Sidebar Ads

banner image

(Umpatan Dan Caci-Maki Yahya Waloni) Membaca Kembali Penghianatan Muallaf


"Jika seorang muallaf bicara politik dan menyalahkan pemimpin Agama dan Umara, marilah kita kuatkan mata bathin kita..."


Kondisi politik nasional yang mulai memanas hari ini, cukup memprihatinkan bagi kita semua, dimana marwah seorang tokoh agama, seakan mulai dipudarkan. Tuduhan-tuduhan tidak mendasar begitu gampang dilontarkan, seolah kita adalah paling baik, dan sikap orang lain tetaplah buruk dan jelek.

Yahya Waloni, Muallaf yang hina TGB dan KH Ma'ruf Amin/gambar: youtube

Contoh paling sederhana adalah, pasca ijtima’ ulama pro Prabowo, nyinyiran, sindirah dan hujatan semakin membabi-buta, seolah semua ulama yang tergabung dalam ijtima’ itu adalah ulama kardus, ulama haus politik dan sebagainya.

Segitu bencikah kepada mereka? Dan tanpa kita sadari, disana ada beberapa zurriyat (keturunan nabi) yang terhimpun dan tergabung disana.

Begitu juga sebaliknya. ketika ada ulama yang tergabung dan secara tegas mendukung Jokowi 2 periode, maka suporter lainnya pasti langsung mengklaim kalau ulama tersebut adalah ulama penjilat, ulama munafik, ulama kafir dan lain-lain.

Dimanakah jiwa takdzim dan penghargaan kita kepada penerus perjuangan Rasulullah?

Kondisi di atas adalah fakta yang tidak bisa kita pungkiri, apalagi bagi pecinta media sosial, mereka setiap hari dicekokkan oleh hujatan dann hinaan terhadap tokoh agama, dan anehnya lagi, diamnya kita hari ini dianggap sebagai pengakuan dan pengokohan tentang kebenaran informasi yang mereka sajikan.

Tidakkah hati kecil kita tersayat? Tidakkah pikiran kita terguncang dan bertanya, siapakah muara dari semua fitnah besar ini?

Sejarah Islam Awal
Fenomena di atas mengajak penulis untuk kembali membuka sejarah Islam pada masa-masa awal, membaca kembali gejolak yang pernah terjadi pada masa para sahabat nabi. Ternyata memang betul, apa yang terjadi hari ini tidak jauh beda dengan apa yang terjadi di masa awal Islam, terutama pada masa sahabat Sayyidina Utsman bin Affan, (Bukan berarti penulis mengatakan Jokowi mirip Sayyidina Utsman) yang hampir mirip adalah pola propaganda, isu agama (firman Allah) dijadikan landasan dan acuan menilai orang, bukan dijadikan untuk menilai amal perbuatan sendiri. Kalam Tuhan tidak dijadikan imam, tapi dijadikan alat menghakimi orang lain.

Pada masa Sayyidina Utsman, kita semua mengetahui itu adalah masa kejayaan administrasi dan penataan wilayah Islam. Secara personal, Sayyidina Utsman adalah seorang yang sholeh, dermawan, gigih berjuang untuk Islam, hafiz Al-Qur’an, satu diantara sepuluh sahabat yang dijanjikan masuk surga oleh Nabi. Beliau diatara sahabat utama, beliau juga menantu Baginda Rasulullah Saw. Selain itu, kecintaan pada ummat dan warga masyarakatnya tidak bisa kita ragukan. Akan tetapi pasti kita bertanya, hal apa yang bisa membuat orang mulia ini justru harus berpulang ke rahmatullah dengan sangat tragis dan menyedihkan?

Pun tak bisa kita pungkiri, keutamaan akhlak, kebersihan jiwa memimpin dan integritas beliau tidak bisa melepaskan beliau dari fitnah dan propaganda orang yang punya kepentingan lain (lawan politik). Justru kejujuran dan integritas beliau inilah yang menjadi ruang bagi lawan politik untuk menjatuhkan beliau, apalagi setelah adanya kebijakan untuk menata wilayah Islam, kebijakan menata secara tidak langsung berdampak pada beberapa hal, diantaranya: pertama, tidak adanya ekspansi wilayah baru, sehingga berdampak pada tidak adanya gonimah. Kedua, penataan wilayah memiliki arti pengangkatan pegawai baru dan ramping disetiap wilayah, tentunya tidak akan bisa mengakomodir kepentingan semua pihak yang pernah terlibat pada saat pembukaan wilayah.

Jika kita tinjau dari sisi pemerintahan, maka langkah dari Sayyidina Utsman ini sangat patut untuk kita apresiasi, daripada akan terus menerus membuka wilayah baru, dan bisa berdampak pada disintegrasi bangsa.

Kondisi diatas menjadi ruang baru dan empuk bagi para pembenci Islam, mereka tahu dan sangat faham, pastinya sebuah kebijakan akan berdampak pada like dan dislike . Suka dan tidak suka atas keputusan pemerintah akan menjadi sangat objektif jika kita menggunakan kacamata pribadi seorang rakyat.

Masyarakat yang tidak puas dengan keputusan Sayyidina Utsman mulai dicari dan dikompori, mereka mengafirmasi/menguatkan pendapat tidak puas tadi dengan olahan ayat-ayat Al-Qur’an, Hadist Nabi dan fakta masyarakat yang dibentuk.

Sekuat apapun seseorang melakukan propaganda terhadap seorang muslim, jika yang melakukann propaganda itu adalah selain muslim, maka misi propaganda itu tidak akan pernah sampai. Memang inilah fakta dan realita kelebihan pribadi seorang muslim. Di sisi lain ini menjadi ruang empuk bagi yang ingin menghancurkan Islam, semua penganut agama lain berkeyakinan, Islam tidak akan pernah bisa dikalahkan kecuali oleh orang Islam itu sendiri. Kondisi inilah yang menggerakkan hati para pembenci Islam untuk berbondong-bondong masuk Islam (menjadi Muallaf).

Ditambah lagi ada prinsip yang diajarkan nabi, berbuat baiklah kepada siapa saja yang baru masuk Islam, mereka akan mendapatkan keistimewaan dalam bentuk hak menerima zakat dan lain-lain. Jika seorang Muallaf punya pengalaman dan cepat memahami ilmu Islam, maka panggung dakwahpun akan menunggu.

Kondisi itulah yang betul-betul dimanfaatkan oleh seorang tokoh Yahudi bernama Abdullah Ibnu Saba. Dia berpura-pura masuk Islam, belajar Islam secara tekun, mendapatkan panggung ceramah di semua kota besar, mulai dari Mesir, Basrah Kuffah dan kota-kota lainnya, semua orang terkagum-kagum, seorang Muallaf majusi, cerdas, pernah jadi tokoh di agamanya tapi rela meninggalkan agamanya hanya demi Islam.

Hal yang luput dari pengamatan ummat muslim pada waktu itu adalah, jika dia seorang Muallaf, maka seharusnya seorang Muallaf akan lebih fokus pada pembenahan tauhid, takdzim dan akhlak pribadinya, dikarenakan tauhid dan akhlak merupakan misi utama dari risalah Baginda Rasulullah Saw.

Justru yang menjadi fokus kajian dari setiap rihlah dan dakwah Abdullah Bin Saba bukan berbicara tauhid dan akhlak, melainkan membahas kebijakan pemerintahan, nyinyir pada para sahabat Nabi, membahas pribadi dari menantu Nabi, mulai menyalahkan kebijakan sang Khalifah, menyalahkan sang Khalifah yang tidak pernah turun tangan menyelesaikan konflik di setiap daerah, dia mulai menyalahkan sang Khalifah yang selalu mengutus Sayyidina Ali ke setiap daerah konflik, mulai berbicara kapasitas, membanding bandingkan antara sahabat. Di daerah Kuffah menyanjung Sayyidina Ali, di Basrah menyanjung Zubair bin Awwam, di Mesir menyanjung Tholhah bin Ubaidillah.

Propaganda ini terus berkembang, seolah pemerintah tidak merasakan ini bisa berdampak pada perpecahan, berdampak pada perlawanan masyarakat muslim Badui, (Masyarakat Badui yang kami maksud disini adalah masyarakat Arab pedalaman yang baru masuk Islam dan tidak banyak bergaul dengan para sahabat, tradisi Islam dan nilai-nilai kemanusiaan yang ada).

Setelah sekian tahun propaganda berjalan, isu keagamaan, tuduhan fasik, penghianat dan koruptor disematkan pada para sahabat Nabi yang sudah tentu, kesucian dan keimanan para sahabat Nabi itu tak mungkin bisa ditakar. Para tokoh mulai disisir satu persatu, ditanya pendapatnya tentang kondisi kekhilafahan, jika pendapat tokoh menguntungkan para provokator, maka tokoh itu akan diagungkan setinggi langit, tapi jika pendapat para tokoh tidak menguntungkan mereka, maka sejak itu mereka juga ditinggalkan.

Puncak dari propaganda ini adalah, demonstrasi besar-besaran di pusat kota pemerintahan yakni Madinah, sekelompok masyarakat dari tiga kota besar, Mesir, Basrah dan Kufah, tumpah ruah di kota Madinah, naifnya lagi adalah, mereka menggunakan musim haji sebagai media berkumpul dan bermufakat.

Jadi tidak seorangpun menyangka ada konsolidasi massa dari berbagai penjuru, masyarakat Madinah mengira mereka adalah kaum muslimin yang hatinya ikhlas menjalankan ibadah haji, tidak sedikitpun perasangka dari pemerintah kalau haji hanya tameng untuk merongrong pemerintahan yang sah.

Jika kita tilik dari kenaifan ini, disaat haji yang seharusnya jadi momen ibadah, tapi malah digunakan sebagai media konsolidasi maker. Maka hal ini sudah pasti, ide dan gagasannya memang bersumber dari seorang muslim yang tak menjiwai nilai Islam, dan paling menonjol dari kasus ini adalah, gagasan memanfaatkan musim haji adalah gagasan dari seorang Muallaf gadungan bernama Abdullah bin Saba.

Abdullah bin Saba seorang Muallaf cerdas, piawai dan orator ulung. Dia mampu menggeret kaum muslimin untuk curiga dan bersu’udzon dengan para sahabat yang memiliki jabatan di pemerintahan, dia mampu menggeret pemikiran masyarakat untuk kagum pada Sayyidina Ali, dimana Sayyidina Ali dijadikan anti thesa dari seorang Sayyidina Utsman, sampai berani mengatakan kalau Sayyidina Ali adalah penerus yang sah setelah Baginda Rasulullah. Padahal ungkapan ini hanya bahasa untuk menggeret kaum muslimin agar berpikir tentang Sayyidina Utsman bukanlah penerus pemimpin muslim yang pantas.

Fakta-fakta diatas bukan mengajak kepada kita untuk tidak percaya dan simpati pada Muallaf cerdas dan punya basik keilmuan, tapi pemaparan sejarah ini adalah secuil dari sekian kali kita dihancurkan oleh propaganda mereka, ketika ummat muslim sudah bertikai, hancur, saling menghujat, maka seketika itu mereka seolah diam dan pergi entah kemana.

Marilah kita berfikir ulang, jika Muallaf sudah bicara politik dan menyalahkan pemimpin Agama dan Umara, maka marilah kita kuatkan mata bathin kita, amati mereka, jika mereka sudah mengajak kita membenci, maka ingatlah apa yang dilakukan para pendahulu mereka, Abdullah bin Saba, Snouck Hurgronje dan Heurbach.

Membaca ulang sejarah agar kita bisa lebih bijak membaca kondisi hari ini, sejatinya cara dan strategi mereka selalu hampir sama, cuma modifikasi itu telah mengelabui kita, jika kita tergolong orang cepat simpati pasti kita akan menjadi orang cepat mencaci, Islam tidak datang untuk mencaci kondisi manusia, melainkan memperbaiki akhlak Mereka, Wallahu alam.

Penulis: Ahmad Patoni, SS
Kepala Madrasah Diniyah Salaf Modern Thohir Yasin Lendang Nangka, Masbagik – Lombok Timur.

http://lombokita.com/membaca-kembali-penghianatan-muallaf/
(Umpatan Dan Caci-Maki Yahya Waloni) Membaca Kembali Penghianatan Muallaf (Umpatan Dan Caci-Maki Yahya Waloni) Membaca Kembali Penghianatan Muallaf Reviewed by Erhaje88 Blog on September 20, 2018 Rating: 5

No comments:

Erhaje88 tidak bertanggung jawab atas isi komentar yang ditulis. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Stay Connected

Powered by Blogger.