang dimaksudkan oleh HTI. Bahkan, tidak ada satu pun dalil nash (teks al-Qur’an dan al-Sunnah) yang secara sharih (jelas dan nyata) menyatakan wajib mendirikan khilafah sebagaimana yang dimaksudkan oleh HTI.

Dalam hal ini HTI telah melakukan pengalihan makna kata khalifah yang disebut dalam al-Qur’an dan yang tercantum dalam kitab-kitab fikih klasik kepada makna khilafah sebagai sistem politik dan pemerintahan atau bentuk negara islami yang bersifat internasional (al-khilafah al-islamiyyah al-‘alamiyyah), suatu makna yang sedikitpun tidak dimaksudkan oleh para ulama pada masa lalu itu, lebih-lebih untuk konteks saat ini di mana seluruh dunia telah terbagi-bagi menjadi negara bangsa (nation state).

Dengan demikian cukup jelas, bahwa HTI sengaja mengutip teks-teks baik berupa ayat al-Qur’an yang menyebutkan kata khalifah dan derivasinya, mengutip penjelasan para mufasir terkait ayat tersebut dan juga mengutip pendapat para ahli fikih tentang hukum nasb al-imam (pengangkatan pemimpin) adalah sekedar klaim pembenar sepihak dan (seluruh kutipan itu) pada hakikatnya tidak ada hubungannya sama sekali dengan upaya penegakan kembali khilafah sebagaimana yang dimaksudkan dan diperjuangkan oleh HTI, yakni dalam makna sistem politik dan pemerintahan atau bentuk negara.*

Catatan Kaki:

[1] A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), hal. 259

[2] Ibid., hal. 252

[3] Hizb al-Tahrir, (Beirut-Lebanon: Dar al-Ummat, 1405/1985), Cetakan 1, halaman 4

[4] Ibid, halaman 22

[5] Hizbut Tahrir Britain, The Method to Re-Estasblish the Khilafah and Resume the Islamic Way of Life, (London: al-Khilafah Publication, 2000), halaman 88-100

[6] Muhammad Ibrahim al-Khafnawi, Mu’jam Gharib al-Fiqh wa al-Ushul, (Kairo: Dar al-Hadits, 1430/2009), hal. 233

[7] Muhammad Jamal al-Din al-Qasimi, Tafsir al-Qasimi al-musamma Mahasin al-Ta’wil, (Kairo: Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1376/1957), Juz 1, Cetakan ke-1, halaman 94

[8] Al-Thabari, Jilid 1, halaman 479, 480

[9] Abi ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an wa al-Mubayyin li Ma Tadlammanahu min al-Sunnah wa Ayi al-Furqan, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1427/2006), Cetakan ke-1, Jilid 1, hal. 394, 395

[10] Ibid.

[11] ‘Abd al-Qadim Zallum, Nidzam al-hukmi fi al-Islam, (Beirut-Lebanon: Dar al-Ummat, 2002/1422), halaman 43. Menurut ‘Abd al-Qadim Zallum, ia seorang pimpinan tertinggi Hizbut Tahrir saat ini, bahwa hanya wajib mengangkat satu orang khalifah saja berdasarkan hadits riwayat Muslim dari Abi Sa’id al-Khudri dari Rasulullah SAW., beliau bersabda, “Apabila dua khalifah dibaiat maka bunuhlah yang lain (salah satu) dari keduanya.”

[12] Ajhizat Daulah al-Khilafah fi al-Hukmi wa al-Idarah, (Beirut-Lebanon: Dar al-Ummat, 2005/1426), halaman 37

______________________________________________

*) Naskah ini ditulis oleh KH. Ahmad Ishomuddin, Rais Syuriah PBNU periode 2010-2015 dan 2015-2020, dengan judul Asli “GERAKAN POLITIK HTI BERBALUT DAKWAH MENUJU KHILAFAH ISLAMIYYAH”

**) Naskah ini dipresentasikan pada tanggal 15 Maret 2018 sebagai alat bukti persidangan di hadapan Majelis Hakim PTUN dalam perkara gugatan TUN yang diajukan oleh ex-HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) terhadap Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor: AHU-30.AH.01.08 tahun 2017 tentang Pencabutan Kepuitusan Menteri Hukum dan HAM Nomor: AHU-0028.60.10 Tahun 2014 tentang Pengesahan Pendirian Badan Hukum HTI.


[banagkitmedia.com]
Tulisan Akademik Kiai Ishomuddin Terkait Bahaya HTI Tulisan Akademik Kiai Ishomuddin Terkait Bahaya HTI Reviewed by Erhaje88 Blog on March 20, 2018 Rating: 5

No comments:

Erhaje88 tidak bertanggung jawab atas isi komentar yang ditulis. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Stay Connected

Powered by Blogger.