Sidebar Ads

banner image

Sengkuni Menanti Ajal, Gagal Maning Pak Amien Rais?

Oleh: Marlina Susana Mekarsari

Apa kabar pak Amien Rais? Sehat-sehat saja, kan pak, semoga begitu adanya.
Ketika membaca Gus Dur diberi penghargaan sebagai pahlawan nasional, tiba-tiba teringat bapak. Saya dulu sempat mengagumi bapak, apalagi pasca reformasi dimana tidak banyak tokoh yang bersuara frontal menembus kebekuan suasana feodal yang di wariskan pak Harto.
Saya ingat sekali waktu saya sering ke Gramedia, kebiasaan baca komik gratis sampe rela berdiri berjam-jam, saya melihat ada komik berwarna dengan judul “Amien Rais, sang lokomotif reformasi”. Gambarnya, kalau gak salah, pak Amien berdiri di depan lokomotif. Itu mungkin komik politik pertama yang saya baca.


Pendidikan bapak yang sampai meraih gelar doktor di Amerika, makin menambah kekaguman saya. “Ini orang pintar” begitu kekaguman saya sambil tersenyum kepada seorang SPG Gramedia yang melirik judes karena sering melihat saya baca buku disana tanpa pernah membeli apa-apa.

Saya dulu berfikir bapak yang akan jadi Presiden negeri ini, sesudah pak Habibie tidak lagi menjabat. Tapi nyatanya bapak mundur tidak ikut pilpres yang waktu itu pemilihannya masih melalui dewan. Ah, ternyata karena kursi PAN waktu itu sangat sedikit, sehingga bapak tidak berani mencalonkan diri.
Kerasnya pertarungan di dewan yang kursinya di monopoli PDI-P waktu itu, membuat pak Amien seperti striker yang bergerak kesana kemari mencoba menggagalkan Megawati menjadi Presiden, dan bapak berhasil, Gus Dur yang menjadi Presiden.
Saya jadi inget guyonan Gus Dur masalah ini, “saya tidak pernah mengeluarkan uang milyaran untuk menjadi Presiden, saya modal dengkul. Itupun dengkulnya Amien Rais..”

Tapi alih-alih mendukung orang yang bapak pilih, bapak pula yang menjatuhkannya dengan gaya yang sama saat menjegal Mega. Disini saya mulai curiga, bahwa bapak “ada apanya”. Apa bapak tidak tahu bahwa itu situasi yang sangat berbahaya untuk NKRI ini ? Bapak membawa negeri ini pada stuasi yang lebih mengerikan daripada jatuhnya Soeharto, yaitu perang saudara. Banyak pendukung Gus Dur yang tidak terima dengan cara bapak, sehingga menganggap Muhammadiyyah adalah musuh besar.

Di daerah-daerah begitu terasa ketegangannya, sampai mereka bertekad untuk menyerbu Jakarta.
Beruntung Gus Dur legowo, sehingga ia harus turun untuk menyelamatkan situasi ini.
 Seandainya Gus Dur bersikeras entah apa yang terjadi, apalagi kepolisian sudah terbelah dua. Bisa pecah negeri ini atas nama konstitusi.
Apa itu yang bapak mau ? Memecah Indonesia sehingga negeri ini bukan lagi menjadi Republik tetapi Serikat, seperti negara dimana bapak menghabiskan banyak waktunya disana ? Apa harga itu layak dengan potensi jatuhnya korban jiwa dimana-mana akibat perang saudara yang tidak berkesudahan ? Betapa beraninya bapak mengambil tanggung-jawab besar seperti itu.

Tapi untunglah semua itu tidak terjadi karena Gus dur menahan tangannya, sesuatu yang mungkin bapak tidak prediksi. Indonesia selamat karena beliau tidak rakus jabatan.
Mungkin buat bapak, “Its just politic, nothing personal.” Tetapi di tangan bapak, politik menjadi sungguh mengerikan dan membawa negara ini di ujung tanduk keruntuhan.

Dan pada akhirnya di tahun 2004, bapak mencalonkan diri jadi Presiden saat pemilihan langsung, sungguh saya termasuk yang memeletkan lidah dengan senang saat bapak hanya mendapat 14 persen suara. Pencitraan bapak dengan langkah-langkah mengangkat dan menjatuhkan, ternyata tidak mendapat apresiasi yang positif, malah bapak mendapat julukan Sengkuni, si penikam dari belakang.


Mungkin kalau tidak ada penganugerahan pahlawan nasional kepada Gus dur, saya tidak ingat bapak. Saya bahkan tidak melihat sediktpun hal positif yang bapak lakukan, selain jumpalitan dalam sirkus politik seperti halnya para senator di negara paman Sam.
Orang yang bapak coba hancurkan, sudah pernah menjadi Presiden dan sekarang mendapat gelar Pahlawan Nasional. Sedangkan bapak masih asik jumpalitan seperti pemain trampoline mencari panggung yang cocok dan tempat dimana bapak ingin mencatatkan diri dalam sejarah kebangsaan.
 Ingat waktu pilpres 2014 bapak bilang bahwa pertarungan Jokowi dan Prabowo adalah perang badar ? Bapak kembali memanas manasi situasi supaya terjadi bentrokan, dan untung Tuhan kembali menyelamatkan negeri tercinta ini dari orang orang seperti bapak.

Saya sudahi dulu ya pak, semoga bapak bisa merenung di hari tua dan berfikir, “apa yang bisa kulakukan buat bangsa ini supaya namaku harum dikenang ?”
Semoga ada, supaya di hari tua tidak jumpalitan terus. Capek kan, pak..???
Saya jadi ketawa sendiri membayangkan almarhum Gus Dur terkekeh kekeh di Surga melihat gerak gerik bapak, guyonan dengan malaikat sambil menunjuk ke bumi,
“Sonnn.. Gagal maning, gagal maning son..”
Sengkuni Menanti Ajal, Gagal Maning Pak Amien Rais? Sengkuni Menanti Ajal, Gagal Maning Pak Amien Rais? Reviewed by Erhaje88 Blog on June 12, 2017 Rating: 5

No comments:

Erhaje88 tidak bertanggung jawab atas isi komentar yang ditulis. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Stay Connected

Powered by Blogger.