Sidebar Ads

banner image

Pengajian Posonan, Metodelogi Islam Nusantara



Oleh: Ahmad Baso

Kaidah manhaji Islam Nusantara "al-muhafazhah alal qadimish shalih wal-akhdzu bil jadidil ashlah" sudah jamak dibicarakan dan dibahas. Tapi hingga kini belum ada yang membahasnya secara metodologis falsafi. Orang malah sibuk mencari asal-usul berupa pertanyaan simplistis soal siapa yang pertama kali melontarkannya. Bukan malah mengkajinya dari aspek signifikansi intelektual maupun kontribusi manhajinya bagi studi-studi Islam Nusantara di negeri ini maupun dalam rangka globalisasi Studi-studi Islam Nusantara untuk dunia.
Apalagi ada beberapa sarjana lulusan Amerika yg menganggap kajian keilmuan Islam Indonesia ini tidak punya metodologi, walau kaya khazanah kitab kuning. Orang-orang NU dan komunitas pesantren dianggap miskin metode keilmuan, sehingga mereka disebut tradisional dan konservatif.

Padahal kajian metodologis
falsafi atas kaidah "al-muhafazhah alal qadimish shalih wal-akhdzu bil jadidil ashlah" ini sudah mendesak diangkat kini. Karena banyak kajian-kajian keislaman digelar di kalangan akademik maupun non-akademik, tapi fondasi nalar maupun cara berpikirnya masih diimpor dari luar. Sehingga lebih tampak sebagai jiplakan dari produk luar. Kebanyakan dicomot begitu saja dari luar, dan tidak menunjukkan karakter sebenarnya cara berpikir kita sebagai orang-orang Indonesia yang punya logika dan nalar epistemiknya sendiri.

Dulu Soekarno pernah melontarkan gagasan bahwa menjadi Hindu jangan seperti orang India; menjadi Kristen jangan seperti orang Eropa; dan menjadi Muslim jangan seperti orang Arab. Artinya, dalam soal beragama, kata Soekarno, Artinya, kita punya kekhasan sendiri yang terkait dengan wujud kita sebagai bangsa, orang Nusantara. Demikian pula
Gus Dur (Abdurrahman Wahid) mengatakan bahwa menjadi Marxis tapi tidak mesti ikut Karl Marx. Juga para Wali Songo memperkenalkan Islam dengan cara mengangkat substansi keilmuan Nusanatra dalam proses Islamisasi itu.

Dalam buku saya yang baru terbit, The Intellectual Origins of Islam Nusantara (2017), saya tidak mempersoalkan asal-usul siapa yang melontarkan pertama kali gagasan manhaji kaidah al-muhafazhah itu, tidak juga menghabiskan waktu mencari-cari dimana teks ditulis pertama kali. Tapi melacak asal-mula pemikiran Islam Nusantara yang menjadi fondasi kekhasan itu, yang kemudian diperkukuh dengan kaidah manhaji tersebut.
Artinya ada sistem nalar yang spesifik dibangun nenek moyang kita dulu. Misalnya mengapa ulama dan para penulis tradisi Nusantara mengembangkan tema-tema kemaritiman, seperti kata-kata perahu, kapal, laut, nakoda, tanah, sawah, gunung, mata air, hutan, dst, yang khas negeri maritim.
Demikian pula bahasa kolektifitas, kebersamaan, gotong-royong, yang merupakan karakter kehidupan kemasyarakatan kita, yang tidak ditemukan dalam diskusi-diskusi keagamaan di negeri Arab-Persia. Lalu bagaimana kemudian bahasa-bahasa itu diilmiahkan atau diintelektualisasi oleh para ulama Nusantara dalam bahasa al-muhafazhah dan al-akhdzu.

Dalam bangunan epistemologis ini anak-anak bangsa kita, seperti Wali Songo, Soekarno dan Gus Dur, mengenal hakikat karakter dan karakteristik intelektual epistemik ke-Nusantara-an kita itu.
Pada titik intelektualisasi atau memperkaya rekonstruksi fondasi kajian-kajian manhaji-epistemologis Islam Nusantara ini kita perlu belajar ke intelektual Maghribi Muhammad Abed al-Jabiri.
Ia adalah manusia manhaji, sosok epistemologis dalam kajian tradisi dan pemikiran global universal. Dan bukan sekedar manusia ide yang kemudian gampang dikelompokkan ke dalam aliran-aliran pemikiran yang sudah jadi mainstream, seperti modernis, strukturalis, posmodernis atau Marxis. al-Jabiri justru menghindar dari kategori-kategori tersebut. Karena kekuatan kajian-kajian epistemologinya.

Memahami pemikiran al-Jabiri dan kontribusinya bagi kajian-kajian metodologis Islam Nusanatara, harus dimulai dari pendekatan manhaji yg ditawarkannya.
Untuk itu tidak cukup hanya membacanya dari satu dua buku yang ditulisnya, tapi harus segenap karya-karyanya – terutama yang menjadi teks-teks kunci atau teks-teks fondasional (nushush ta’sisiyah) dalam bangunan pemikirannya, seperti empat buku (tetralogi) seri Kritik Nalar Arab (Naqdu-l-Aql al-Arabi) maupun buku-buku yang ditulisnya untuk kritik nalar modern-kontemporer.

Soalnya hanya dengan cara itu kita bisa menangkap keseluruhan atau totalitas bangunan pemikiran al-Jabiri. Dari totalitas bangunan karya-karyanya itu kita bisa tahu mana pemikiran al-Jabiri yang merupakan fondasi atau pilar yang menentukan struktur bangunan tersebut (tanpa unsur itu bangunan itu akan roboh -- unsur ini disebut ats-tsawabit), dan mana yang hanya berupa pintu atau jendela yang keberadaannya tidak menentukan tegak atau ambruknya bangunan tersebut. Dan unsur terakhir ini disebut at-tahawwulat.

Nah, konsekuensinya, kalau kita tidak bisa memilah-milah dengan baik kedua macam unsur pemikiran al-Jabiri tersebut, maka kita tidak akan mampu membedakan mana yang merupakan pemikiran fondasi atau pilar, dan mana yang sifatnya hanya merupakan pintu atau jendela saja. Kebanyakan diskusi atau tulisan tentang al-Jabiri -- mulai dari anak-anak NU, Muhammadiyah hingga beberapa orientalis generasi muda -- justru lebih banyak tertarik membaca aspek yang terakhir ini, hanya mampu menangkap pintu dan jendelanya, tapi luput memahami arti penting aspek fondasi atau pilar dalam bangunan pemikiran intelektual Maghribi ini. Akibatnya, ya banyak yang keliru dan salah paham karena kurangnya kedalaman membaca peta bangunan pemikiran al-Jabiri.

Kalau sudah demikian, jelas pembaca sekilas atau medioker ini tidak akan bisa nyambung dengan kajian-kajian Islam Nusantara, terutama yang terkait dengan studi-studi metodologis seperti dilakoni al-Jabiri.
Buku saya yang berjudul POST-TRADISIONALISME ISLAM, AKAN TERBIT, EDISI REVISI, berupaya membantu para pembaca budiman mengenal lebih dekat seperti apa bangunan intelektual Abed al-Jabiri itu, agar bisa menelusuri unsur-unsur mana dalam pemikiran tersebut yang masuk sebagai fondasi atau pilar dan unsur mana saja yang menjadi pintu atau jendelanya.

Unsur pertama membantu kita memahami metodologi Islam Nusantara. Sementara unsur kedua lebih bersifat kontekstual yang bisa berubah-ubah tergantung situasi dan kondisi lingkup dimana unsur-unsur itu dipakai dan diterapkan.
Tentu beberapa artikel pilihan yang saya terjemahkan di sini belum mewakili sepenuhnya segenap karya-karya al-Jabiri yang berjumlah 30-an buku itu. Tapi setidaknya tulisan-tulisan itu bisa memperjelas struktur besar bangunan pemikirannya, termasuk memberikan pemetaan tentang unsur mana saja yang merupakan fondasi atau pilar (tsawabit) yang relevan dengan kajian-kajian manhaji Islam Nusantara.
Diharapkan nantinya dengan modal ini pembaca bisa melanjutkan pemetaan awal tersebut dengan membaca langsung teks-teks kunci atau fondasional al-Jabiri dalam bahasa aslinya, bahasa Arab. (Koleksi buku-buku al-Jabiri bisa diperoleh langsung di Perpustakaan PBNU Gedung PBNU lantai 2 Jalan Kramat Raya Jakarta Pusat).

Baru setelah itu pembaca akan menemukan tingkat relevansi sejauhmana kontribusi kajian-kajian metodologi dan epistemologi al-Jabiri dalam konteks studi-studi Islam Nusantara di negeri kita.
Karena hanya pada level inilah kita akan bisa mengapresiasi arti penting atau signifikansi metodologi al-muhafazhah dan al-akdzu dalam studi-studi Islam Nusantara yang bisa berkontribusi banyak bagi pengembangan studi-studi Islam kontemporer pada level global.
(bersambung)
Pengajian Posonan, Metodelogi Islam Nusantara Pengajian Posonan, Metodelogi Islam Nusantara Reviewed by Erhaje88 Blog on June 11, 2017 Rating: 5

No comments:

Erhaje88 tidak bertanggung jawab atas isi komentar yang ditulis. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Stay Connected

Powered by Blogger.