Sidebar Ads

banner image

90 Tahun Dongeng Keindonesiaan (Refleksi Hari Sumpah Pemuda)

Apa yang menjadikan kita Indonesia?

Beragam teori telah dikemukakan. Mulai dari fakta sejarah bahwa kita berada di wilayah bekas Hindia-Belanda atau yang lebih jauh lagi bahwa kita sama-sama dipersatukan oleh Gadjah Mada lewat Sumpah Palapa. Atau, barangkali yang terasa lebih modern dan penuh kesadaran adalah sumpah perwakilan pemuda dari beragam suku bangsa yang bersumpah menjadi satu kesatuan tanah air dan bangsa.

Ilustrasi Sumpah Pemuda/google.co.id

Tapi, sekali lagi, apa yang membuat Gadjah Mada bersumpah menaklukkan Nusantara, dan apa yang menggerakkan pemuda-pemudi dari berbagai suku bersumpah menjadi satu bangsa: Indonesia?

Sesungguhnya tak ada satu pun dasar yang mengikat dan mewajibkan kita bersatu dalam satu bangsa dan tanah air. Baik Sumpah Palapa pada abad ke-14 atau Sumpah Pemuda pada 1928 yang kemudian mengantarkan bangsa ini pada Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, semuanya dibentuk semata oleh kesadaran dan pikiran kita. Oleh bayangan yang ditanamkan atau sengaja kita ciptakan, oleh sebuah imajinasi yang dibentuk oleh cerita, dongeng, mitos, dan fiksi yang diteruskan dari masa ke masa, yang dirawat oleh generasi ke generasi.

Cerita macam apakah itu? Cerita tentang kebesaran sebuah bangsa, dongeng tentang kekayaan Tanah Air yang terbentang di kepulauan Nusantara, narasi tentang beragam manusia dari berbagai suku bangsa dan agama yang sama-sama bergerak untuk menjadi sebuah bangsa, imajinasi tentang masa depan dan cita-cita bersama yang hanya bisa diwujudkan jika kita teguh bersama sebagai sebuah bangsa.

Adakah yang salah dengan cerita-cerita dan imajinasi itu? Tidak.

Memang seperti itulah kenyataan terbentuknya masyarakat dan bangsa. Dan, memang hanya dengan seperti itulah kawanan manusia-manusia bisa digerakkan, bisa dengan sukarela melakukan sesuatu, bisa dengan sadar menjadikan dirinya bagian dari sesuatu yang lebih besar, dan merasa ada hal lain yang lebih besar dari dirinya dan kepentingannya.

Apa yang membuat anak manusia bisa memiliki identitas agama? Tentu saja narasi tentang Tuhan, kehidupan setelah mati, kisah-kisah kenabian, dan cerita-cerita tentang perintah dan larangan Tuhan. Hal yang sama juga berlaku untuk identitas kesukuan. Sekadar persamaan warna kulit atau bentuk rambut tak cukup untuk membuat seseorang merasa menjadi bagian sebuah suku. Manusia butuh cerita tentang silsilah, tentang leluhur, tentang asal-usul dirinya.

Bahkan ketika sekarang kita memulai pembicaraan tentang Indonesia dengan cerita Sumpah Palapa dan Sumpah Pemuda, kedua sumpah itu pun bagian dari narasi utama dongeng keindonesiaan yang terus kita pelihara dan menjadi alasan untuk terus bersama.

Berawal dari sebuah dongeng yang kemudian menjelma menjadi imajinasi bersama lebih dari dua ratus juta manusia, bangsa ini bisa tetap berdiri hingga tujuh puluh tiga tahun lamanya. Merawat dongeng keindonesiaan adalah satu-satunya cara bagi bangsa ini untuk tetap bersatu dan bergerak bersama sebagai Indonesia.

Pada usia yang ke-73 tahun ini, banyak hal telah dicapai oleh bangsa ini melebihi imajinasi yang dimiliki Gadjah Mada, pemuda-pemudi yang bersumpah tahun 1928, atau proklamator Soekarno-Hatta. Terutama jika kita melihat bagaimana bangsa ini telah dan sedang berproses menjadi negara demokrasi yang memberi sepenuhnya kedaulatan pada rakyatnya untuk memilih pemimpinnya, untuk menentukan arah kebijakan negaranya melalui wakil-wakil yang dipilihnya.

Pilihan untuk menjadi negara demokrasi pun muncul atas dasar imajinasi akan suatu bangsa yang menghargai persamaan hak tiap warga negara, yang menghormati kebebasan untuk memilih, berpendapat, berkeyakinan, yang percaya akan perlunya pembatasan kekuasaan dan pengawasan pada setiap pejabat negara. Pun sesungguhnya imajinasi-imajinasi inilah yang menjadi dasar terbentuknya bangsa Indonesia dan dituangkan dalam dasar negara UUD 1945.

Tentu, sebagaimana umumnya perjalanan mewujudkan sesuatu, upaya bangsa ini dalam mewujudkan demokrasi penuh dengan luka dan koyakan di sana-sini. Perjalanan yang sama sekali tak mulus dan tak sempurna yang seringkali membuat kita nyaris putus asa.

Setelah cerita kepahlawanan dan sumpah persatuan di masa lalu, perjalanan bangsa ini dalam berdemokrasi akan menjadi cerita besar yang akan kita teruskan dari generasi ke generasi. Kita yang akan menentukan apakah kita hendak bersama-sama mewujudkan imajinasi negara demokrasi itu atau menyerah di tengah jalan dan di masa depan bercerita dengan penuh penyesalan.

Menjadi negara demokrasi bukan melulu persoalan pemilu dan prosedural penyelenggaraan negara. Mustahil kita mewujudkan negara demokrasi tanpa adanya pengakuan atas persamaan hak warga negara, jaminan atas kemerdekaan untuk setiap warga negara, dan keadilan untuk semua. Ini juga terkait dengan imajinasi awal yang membentuk kita menjadi Indonesia.

Bagaimana bisa kita punya alasan untuk tetap bersama dalam satu bangsa jika hanya karena keyakinan yang berbeda orang-orang diusir dari rumahnya bahkan kehilangan nyawa? Bagaimana kita percaya pada cita-cita bersama jika seorang keturunan Cina masih dianggap setengah Indonesia? Bagaimana bisa kita berjalan bersama menuju imajinasi negara demokrasi Indonesia, jika tiap hari kita masih membaca berita korupsi penyelenggara negara dan keculasan penguasa?

Dalam peringatan Sumpah Pemuda kali ini, menjadi tugas kita bersama untuk terus menjaga agar dongeng keindonesiaan tetap relevan sekaligus merajut imajinasi baru untuk Indonesia di masa depan.

Oleh: Okky Madasari, novelis, visiting fellow di National University of Singapore

https://detik.com/news/kolom/d-4274454/90-tahun-dongeng-keindonesiaan
90 Tahun Dongeng Keindonesiaan (Refleksi Hari Sumpah Pemuda) 90 Tahun Dongeng Keindonesiaan (Refleksi Hari Sumpah Pemuda) Reviewed by Erhaje88 Blog on October 27, 2018 Rating: 5

No comments:

Erhaje88 tidak bertanggung jawab atas isi komentar yang ditulis. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Stay Connected

Powered by Blogger.