Sidebar Ads

banner image

Pemikiran Islam (1)

Oleh: Prof. Muhammad Machasin*

Bermula dari al-Qur’an?
Ada kecenderungan untuk memulai pelacakan pemikiran Islam dari al-Qur’an. Ini bisa dibenarkan karena menurut teori pengambilan hukum dalam Islam al-Qur’an merupakan sumber utama. Dalam umumnya kehidupan keagamaan umat Islam pun kitab ini diyakini sebagai sumber utama dan pertama. Baru kemudian Hadits Nabi, segala hal yang dinisbahkan kepada beliau, Ijmak, kebiasaan atau ‘urf dan pertimbangan nalar. Al-Qur’an sendiri pun merangsang orang beriman untuk melakukan pemikiran baik dengan hal-hal yang terkait dengan dirinya maupun yang dianjurkannya.
Dari yang pertama dapat disebut beberapa kata atau ungkapan yang dipakai al-Qur’an sendiri, bacaannya, caranya bercerita, perulangan banyak tema di dalamnya dan apa yang disebut dengan ayat-ayat mutasyābbihāt. Kata kalālah yang hanya sekali disebut telah menarik pemikiran Muslim untuk mencari maknanya. Demikian juga huruf-huruf yang menjadi pembuka beberapa surat, seperti alif-lām-mīm, alif-lām-rā’, ḥā’-mīm dan yā-sīn. Apakah itu singkatan, rumusan angka atau apa? Apakah kata yūratsū kalālatan dalam { ﻭَﺇِﻥْ ﻛَﺎﻥَ ﺭَﺟُﻞٌ ﻳُﻮﺭَﺙُ ﻛَﻠَﺎﻟَﺔً ﺃَﻭِ ﺍﻣْﺮَﺃَﺓٌ { ‏[ ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ : 12] boleh dibaca yūritsu dan kata imra’atun dibaca imra’atan? Kalau dibaca yūratsu, frasa itu berarti “jika ada seorang lelaki atau perempuan diwarisi (meninggal) tanpa ahli waris pokok (anak, ayah)”, namun dengan cara kedua, artinya menjadi “Jika ada seorang laki-laki mati meninggal kalalah atau isteri.”


Demikian juga kata al-jamalu dalam { ﺇِﻥَّ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻛَﺬَّﺑُﻮﺍ ﺑِﺂﻳَﺎﺗِﻨَﺎ ﻭَﺍﺳْﺘَﻜْﺒَﺮُﻭﺍ ﻋَﻨْﻬَﺎ ﻟَﺎ ﺗُﻔَﺘَّﺢُ ﻟَﻬُﻢْ ﺃَﺑْﻮَﺍﺏُ ﺍﻟﺴَّﻤَﺎﺀِ ﻭَﻟَﺎ ﻳَﺪْﺧُﻠُﻮﻥَ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔَ ﺣَﺘَّﻰ ﻳَﻠِﺞَ ﺍﻟْﺠَﻤَﻞُ ﻓِﻲ ﺳَﻢِّ ﺍﻟْﺨِﻴَﺎﻁِ { ‏[ ﺍﻷﻋﺮﺍﻑ : 40]
boleh dibaca dengan cara lain seperti al-jimlu, al-jumlu dan al-jimalu. Dengan pembacaan yang tertulis dalam mushaf sekarang ayat ini berarti “orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan merasa diri besar sehingga tak mau mengindahkannya tidak akan dibukakan pintu langit bagi mereka dan mereka tidak akan dapat masuk surga sampai unta masuk lubang jarum.” Dengan pembacaan lain, frasa terakhir berarti “sampai tali kapal masuk lubang jarum.

Isi Cerita Dalam al-Qur'an
Dalam menceritakan peristiwa, al-Qur’an seringkali meninggalkan bagian-bagian tertentu yang membuat cerita bolong-bolong urutannya kurang tertib. Cerita tentang perintah kepada Bani Israil untuk menyembelih sapi (2/
al-Baqarah 67-7). Dari ayat 67 sampai ayat 71 diceritakan bahwa Bani Israil banyak bertanya tentang sapi yang mesti disembelih itu dan akhirnya ketika dijelaskan semua, mereka hampir tidak dapat menemukannya; walaupun kemudian mereka berhasil menyembelih sapi itu. Kemudian ayat 72 bercerita tentang pembunuhan yang terjadi di kalangan mereka, tetapi tidak ketahuan siapa pelakunya karena kelihaian mereka menyembunyikan peristiwa itu, tapi Allah akan membongkar rahasia mereka. Lalu Allah berfirman, “Pukullah mayat itu dengan sebagian dari karkas sapi yang telah disembelih itu. Demikianlah Allah menghidupkan orang-orang mati dan menunjukkan tanda-tanda-Nya agar kalian berpikir.”

Bukankah terasa ada pembalikan tertib cerita? Semestinya peristiwa kematian yang pelakunya tak diketahui disampaikan lebih dahulu, barulah kemudian diperintahkan menyembelih sapi. Lalu dipukulkan sebagian dari karkas sapi ke tubuh mayit. Lalu apa yang terjadi setelah mayat dipukul? Bolong, tidak ada keterangan kecuali isyarat sebelum dan sesudahnya bahwa pelakunya akan ketahuan dan bahwa Allah kuasa menghidupkan orang mati serta bahwa Dia mempertunjukkan tanda-tanda (kekuasaan-Nya).
Ini jelas merangsang akal untuk menemukan tertib cerita dan tambahan cerita yang akan melengkapi lubang-lubang yang dibiarkan menganga oleh al-Qur’an.

Perulangan yang banyak terjadi di dalam al-Qur’an. Akan tetapi selalu ada nuansa atau sedikit perbedaan arti yang muncul karena ada bagian-bagian yang ditambah atau dikurangi dan konteks pembicaraan yang berbeda. Hal itu tentu menimbulkan tanda tanya bagi orang yang membaca, lalu membuatnya berpikir mengenai apa pesan yang disampaikan dalam perulangan yang berbeda-beda itu. Ayat-ayat mutasābbihāt jelas menarik minat banyak pembaca untuk menangkap makna yang dimaksud.

Yang kedua, di dalam al-Qur’an banyak ditemukan celaan kepada orang-orang yang tidak berpikir, tidak memperhatikan, tidak merenung-renungkan al-Qur’an dan sebagainya.
“Kehidupan dunia ini hanyalah permainan, sedangkan kampung akhirat lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa; apakah kalian tidak berpikir?” (6/al-Anʻām: 32).
“Apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana unta diciptakan, bagaimana langit ditinggikan” dst. (88 al-Ghāsyiyah: 17-20).
“Apakah mereka tidak merenung-renungkan al-Qur’an? Kalau bukan dari Allah, pastilah akan mereka akan temukan di dalamnya banyak perbedaan.” (4/al-Nisā’: 82).
Demikian juga al-Qur’an menyuruh untuk memperhatikan akibat perbuatan orang-orang terdahulu akibat kesalahan mereka mendustakan ayat-ayat Allah.

Ringkasnya, al-Qur’an mengingatkan bahwa manusia dianugerahi Allah kemampuan menalar, menyimpulkan, mengambil pelajaran, menimbang perbuatan, membuat konsep dan seterusnya yang merupakan perbuatan akaliah. Karunia ini mesti dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kepentingannya secara bertanggung jawab dan karena itulah pemikiran dilakukan oleh orang-orang beriman.

Pengangkatan Abu Bakar Sebagai Khalifah
Pemilihan Abu Bakar sebagai contoh
Pertanyaannya kemudian, apakah dalam sejarah umat Islam al-Qur’an selalu menjadi rujukan utama dalam memecahkan masalah?
Betul, kata satu pihak. Misalnya, ketika Nabi Muhammad meninggal, Umar bin al-Khaṭṭāb sangat terpukul dan mengancam orang-orang di sekitarnya di tempat tinggal Nabi, “Barangsiapa mengatakan Muhammad wafat, akan kupenggal kepalanya.”
Tidak ada orang yang membantah sampai Abu Bakr datang dan melihat jasad Nabi Muhammad yang telah meninggal. Kemudian ia mendatangi Umar dan membaca ayat yang menyatakan bahwa Muhammad hanyalah seorang utusan sebagaimana utusan-utusan yang telah lewat.
“Apakah kalau dia mati atau terbunuh, kalian akan balik kanan?” (Lihat surat 3/Āl ‘Imrān: 144).
Umar kemudian menerima kenyataan bahwa orang yang dihormati dan dikasihinya itu telah meninggal.
Akan tetapi kemudian terdengar kabar bahwa segolongan sahabat dari penduduk asli Madinah, yakni kaum Anṣār, telah berkumpul di tempat pertemuan Bani Sāʻidah untuk memperbincangkan pengganti Muhammad sebagai pemimpin umat Islam. Abu Bakr dan ‘Umar pun bergegas menyusul ke pertemuan itu bersama seorang sahabat lagi yang bernama Abū ‘Ubaidah bin al-Jarrāḥ. Di sana orang-orang Anṣār sudah sepakat untuk mengangkat tokoh mereka Sa’d bi ‘Ubādah sebagai pemimpin.
Maka terjadilah perdebatan sengit antara ‘Umar dan orang-orang penduduk asli Madinah itu tanpa ujung pangkal. Kaum Anṣār mengatakan bahwa merekalah yang berjasa melindungi Nabi ketika beliau terusir dari kampung halaman beliau dan mendukungnya sehingga dakwahnya berhasil. ‘Umar menyatakan bahwa kaum Muhajirun adalah orang-orang yang lebih dahulu menerima dakwah beliau dan mendampingi beliau serta menderita bersama-sama dengan beliau selama di Mekkah.

Perdebatan yang berkepanjangan itu bahkan sampai kepada usulan agar diangkat dua orang pemimpin: satu dari sahabat Nabi yang berasal dari Mekkah dan satu pemimpin dari sahabat yang merupakan penduduk asli Medinah.
Dalam keadaan genting itulah Abu Bakr tampil dengan argumen yang diterima semua orang yang hadir. Apa itu? Bangsa Arab hanya mau patuh kepada pemimpin dari suku Quraisy ( ﻻ ﺗﺪﻳﻦ ﺍﻟﻌﺮﺏ ﺇﻻ ﻟﻬﺬﺍ ﺍﻟﺤﻲ ﻣﻦ ﻗﺮﻳﺶ ). Semua orang dalam pertemuan itu diam, menerima argumen itu. Lalu bergegaslah mereka mendatangi Abu Bakr untuk mengucapkan janji kesetiaan atau bai’ah.

Cerita ini menjelaskan satu kenyataan penting, yakni bahwa pada saat yang genting itu tidak muncul argumen yang diambil dari al-Qur’an. Dalil dari sabda Nabi pun tidak muncul, walaupun kemudian ditemukan hadits yang menyatakan bahwa para pemimpin [umat Islam harus] berasal dari suku Quraisy. Artinya, pertanyaan mengenai apakah pemikiran Islam berangkat dari al-Qur’an bisa dijawab dengan ya dan tidak.


Ijtihadnya Para Sahabat Nabi saw
Lalu apakah pemikiran itu dirangsang oleh apa yang dikerjakan Rasulullah? Sebahagiannya tentu saja. Di dalam sebuah hadits diceritakan bahwa mengutus Mu`âdz bin Jabal ke Yaman, Nabi Muhammad saw. bertanya kepadanya,
“Dengan apa akan kau putuskan perkara yang kau hadapi?” Mu’ādz menjawab, “Dengan ketentuan yang ada dalam Kitab Allah.” Rasulullah bertanya lagi, “Kalau tidak terdapat dalam Kitab Allah?” Jawabnya, “Dengan sunnah Rasulullah saw. “ Rasulullah bertanya lagi, “Kalau tidak terdapat di dalamnya?” Jawabnya, “Saya berijtihad dengan akal fikirku, aku tidak akan berhenti (sebelum mendapatkan keputusan).” Rasulullah pun lalu menepuk dada Mu`âdz seraya bersabda, “Segala puji bagi Allah yang telah menunjukkan utusan Rasulullah kepada jalan yang memuaskan Rasulullah.” (Hadis riwayat Abū Dāwūd, Turmudzī dll.)

Akan tetapi, perlulah diingat bahwa para sahabat dapat langsung bertanya kepada beliau ketika ada hal-hal yang mereka tidak mereka pahami. Jadi hal-hal yang merangsang pemikiran dapat dikatakan tidak banyak berasal dari sabda dan perbuatan Rasulullah.
Cerita tentang Mu’ādz menunjukkan bahwa Nabi membenarkan pemakaian daya pikir dalam penyelesaian masalah yang dihadapi. Berpikir adalah salah satu dari fitrah manusia sebagaimana makan, minum dan bergaul. Karena itu, tidaklah aneh bahwa dalam setiap zaman ditemukan orang-orang yang berfikir dengan sungguh-sungguh mengenai berbagai hal yang menantang kehidupan manusia. Dalam kehidupan sehari-hari pun manusia menggunakan pemikiran, apakah untuk menemukan cara kerja yang lebih cepat, menemukan alat untuk meraih hal yang tidak dapat dijangkau dengan tangan, mencari jawab terhadap hal-hal belum diketahui dan dirasakannya harus diketahui, dan sebagainya.

Kemudian harus diingat bahwa perkembangan pesat yang dialami umat Islam yang baru terbentuk menimbulkan banyak persoalan yang mesti diselesaikan. Perluasan wilayah berjalan dengan sangat cepat. Keseluruhan jazirah Arab sudah masuk ke dalam wilayah kekuasaan umat Islam pada saat Nabi menjelang wafat pada tahun 632 M. Di sebelah barat, Andalusia sudah mulai ditaklukkan kurang dari seratus tahun kemudian; panglima Ṭāriq bin Ziyād menaklukkan Gibraltar pada tahun 711. Ke arah timur, India sudah mulai dijamah pasukan Muslim pada saat yang sama; tahun 711 juga Muhammad bi Qāsim menaklukkan Sind. Bentangan wilayah umat Islam dari timur ke barat itu tidak kurang dari 5 zona waktu saat ini. Judi, kira-kira bentangan itu hampir dua kali bentangan dari Aceh sampai Merauke. Itu membawa perubahan yang sangat besar dan pengalaman baru bagi bangsa Arab-Muslim yang semula hanya tinggal di jazirah Arab.

Masalah pertama adalah bagaimana mengurus wilayah yang sangat luas ini. Bayangkan saja, orang-orang yang tadinya mengurus satu kampung, tiba-tiba harus mengurus satu negara. Tentu dibutuhkan pemikiran. Lalu bagaimana mengurus keluarga yang ditinggalkan di rumah oleh orang-orang yang berperang ke berbagai penjuru. Terus bagaimana mengurus logistic peperangan dan menata kehidupan masyarakat di kota-kota yang terbentuk dari kamp-kamp militer (al-amṣār). Belum lagi persoalan yang terkait keyakinan dan tradisi keagamaan bangsa-bangsa yang berada di wilayah yang ditaklukkan itu serta membuat relasi yang wajar mereka dan orang-orang Arab-Muslim yang mengalahkan mereka.
( Bersambung>> Awal Mula Adanya Lembaga Pendidikan dan Manhaj Tasawwuf Dalam Islam )

*Dosen UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
Pemikiran Islam (1) Pemikiran Islam (1) Reviewed by Erhaje88 Blog on September 04, 2017 Rating: 5

No comments:

Erhaje88 tidak bertanggung jawab atas isi komentar yang ditulis. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Stay Connected

Powered by Blogger.