Setiap kali ada orang yang menakut-nakuti orang lain, atau memaksa orang lain untuk melakukan sesuatu yang cenderung bertentangan dengan norma agama dengan dalil agama, saya selalu teringat dengan sosok KH Abdurrahman Wahid atau umum dipanggil Gus Dur, lebih spesifiknya teringat pada salah satu artikelnya 'Tuhan Tidak Perlu Dibela'.
Seperti kali ini, saat Neno Warisman menyeret-nyeret nama Tuhan dengan nada ancaman “Jika kami dibiarkan kalah, kami khawatir tidak akan ada lagi yang menyembah-Mu”, saya tergoda untuk kembali membuka artikel yang diterbitkan Tempo tahun 1982 yang lalu kemudian dibukukan oleh LKiS itu.
Inti tulisan Gus Dur dalam ‘Tuhan yang tak perlu dibela’ dituangkan secara singkat beberapa paragraf terakhirnya yang digambarkan dalam tulisan sebagai perkataan seorang guru tarekat. “Allah itu maha besar. Ia tidak memerlukan Pembuktian akan kebesaran-Nya. Ia Maha Besar karena Ia ada, apa pun yang diperbuat orang atas diri-Nya, sama sekali tak ada pengaruhnya atas wujud-Nya dan atas kekuasaan-NYa”.
“Al-Hujwiri mengatakan: Bila engkau menganggap Allah ada hanya karena engkau yang merumuskannya, hakikatnya engkau sudah menjadi kafir. Allah tidak perlu disesali kalau ‘Ia menyulitkan’ kita. Juga tak perlu dibela kalau orang menyerang hakikat-Nya. Yang ditakuti berubah adalah persepsi manusia atas hakikat Allah, dengan kemungkinan kesulitan yang diakibatkannya”
Banyak yang berpendapat tulisan-tulisan Gus Dur masih sangat relevan hingga saat ini. Buktinya, 40 tahun setelah Gus Dur menulis itu, Grand Syekh Al-Azhar, Mesir, Ahmad Muhammad Ahmad Al-Thayyeb dan Paus Fransiskus berjumpa untuk menandatangani sebuah dokumen bersejarah, yaitu 'Dokumen Persaudaraan Manusia untuk Perdamaian Dunia dan Hidup Bersama'. Dokumen itu dideklarasikan dalam sebuah Pertemuan Persaudaraan Manusia Manusia di Uni Emirat Arab (UEA) beberapa waktu lalu.
Dalam dokumen itu ditulis: “Semua pihak agar menahan diri menggunakan nama Tuhan untuk membenarkan tindakan pembunuhan, pengasingan, terorisme dan penindasan. Kami meminta ini berdasarkan kepercayaan kami bersama pada Tuhan, yang tidak menciptakan manusia untuk dibunuh atau berperang satu sama lain, tidak untuk disiksa atau dihina dalam kehidupan dan keadaan mereka. Tuhan, Yang Maha Besar, tidak perlu dibela oleh siapa pun dan tidak ingin Nama-Nya digunakan untuk meneror orang.”
Menurut pendapat singkat saya, ada dua hal yang menjadi penyebab mengapa relevansi tulisan Gus Dur begitu tinggi: Pertama, Gus Dur adalah sosok yang futuristik dan visioner. Artinya, saat menulis, Gus Dur mampu memprediksi masalah-maslah yang akan terjadi di masa yang akan datang. Ini menggembirakan, karena kita bisa memiliki orang yang begitu cerdas di masa lalu yang bisa kita contoh.
Penyebab kedua tidak semenyenangkan yang pertama; yakni memang masalah sosial kita tak beranjak dari dulu hingga saat ini. Artinya masalah yang ada sejak jaman Gus Dur masih ada hingga sembilan tahun pasca wafatnya, kita masih berputar dalam lingkaran yang sama. Kita belum beranjak dari perdebatan ganjil mengenai sisi tidak produktif dalam masalah agama. Kita masih saja suka menjadikan agama sebagai tameng dari kepentingan kita. Kita masih berputar di situ-situ saja selama puluhan tahun ini.
Namun begitu saya yakin bahwa sebagian besar dari kita ingin perdebatan itu selesai dan mulai beranjak lebih banyak membicarakan kemajuan zaman, penelitian termutakhir, dan sibuk berlomba dalam kebaikan. Sayangnya, segelintir orang seperti Neno Warisman orang masih ‘doyan’ menarik-narik kita ke masalah-masalah masa lalu yang tak menguntungkan sama sekali. Saya jadi berangan-anak, andai saja Neno membaca dan mengilhami tulisan ‘Tuhan Tidak Perlu Dibela'-nya Gus Dur, mungkin tak begini jadinya.
Wallahu A’lam
Oleh: Ahmad Rozali, redaktur NU Online
www.nu.or.id/post/read/102981/andai-neno-warisman-baca-tuhan-tidak-perlu-dibela-nya-gus-dur
Inti tulisan Gus Dur dalam ‘Tuhan yang tak perlu dibela’ dituangkan secara singkat beberapa paragraf terakhirnya yang digambarkan dalam tulisan sebagai perkataan seorang guru tarekat. “Allah itu maha besar. Ia tidak memerlukan Pembuktian akan kebesaran-Nya. Ia Maha Besar karena Ia ada, apa pun yang diperbuat orang atas diri-Nya, sama sekali tak ada pengaruhnya atas wujud-Nya dan atas kekuasaan-NYa”.
“Al-Hujwiri mengatakan: Bila engkau menganggap Allah ada hanya karena engkau yang merumuskannya, hakikatnya engkau sudah menjadi kafir. Allah tidak perlu disesali kalau ‘Ia menyulitkan’ kita. Juga tak perlu dibela kalau orang menyerang hakikat-Nya. Yang ditakuti berubah adalah persepsi manusia atas hakikat Allah, dengan kemungkinan kesulitan yang diakibatkannya”
Banyak yang berpendapat tulisan-tulisan Gus Dur masih sangat relevan hingga saat ini. Buktinya, 40 tahun setelah Gus Dur menulis itu, Grand Syekh Al-Azhar, Mesir, Ahmad Muhammad Ahmad Al-Thayyeb dan Paus Fransiskus berjumpa untuk menandatangani sebuah dokumen bersejarah, yaitu 'Dokumen Persaudaraan Manusia untuk Perdamaian Dunia dan Hidup Bersama'. Dokumen itu dideklarasikan dalam sebuah Pertemuan Persaudaraan Manusia Manusia di Uni Emirat Arab (UEA) beberapa waktu lalu.
Dalam dokumen itu ditulis: “Semua pihak agar menahan diri menggunakan nama Tuhan untuk membenarkan tindakan pembunuhan, pengasingan, terorisme dan penindasan. Kami meminta ini berdasarkan kepercayaan kami bersama pada Tuhan, yang tidak menciptakan manusia untuk dibunuh atau berperang satu sama lain, tidak untuk disiksa atau dihina dalam kehidupan dan keadaan mereka. Tuhan, Yang Maha Besar, tidak perlu dibela oleh siapa pun dan tidak ingin Nama-Nya digunakan untuk meneror orang.”
Menurut pendapat singkat saya, ada dua hal yang menjadi penyebab mengapa relevansi tulisan Gus Dur begitu tinggi: Pertama, Gus Dur adalah sosok yang futuristik dan visioner. Artinya, saat menulis, Gus Dur mampu memprediksi masalah-maslah yang akan terjadi di masa yang akan datang. Ini menggembirakan, karena kita bisa memiliki orang yang begitu cerdas di masa lalu yang bisa kita contoh.
Penyebab kedua tidak semenyenangkan yang pertama; yakni memang masalah sosial kita tak beranjak dari dulu hingga saat ini. Artinya masalah yang ada sejak jaman Gus Dur masih ada hingga sembilan tahun pasca wafatnya, kita masih berputar dalam lingkaran yang sama. Kita belum beranjak dari perdebatan ganjil mengenai sisi tidak produktif dalam masalah agama. Kita masih saja suka menjadikan agama sebagai tameng dari kepentingan kita. Kita masih berputar di situ-situ saja selama puluhan tahun ini.
Namun begitu saya yakin bahwa sebagian besar dari kita ingin perdebatan itu selesai dan mulai beranjak lebih banyak membicarakan kemajuan zaman, penelitian termutakhir, dan sibuk berlomba dalam kebaikan. Sayangnya, segelintir orang seperti Neno Warisman orang masih ‘doyan’ menarik-narik kita ke masalah-masalah masa lalu yang tak menguntungkan sama sekali. Saya jadi berangan-anak, andai saja Neno membaca dan mengilhami tulisan ‘Tuhan Tidak Perlu Dibela'-nya Gus Dur, mungkin tak begini jadinya.
Wallahu A’lam
Oleh: Ahmad Rozali, redaktur NU Online
www.nu.or.id/post/read/102981/andai-neno-warisman-baca-tuhan-tidak-perlu-dibela-nya-gus-dur
Andai Saja Neno Warisman Baca 'Tuhan Tidak Perlu Dibela'nya Gus Dur
Reviewed by Erhaje88 Blog
on
February 26, 2019
Rating:
No comments:
Erhaje88 tidak bertanggung jawab atas isi komentar yang ditulis. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE