Oleh: Prof. Muhammad Machasin*
Sebelumnya<<<
Abū Ḥanīfah disebut oleh beberapa penulis sebagai penganut paham irjā’. Di antaranya, Abū al-Ḥasan al-Asyʻarī dalam karyanya, Maqālāt al-Islāmiyyīn, dan ‘Abd al-Qāhir al-Baghdādī dalam karyanya, al-Farq bain al-Firaq. Akan tetapi Imam Abū Ḥanīfah sendiri tidak mau disebut Murji’i. Tuduhan ini menyebabkannya menulis surat kepada seorang sahabatnya, ‘Utsmān al-Battī, untuk menjelaskan bahwa ia tidak berkaitan dengan paham irjā’. Surat ini dapat dibaca sampai sekarkang dengan dalam terbitan berjudul ﺭﺳﺎﻟﺔ ﺃﺑﻲ ﺣﻨﻴﻔﺔ ﺇﻟﻰ ﻋﺜﻤﺎﻥ ﺍﻟﺒﺘﻲ ﻋﺎﻟﻢ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﺒﺼﺮﺓ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻬﻤﺎ ﻓﻲ ﺍﻟﺘﺒﺮﻱ ﻣﻤﺎ ﻳﺮﻣﻰ ﺑﻪ ﻣﻦ ﺍﻹﺭﺟﺎﺀ ﻛﺬﺑﺎ ﻭﺯﻭﺭﺍ ﻣﻦ ﺟﻬﻠﺔ ﺃﻏﺮﺍﺭ (Surat Abī Ḥanīfah kepada ‘Utsmān al-Battī, ulama warga Basrah r.a. tentang kekalisannya dari tuduhan irjā’ yang ditimpakan kepada beliau secara bohong dan tidak adil oleh orang-orang bodoh keras kepala).
Di dalam surat ini Abū Ḥanīfah menyatakan, “[Wahai sahabatku, ‘Utmān], kau dengar bahwa aku dari golongan Murjiah dan bahwa aku berkata [bahwa orang mukmin yang melakukan dosa besar adalah] mukmin yang sesat … Sesungguhnya umat manusia dulunya semuanya musyrik, maka Allah mengutus Muhammad untuk menyeru mereka kepada Islam: bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah yang Maha Esa dan tanpa sekutu baginya, dan mengakui bahwa apa yang beliau bawa adalah dari Allah ta’ala. Orang yang masuk dalam Islam adalah mukmin yang bersih dari syirik, darah dan hartanya terjaga, dan baginya hak-hak kaum Muslim dan kehormatan mereka; sedangkan yang tidak melakukan hal itu ketika belia ajak adalah kafir, bebas dari iman, halal darah dan hartanya. ...”
Sebelumnya<<<
Abū Ḥanīfah disebut oleh beberapa penulis sebagai penganut paham irjā’. Di antaranya, Abū al-Ḥasan al-Asyʻarī dalam karyanya, Maqālāt al-Islāmiyyīn, dan ‘Abd al-Qāhir al-Baghdādī dalam karyanya, al-Farq bain al-Firaq. Akan tetapi Imam Abū Ḥanīfah sendiri tidak mau disebut Murji’i. Tuduhan ini menyebabkannya menulis surat kepada seorang sahabatnya, ‘Utsmān al-Battī, untuk menjelaskan bahwa ia tidak berkaitan dengan paham irjā’. Surat ini dapat dibaca sampai sekarkang dengan dalam terbitan berjudul ﺭﺳﺎﻟﺔ ﺃﺑﻲ ﺣﻨﻴﻔﺔ ﺇﻟﻰ ﻋﺜﻤﺎﻥ ﺍﻟﺒﺘﻲ ﻋﺎﻟﻢ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﺒﺼﺮﺓ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻬﻤﺎ ﻓﻲ ﺍﻟﺘﺒﺮﻱ ﻣﻤﺎ ﻳﺮﻣﻰ ﺑﻪ ﻣﻦ ﺍﻹﺭﺟﺎﺀ ﻛﺬﺑﺎ ﻭﺯﻭﺭﺍ ﻣﻦ ﺟﻬﻠﺔ ﺃﻏﺮﺍﺭ (Surat Abī Ḥanīfah kepada ‘Utsmān al-Battī, ulama warga Basrah r.a. tentang kekalisannya dari tuduhan irjā’ yang ditimpakan kepada beliau secara bohong dan tidak adil oleh orang-orang bodoh keras kepala).
Di dalam surat ini Abū Ḥanīfah menyatakan, “[Wahai sahabatku, ‘Utmān], kau dengar bahwa aku dari golongan Murjiah dan bahwa aku berkata [bahwa orang mukmin yang melakukan dosa besar adalah] mukmin yang sesat … Sesungguhnya umat manusia dulunya semuanya musyrik, maka Allah mengutus Muhammad untuk menyeru mereka kepada Islam: bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah yang Maha Esa dan tanpa sekutu baginya, dan mengakui bahwa apa yang beliau bawa adalah dari Allah ta’ala. Orang yang masuk dalam Islam adalah mukmin yang bersih dari syirik, darah dan hartanya terjaga, dan baginya hak-hak kaum Muslim dan kehormatan mereka; sedangkan yang tidak melakukan hal itu ketika belia ajak adalah kafir, bebas dari iman, halal darah dan hartanya. ...”
Sampai di sini dia sebenarnya menganut paham yang sama dengan paham Murjiah. Mengapa ia menolak disebut Murjiah?
Abu Hanifah Anut Faham Murji'ah?
Di dalam suratnya kepada sahabatnya itu Abū Ḥanīfah menyatakan juga, “Ketahuilah bahwa menurut pendapatku, ‘Semua ahl al-qiblah (orang-orang yang menghadap ke Ka’bah dalam salat) adalah mukmin. Aku tidak menganggap mereka keluar dari Islam karena mereka tidak menjalankan satu dari kewajiban agama. Barangsiapa patuh kepada Allah dalam menjalankan kewajiban keagamaan disertai iman, ia termasuk golongan ahli surga; barangsiapa meninggalkan iman dan amal, ia kafir, termasuk ahli neraka; sedangkan orang yang beriman, namun menyia-nyiakan salah satu kewajiban, maka ia adalah mukmin pendosa.
Allah boleh jadi berkehendak untuk menyiksanya atau memaafkannya; kalau Dia menyiksanya atas pengabaiannya terhadap kewajiban, maka karena dosanya tidak dimaafkan; kalau Dia memaafkannya, itu karena dosanya dimaafkan’.”
Di sini sebenarnya sudah kelihatan sedikit perbedaan. Memang amal tidak merupakan bagian dari amal, tetapi mempunyai “konsekuensi” pada pelakunya. Tidak seperti pada Murjiah yang mengatakan, “Kedurhakaan tak membahayakan sepanjang ada iman, sebagaimana ketaatan tak berguna sepanjang ada kufur” ( ﻻ ﺗﻀﺮ ﻣﻊ ﺍﻹﻳﻤﺎﻥ ﻣﻌﺼﻴﺔ ﻛﻤﺎ ﻻ ﻳﻨﻔﻊ ﻣﻊ ﺍﻟﻜﻔﺮ ﻃﺎﻋﺔ ), Abū Ḥanīfah berpendapat bahwa kedurhakaan menyebabkan “ketidakpastian” nasib orang beriman yang melakukannya. Meskipun demikian, beliau sependapat mengenai prinsip kedua bahwa “ketaatan” tidak berguna tanpa iman.
Perbedaan lain terdapat dalam kaitan dengan sikap terhadap pemimpin semasa. Berbagi riwayat menyebutkan bahwa orang pertama yang menyatakan irjā’ adalah cucu ‘Ali bin Abī Ṭālib yang bernama al-Ḥasan bin Muhammad bin ‘Āli. Bapaknya sering disebut Muhammad bin al-Ḥanafiah, putera ‘Ali dari seorang ibu berkebangsaan Persia (atau dari Bani Ḥanīfah?). Konon ketika orang-orang di dekatnya berdebat panjang lebar tentang ‘Utsman, ‘Ali, Ṭalḥah dan al-Zubair, al-Ḥasan yang selama ini diam tiba-tiba bangkit dan menyatakan, “Telah kudengar pembicaraan kalian. Menurutku, tidak ada pendapat yang lebih tepat daripada “menunda” (atau memberikan harapan: ﺃﻥ ﻳﺮﺟﺄ ) ‘Ali, ‘Utmān, Ṭalḥah dan Zubair; mereka hendaknya tidak dinyatakan sebagai pemimpin yang ditaati, tidak pula diputuskan kesetiaan kepada mereka ( ﻓﻼ ﻳُﺘﻮﻟَّﻮﺍ، ﻭﻻ ﻳُﺘﺒﺮَّﺃ ﻣﻨﻬﻢ ).
Mengenai hal ini, Abū Ḥanifah menyatakan, “Mengenai perselisihan di antara para sahabat Nabi, aku mengatakan, ‘Allah lebih tahu’ (ﺍﻟﻠﻪُ ﺃﻋْﻠَﻢُ ). Sama. Demikian pula pendapat kaum ahl al-sunnah. Akan tetapi, mengenai pemimpin umat Islam semasa, kaum Murjiah pun tetap memegangi pendapat yang sama, sementara Abu Ḥanifah menyatakan bahwa semestinya orang berpihak kepada mayoritas (ahl al-jamāʻah).
Kemudian mengenai orang-orang yang dituduh Murjiah, seperti dirinya, ia menyatakan, “Sedangkan nama Murjiah yang kau sebutkan (maksudnya, al-Battī), apa dosa kaum yang berbicara tentang keadilan lalu disebut Murjiah oleh ahl bid’ah karena perkataan mereka itu. Tidak. Mereka itu adalah ahl keadilan dan sunnah …?”
Bingung?
Tidak, harus dilakukan pembedaan antara pemikiran para ulama yang berusaha menyatukan orang-orang Islam yang berselisih dan karenanya kelihatan tidak mau memihak, dan orang-orang yang menyatakan bahwa perbuatan harus dipisahkan dari iman. Yang kedua ini merupakan gerakan yang perlu dibicarakan dengan lebih mendalam pada saatnya.
Untuk saat ini, cukup sampai di sini tentang Abū Ḥanīfah.
Definisi Iman
Kembali ke soal iman dan perbuatan: Apakah perbuatan merupakan bagian dari iman? Apakah iman harus dinyatakan? Apakah iman hilang karena perbuatan terlarang, dosa besar (kabā’ir)? Inilah di antara pertanyaan-pertanyaan yang pernah diajukan dalam sejarah pemikiran Islam. Walaupun pertanyaan-pertanyaan ini berkaitan dengan perebutan otoritas (yakni bahwa orang yang tak beriman tidak boleh menjadi pemimpin), namun kemudian menjadi persoalan orang-orang beriman pada umumnya.
Sekarang, apa definisi iman? Ketika iman didefinisikan dengan pembenaran dalam hati (taṣdīq) yang diikuti pernyataan dengan lisan (iqrār bil-lisān) saja, maka perbuatan tidak berpengaruh pada iman. Iman tidak bertambah karena perbuatan baik dan tidak berkurang karena perbuatan buruk. Bukankah pembenaran dalam hati dan pernyataan dengan lisan tidak bertambah atau tidak berkurang? Yang bisa terjadi mengenai kedua hal ini hanyalah ada atau tidak ada. Lain halnya kalau iman didefinisikan dengan kepercayaan dalam hati yang dinyatakan dengan lisan dan perbuatan. Dengan definisi ini perbuatan yang muncul dari seorang beriman semestinya adalah ekspresi dari iman. Jika ternyata perbuatan yang muncul dari seseorang berupa perbuatan buruk, maka itu berarti imannya hilang atau berkurang.
Kedua pendapat atau definisi tentang iman berada pada perlawanan yang ekstrem: yang pertama terlalu longgar, sedangkan yang kedua terlalu ketat. Sementara itu, kita tahu dan mau bahwa keberimanan membuat perubahan dalam perilaku orang beriman, tapi orang tidak dapat selalu mengontrol dirinya sehingga semua perbuatannya terus baik. Ada berbagai hal yang menyebabkan seseorang bertindak tidak sesuai dengan apa yang semestinya dilakukannya. Menjadi baik pun ada dalam proses. Orang tidak dapat begitu saja menjadi baik, melainkan perlu latihan, pengawasan diri, kesadaran dan sebagainya yang berasal dari diri sendiri untuk dapat menjadi baik. Juga diperlukan hal-hal dari luar, seperti aturan, sanksi sosial dan sanksi hukum. Di sinilah pendapat kedua tidak dapat dipegangi.
Sebaliknya, jika yang dihitung hanya pembenaran dalam hati dan pernyataan dengan lisan, dapat terjadi keruntuhan moral. Orang dapat mengandalkan iman saja, tanpa merasa harus memperbaiki perbuatan. Lagi pula, kalau perbuatan tidak penting, apa artinya perintah dan anjuran untuk melakukan perbuatan baik (amr bil-maʻrūf) dan larangan dari melakukan perbuatan yang tidak baik (al-nahy ‘an al-munkar)?
Jalan tengah di antara keduanyalah yang semestinya diambil. Iman yang ada dalam hati dan dinyatakan dengan lisan mesti diusahakan untuk diwujudkan dalam perbuatan yang baik dan berguna bagi diri dan sesama. Iman mesti disertai amal saleh dan amal saleh bisa menunjukkan iman. Perbuatan buruk atau dosa bisa menunjukkan ketiadaan atau hilangnya iman, namun tidak selalu. Bisa saja orang lupa, termakan godaan atau terpaksa melakukan perbuatan yang tidak semestinya. Setelah itu ada permintaan maaf, tobat dan/atau hukuman yang dapat menghapus kesalahan.
Ini tidak mesti dikaitkan dengan boleh atau tidak bolehnya orang yang telah berbuat kesalahan besar untuk memegang jabatan pemimpin, karena untuk itu diperlukan pertimbangan yg lebih seksama.
Selanjutnya >>>Awal Munculnya Faham Qadariah dan Faham Jabbariah
*Dosen UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
Pemikiran Islam (10), Abu Hanifah Penganut Faham Murji'ah?
Reviewed by Erhaje88 Blog
on
September 10, 2017
Rating:
No comments:
Erhaje88 tidak bertanggung jawab atas isi komentar yang ditulis. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE