Sidebar Ads

banner image

Bukan Hanya Sekedar Bendera

Bendera hitam bertulis lafaz kalimah tauhid dikibarkan di Poso dan Samarinda. Pengibarnya sempat menurunkan bendera Merah Putih, menggantinya dengan bendera hitam tadi. Di Samarinda bendera malah dikibarkan di Kantor Gubernur.

(Pengibaran bendera Tauhid di Poso)

Apa makna aksi itu? Sejak saat perumusan dasar negara sebelum Indonesia merdeka sudah ada dua suara yang berbeda tentang bentuk negara Indonesia yang hendak didirikan. Ada kelompok yang menginginkan negara dengan kedudukan istimewa bagi pemeluk agama Islam, sebagaimana tertuang dalam rumusan Piagam Jakarta. Ada pula kelompok nasionalis yang menginginkan negara sekuler yang tidak berdasarkan pada agama mana pun. Melalui berbagai perundingan akhirnya diputuskan untuk mencoret tujuh kata yang memberi keistimewaan kepada umat Islam dalam naskah Piagam Jakarta.

Produk pencoretan tadi adalah sebuah negara dengan format "bukan-bukan". Negara ini bukan negara agama, secara formal dasar negara tidak mengacu pada agama tertentu. Tapi, pada saat yang sama negara ini punya Kementerian Agama, Pengadilan Agama, sekolah-sekolah agama, dan seterusnya.

Kompromi "bukan-bukan" ini memuaskan banyak orang, tapi juga tidak memuaskan sekelompok orang. Yang menginginkan negara Indonesia menjadi negara Islam tidak pernah berhenti menyuarakan keinginan mereka. Dalam Konstituante terjadi perdebatan panjang yang tiada ujung, sampai akhirnya dihentikan oleh Presiden Sukarno melalui Dekrit 5 Juli 1959. Yang terakhir, dalam amandemen UUD yang dilaksanakan pada 1999 keinginan untuk kembali ke Piagam Jakarta juga disuarakan. Sebagian besar rakyat Indonesia tidak menginginkan hal itu. Keinginan tadi ditolak oleh MPR.

Orang-orang yang mengibarkan bendera tauhid itu sebagiannya adalah orang-orang dari kelompok ini. Mereka menganggap Indonesia harus berdiri di atas prinsip-prinsip Islam. Negara Republik Indonesia yang ada sekarang bukanlah negara Islam, dan karena itu tidak dapat mereka terima. Demikian pula simbol-simbolnya, seperti Sang Merah Putih, lambang negara, da sebagainya. Meski tidak bisa disebut mayoritas, jumlah mereka tidak sedikit.

Apakah bisa dikatakan bahwa mereka menginginkan khilafah? Tidak juga. Ketika Indonesia hendak merdeka, khilafah Turki Usmani sudah runtuh. Bahkan beberapa abad sebelumnya di Indonesia sudah berdiri berbagai kerajaan Islam yang tidak mengacu pada imperium khilafah di Timur Tengah sana. Bagi orang-orang di Nusantara, imperium Umayyah, Abbasiyah, kemudian Turki Usmani, tak lebih dari sekadar imperium atau kerajaan di luar sana, yang tak terkait langsung dengan mereka.

Karena itu ketika Indonesia hendak merdeka, para pemikir merumuskan sebuah negara dalam format baru, yaitu republik, bukan sebuah imperium atau kerajaan Islam. Gagasan yang dituangkan dalam Piagam Jakarta adalah sebuah "eksperimen" tentang format kehadiran Islam dalam tubuh negara.

Gagasan tentang khilafah, sebuah negara tunggal bagi umat Islam sedunia adalah gagasan yang dipromosikan Hizbut Tahrir dan Ikhwanul Muslimin. Ikhwanul Muslimin di Indonesia hadir dalam wujud partai politik bernama Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Gagasan perjuangannya sangat berbeda dengan kelompok-kelompok yang selama ini menginginkan Indonesia menjadi negara Islam.

Waspadai Panji Panji Hitam

Sebenarnya negara Islam seperti apa yang mereka inginkan? Harus diakui bahwa konsepnya bertebaran dalam berbagai format. Kita bisa saksikan bagaimana wujud negara-negara Islam yang ada saat ini. Ada negara kerajaan absolut seperti Saudi Arabia, Kuwait, dan Qatar. Ada yang bersifat monarki konstitusional seperti Malaysia. Ada pula sejumlah negara republik seperti Pakistan dan Bangladesh.

Lalu, format mana yang diinginkan oleh sebagian orang Islam Indonesia? Formatnya masih sangat mengambang. Ketimbang konsep substansial, mereka sebenarnya lebih mementingkan nama dan simbol-simbol formal. Yang penting negara Islam dulu, isinya nanti dirumuskan belakangan.

Boleh dibilang keinginan atas negara Islam itu adalah keinginan reaktif-sporadis, bukan sesuatu yang berdasarkan pemikiran fundamental. Kalau ada hal-hal buruk, misalnya maraknya minuman keras dan pelacuran, mereka menuntut hadirnya agama sebagai fondasi negara. Gagasan sederhananya adalah, kalau negara berdasar agama, tentu hal-hal semacam itu tidak terjadi. Juga menyangkut formalitas lain, seperti kepala negara dan kepala daerah harus seorang muslim.

Bendera tadi adalah simbol Hizbut Tahrir. Sebagian pengibarnya boleh jadi adalah orang-orang yang sudah menjadi kader Hizbut Tahrir. Sebagian yang lain, bagian ini sepertinya lebih besar, adalah orang-orang dari kelompok yang dijelaskan tadi. Artinya, mengibarkan bendera itu tidak serta merta bisa kita identifikasi sebagai persetujuan terhadap Hizbut Tahrir.

Kelompok-kelompok ini sekarang bersatu dalam satu wadah: anti-Jokowi. Jokowi digambarkan oleh mereka sebagai sosok abangan yang bukan Islam, meski Jokowi adalah seorang muslim. Langkah tegas Jokowi membubarkan HTI dijadikan salah satu "bukti" untuk menuduh Jokowi itu anti-Islam. Padahal yang gerah dengan HTI tidak hanya pemerintah. Banyak ormas Islam yang juga gerah, merasa bahwa mereka disusupi oleh HTI.

[Baca: Jokowi Masuk Tokoh 50 Muslim Berpengaruh di Dunia]

Tidak heran bila demonstrasi yang mereka sebut bela tauhid itu berujung pada kampanye ganti presiden. Dalam hal ini, perlu kita tambahkan lagi satu elemen dalam kelompok pengibar atau pendukung bendera ini. Mereka adalah kelompok yang sebenarnya tidak peduli betul soal agama atau kalimat tauhid. Mereka hanya peduli soal bagaimana menjatuhkan Jokowi.

Ringkasnya, ini adalah politik simbol. Ada orang-orang dengan berbagai kepentingan, mereka sendiri sebenarnya tidak bersatu. Di antara mereka sendiri biasa dan pernah terjadi gesekan. Tapi, mereka berusaha menyatukan diri melalui sebuah simbol, yaitu bendera tadi. Tidak hanya itu. Mereka bisa terus memainkan simbol ini untuk melibatkan lebih banyak orang. Bahasa simbol sangat efektif untuk menggiring orang yang tidak berpikir.

Oleh karena itu aparat harus hati-hati menanganinya. Simbol harus ditangani sebagai simbol. Ideologi harus ditangani sebagai ideologi. Ideologi dan simbol punya keterkaitan, tapi keduanya tidak identik. Hizbut Tahrir adalah ideologi yang sebenarnya asing bagi kebanyakan orang Indonesia. Tapi, simbolnya familiar. Pemerintah harus mengikis ideologinya, dan menjauhkan rakyat dari simbol yang bermakna ganda tadi.

Oleh: Hasanudin Abdurakhman cendekiawan, penulis dan kini menjadi seorang profesional di perusahaan Jepang di Indonesia

https://detik.com/news/kolom/d-4277672/bukan-sekadar-soal-bendera
Bukan Hanya Sekedar Bendera Bukan Hanya Sekedar Bendera Reviewed by Erhaje88 Blog on October 30, 2018 Rating: 5

No comments:

Erhaje88 tidak bertanggung jawab atas isi komentar yang ditulis. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Stay Connected

Powered by Blogger.