Menjadi guru itu enak. Dapat tunjangan sertifikasi, kerjanya 6,5-8 jam/hari, liburnya panjang sama dengan muridnya, naik pangkat untuk kenaikan gaji juga mudah. Tak ayal bila profesi guru kian digandrungi banyak orang.
Kenyataan di lapangan, yang tadinya lulusan perguruan tinggi dengan jurusan bukan keguruan, banting setir jadi guru. Belum lagi, tak sedikit lulusan SMA yang masuk perguruan tinggi jurusan keguruan. Ini merupakan sinyal positif bagi bangsa ini. Profesi guru mendapat tempat di hati anak bangsa yang ingin mengabdi pada tanah airnya.
Satu hal yang perlu kembali ditekankan adalah profesi guru itu profesi yang serius dan berwibawa. Ia mendidik calon-calon pemimpin bangsa. Bukan sekedar pekerjaan mentransfer ilmu pengetahuan pada peserta didik.
Bangsa ini butuh guru yang memiliki jiwa pendidik, bukan hanya pengajar. Tugas guru agar selalu diulang dan diserukan, tidak sekadar "mengajar" ilmu tetapi juga mendidik. Ini memiliki makna yang sangat mendalam dan tuntutan dedikasi terhadap profesi yang tinggi.
Guru dalam masyarakat Jawa disebutkan sebagai sosok yang harus dapat digugu lan ditiru. Ia dapat menjadi panutan dan teladan. Sehingga segala perilaku guru, baik ketika masih di dalam lingkup sekolah maupun di luar sekolah, tetap saja harus menjaga marwah sebagai panutan dan teladan sesuai tuntutan digugu lan ditiru.
Melakoni profesi guru memang memiliki tanggung jawab moral khusus yang berbeda dengan profesi lain, seperti karyawan sektor produksi. Bagi yang berniat menjadi guru, tentu harus siap dengan segala konsekuensi moral. Profesi guru bukan tenaga kerja biasa.
Negara ini butuh guru yang berkarakter yang tidak sekadar pencari kerja. Tetapi memiliki jiwa pendidik sejati. Seorang guru yang roh keguruannya "hidup" dapat mewujudkan tujuan pendidikan, yakni memanusiakan manusia dan mengembangkan potensi peserta didik. Sebaliknya, bagaimanapun cakapnya kompetensi guru, bila kepribadiannya buruk seperti kurang bertanggung jawab, pemalas, jumud, tak berjiwa penolong, materialistik, pemarah, egosentris, diskriminatif, dan tak demokratis membuat pembelajaran/pendidikan tak akan efektif.
Maka dari itu, pemerintah harus selektif memilih guru dengan standar dan tes yang khusus. Sebab jika ada kesalahan memilih guru, kita akan mendapat generasi yang salah pula. Apa jadinya bangsa ini jika pada kurun waktu tertentu kita salah memilih guru. Bukan hanya akan lahir bangsa yang salah, tetapi juga dapat menjadikan bangsa kita 'hilang'. Setidaknya, hilang secara budaya dan kepribadian.
Guru yang dipilih hendaknya sosok-sosok yang paham benar terhadap sejarah dan jati diri bangsa. Sosok penjuru yang akan memberikan bimbingan terhadap anak didik untuk menjadi warga negara Indonesia yang cerdas kognisi dan afeksi, tahu berbakti pada bangsa dan negara. Menjadi pandu bangsa dan siap bela Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila.
Melihat situasi dan kondisi di zaman milenial saat ini, tuntutan terhadap seorang guru semakin berat. Guru berkewajiban mengajar dan mendidik moral anak. Di pundak para gurulah terletak sebagian besar tugas pembentukan karakter generasi penerus bangsa.
Pada zaman yang digempur oleh derasnya arus informasi melalui teknologi komunikasi, guru harus kukuh sebagai penjaga moral. Tak boleh hanya merasa bertanggung jawab pada ilmu yang diampu. Tetapi harus peduli dan ikut berperan menjadikan anak didiknya berkembang intelektualitas kognisi sekaligus afeksi, sosial dan spiritual.
Guru dituntut menguasai kompetensi kognitif, kompetensi sosial-behavioral, dan kompetensi teknikal. Kompetensi kognitif mencakup kemampuan literasi dan numerasi, serta kemampuan berpikir tingkat tinggi. Kompetensi sosial-behavioral mencakup keterampilan sosial emosional, keterbukaan, ketekunan, emosi yang stabil, kemampuan mengatur diri, keberanian memutuskan dan keterampilan interpersonal. Kompetensi teknikal yang merupakan keterampilan teknis yang sesuai bidang pekerjaan yang digeluti, dan ini terkait dengan pendidikan vokasi.
Peningkatan kompetensi guru mutlak dilakukan. Ini dapat diwujudkan melalui program pengembangan kemampuan profesional dalam berbagai bentuk dan jenis kegiatan. Misalnya pelatihan, workshop , pertukaran guru, forum belajar guru, dan program gelar (S-2 atau S-3).
Kegiatan tersebut dapat bermanfaat apabila guru menyadari dirinya sebagai makhluk pembelajar. Komitmen menjadi guru berarti kesediaan dan kesiapan seseorang belajar terus-menerus dalam rangka meningkatkan kompetensinya. Sehingga bisa merespons tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan kehidupan masyarakat.
Di samping itu, jangan karena adanya undang-undang perlindungan anak, lantas guru jadi lembek untuk menjalankan tugasnya membentuk karakter anak. Guru memilih aman, cukup mengajar saja karena mendidik itu lebih berisiko sebagaimana dialami sejawat mereka yang berujung dibui. Persepsi semacam ini yang mestinya dibuang jauh-jauh dari pikiran guru.
Sebagaimana kita tahu dalam beberapa kasus, guru melakukan tindak kekerasan pada anak. Guru
kesusu emosi dalam mendisiplinkan anak. Lupa bahwa di samping pembentukan intelektual, peran guru juga membentuk kepribadian anak yang berbudi pekerti luhur.
Ki Hajar Dewantara berpesan, guru dalam mendidik harus mengutamakan kehalusan budi (Soeratman, 1985). Mendidik menggunakan perintah, paksaan dengan hukuman seperti pendidikan di masa dahulu hendaknya dihindari. Dengan menggunakan metode among , membimbing anak dengan penuh kecintaan dan mendahulukan kepentingan anak sebagai individu yang masih berkembang.
Kita mesti cerna baik-baik, pendidikan itu sejatinya untuk memanusiakan manusia. Prosesnya harus menghargai nilai-nilai dasar kemanusiaan, seperti rasa hormat, menghargai sesama, toleran, mau berbagi, dan sebagainya. Proses belajar mengajar yang didasarkan pada kemanusiaan niscaya akan nirkekerasan.
Kurniawan Adi Santoso guru PNS di SDN Sidorejo, Sidoarjo, Jawa Timur
[kolom detik]
Kenyataan di lapangan, yang tadinya lulusan perguruan tinggi dengan jurusan bukan keguruan, banting setir jadi guru. Belum lagi, tak sedikit lulusan SMA yang masuk perguruan tinggi jurusan keguruan. Ini merupakan sinyal positif bagi bangsa ini. Profesi guru mendapat tempat di hati anak bangsa yang ingin mengabdi pada tanah airnya.
Satu hal yang perlu kembali ditekankan adalah profesi guru itu profesi yang serius dan berwibawa. Ia mendidik calon-calon pemimpin bangsa. Bukan sekedar pekerjaan mentransfer ilmu pengetahuan pada peserta didik.
Bangsa ini butuh guru yang memiliki jiwa pendidik, bukan hanya pengajar. Tugas guru agar selalu diulang dan diserukan, tidak sekadar "mengajar" ilmu tetapi juga mendidik. Ini memiliki makna yang sangat mendalam dan tuntutan dedikasi terhadap profesi yang tinggi.
Guru dalam masyarakat Jawa disebutkan sebagai sosok yang harus dapat digugu lan ditiru. Ia dapat menjadi panutan dan teladan. Sehingga segala perilaku guru, baik ketika masih di dalam lingkup sekolah maupun di luar sekolah, tetap saja harus menjaga marwah sebagai panutan dan teladan sesuai tuntutan digugu lan ditiru.
Melakoni profesi guru memang memiliki tanggung jawab moral khusus yang berbeda dengan profesi lain, seperti karyawan sektor produksi. Bagi yang berniat menjadi guru, tentu harus siap dengan segala konsekuensi moral. Profesi guru bukan tenaga kerja biasa.
Negara ini butuh guru yang berkarakter yang tidak sekadar pencari kerja. Tetapi memiliki jiwa pendidik sejati. Seorang guru yang roh keguruannya "hidup" dapat mewujudkan tujuan pendidikan, yakni memanusiakan manusia dan mengembangkan potensi peserta didik. Sebaliknya, bagaimanapun cakapnya kompetensi guru, bila kepribadiannya buruk seperti kurang bertanggung jawab, pemalas, jumud, tak berjiwa penolong, materialistik, pemarah, egosentris, diskriminatif, dan tak demokratis membuat pembelajaran/pendidikan tak akan efektif.
Maka dari itu, pemerintah harus selektif memilih guru dengan standar dan tes yang khusus. Sebab jika ada kesalahan memilih guru, kita akan mendapat generasi yang salah pula. Apa jadinya bangsa ini jika pada kurun waktu tertentu kita salah memilih guru. Bukan hanya akan lahir bangsa yang salah, tetapi juga dapat menjadikan bangsa kita 'hilang'. Setidaknya, hilang secara budaya dan kepribadian.
Guru yang dipilih hendaknya sosok-sosok yang paham benar terhadap sejarah dan jati diri bangsa. Sosok penjuru yang akan memberikan bimbingan terhadap anak didik untuk menjadi warga negara Indonesia yang cerdas kognisi dan afeksi, tahu berbakti pada bangsa dan negara. Menjadi pandu bangsa dan siap bela Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila.
Melihat situasi dan kondisi di zaman milenial saat ini, tuntutan terhadap seorang guru semakin berat. Guru berkewajiban mengajar dan mendidik moral anak. Di pundak para gurulah terletak sebagian besar tugas pembentukan karakter generasi penerus bangsa.
Pada zaman yang digempur oleh derasnya arus informasi melalui teknologi komunikasi, guru harus kukuh sebagai penjaga moral. Tak boleh hanya merasa bertanggung jawab pada ilmu yang diampu. Tetapi harus peduli dan ikut berperan menjadikan anak didiknya berkembang intelektualitas kognisi sekaligus afeksi, sosial dan spiritual.
Guru dituntut menguasai kompetensi kognitif, kompetensi sosial-behavioral, dan kompetensi teknikal. Kompetensi kognitif mencakup kemampuan literasi dan numerasi, serta kemampuan berpikir tingkat tinggi. Kompetensi sosial-behavioral mencakup keterampilan sosial emosional, keterbukaan, ketekunan, emosi yang stabil, kemampuan mengatur diri, keberanian memutuskan dan keterampilan interpersonal. Kompetensi teknikal yang merupakan keterampilan teknis yang sesuai bidang pekerjaan yang digeluti, dan ini terkait dengan pendidikan vokasi.
Peningkatan kompetensi guru mutlak dilakukan. Ini dapat diwujudkan melalui program pengembangan kemampuan profesional dalam berbagai bentuk dan jenis kegiatan. Misalnya pelatihan, workshop , pertukaran guru, forum belajar guru, dan program gelar (S-2 atau S-3).
Kegiatan tersebut dapat bermanfaat apabila guru menyadari dirinya sebagai makhluk pembelajar. Komitmen menjadi guru berarti kesediaan dan kesiapan seseorang belajar terus-menerus dalam rangka meningkatkan kompetensinya. Sehingga bisa merespons tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan kehidupan masyarakat.
Di samping itu, jangan karena adanya undang-undang perlindungan anak, lantas guru jadi lembek untuk menjalankan tugasnya membentuk karakter anak. Guru memilih aman, cukup mengajar saja karena mendidik itu lebih berisiko sebagaimana dialami sejawat mereka yang berujung dibui. Persepsi semacam ini yang mestinya dibuang jauh-jauh dari pikiran guru.
Sebagaimana kita tahu dalam beberapa kasus, guru melakukan tindak kekerasan pada anak. Guru
kesusu emosi dalam mendisiplinkan anak. Lupa bahwa di samping pembentukan intelektual, peran guru juga membentuk kepribadian anak yang berbudi pekerti luhur.
Ki Hajar Dewantara berpesan, guru dalam mendidik harus mengutamakan kehalusan budi (Soeratman, 1985). Mendidik menggunakan perintah, paksaan dengan hukuman seperti pendidikan di masa dahulu hendaknya dihindari. Dengan menggunakan metode among , membimbing anak dengan penuh kecintaan dan mendahulukan kepentingan anak sebagai individu yang masih berkembang.
Kita mesti cerna baik-baik, pendidikan itu sejatinya untuk memanusiakan manusia. Prosesnya harus menghargai nilai-nilai dasar kemanusiaan, seperti rasa hormat, menghargai sesama, toleran, mau berbagi, dan sebagainya. Proses belajar mengajar yang didasarkan pada kemanusiaan niscaya akan nirkekerasan.
Kurniawan Adi Santoso guru PNS di SDN Sidorejo, Sidoarjo, Jawa Timur
[kolom detik]
Carilah Guru Yang Bisa 'Digugu Lan Ditiru'
Reviewed by Erhaje88 Blog
on
April 15, 2018
Rating:
No comments:
Erhaje88 tidak bertanggung jawab atas isi komentar yang ditulis. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE