Sidebar Ads

banner image

Pemikiran Islam (4) | Kembali ke Hukum Allah

Oleh: Prof. Muhammad Machasin*

Sebelumnya<<<

Ilmul Yaqin, 'Ainul Yaqin dan Haqqul Yaqin
Menurut Muhammad ‘Ābid al-Jābirī, pemikir Maroko yang meninggal lebih dari enam tahun yang lalu, terdapat tiga “kubu” pengetahuan yang berkembang di dalam dunia Islam:
Pertama, bayānī, adalah pengetahuan yang dikembangkan oleh bangsa Arab-Muslim sendiri dari dan mengenai bayān atau komunike Allah kepada manusia. Kedua, burhānī, yaitu pengetahuan yang bertumpu pada demonstrasi logis atau hujah akal (burhān), berasal dari tradisi Yunani kuna. Ketiga, ‘irfānī, yakni pengetahuan yang bertumpu pada pengalaman bathiniah, berasal dari India-Persia.
Sebenarnya ketiga istilah ini telah dipergunakan di masa lampau oleh kaum Shufi mengenai yaqīn, yakni pengetahuan yang pemiliknya tak dimasuki keraguan sedikit pun mengenai kebenarannya. Dalam pandangan mereka, sebagaimana ditulis oleh Imam ‘Abd al-Karīm bin Hawāzin Abū al-Qāsim al-Qusyairī (376-465/986-1072) dalam bukunya, al-Risālah—sering disebut dengan al-Risālah al-Qusyairiyah—, pengetahuan seperti itu (yaqīn) terbagi menjadi tiga:

Prof Dr KH Muhammad Machasin, Guru Besar Sejarah Kebudayaan Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
1. Yakin ilmu (‘ilm al-yaqīn), yakni yakin yang memenuhi persyaratan burhān atau argumentasi/deminstrasi logis. Kelihatannya yang dimaksudkan adalah keyakinan teoritis yang dideduksikan dari dalil-dalil (akaliah). Dengan kata lain, keyakinan konseptual atau teoritis. Karena itu disebutkan oleh al-Qusyairī bahwa yakin ilmu ini adalah milik orang-orang yang cakap dan biasa menggunakan akal (arbāb al-‘uqūl).

2. Yakin konkret (‘ain al-yaqīn), yakni yakin yang dipahami dari komunike ilahiah (al-bayān). Agak sulit memahami istilah ini, karena ‘ain menunjuk kepada obyek yang konkret, bukan konsep, tetapi bayān memberikan pengertian penjelasan, bukan pengalaman langsung. Namun bagi para Shufi, keyakinan ini adalah keyakinan dari orang-orang yang mempunyai pengetahuan dari wahyu, sunnah atau atsar (aṣḥāb al-‘ulūm).

3. Yakin sejati (ḥaqq al-yaqīn), yakni keyakinan yang diperoleh dari pengalaman langsung. Yang dimaksud oleh kaum Shufi adalah pengalaman batin. Apa yang dialami oleh batin manusia merupakan keyakinan tertinggi yang tidak akan tergoyahkan oleh apa pun. Ini dinyatakan sebagai keyakinan mereka yang mencapai tingkat makrifat (aṣḥāb al-maʻārif).

Di tangan al-Jabirī ketiga istilah ini dipakai untuk menjelaskan tiga kebun atau kubu episteme yang ada dalam sejarah Islam dan sampai sekarang masih bertahan. Kata kubu menggambarkan adanya ruang tertentu dengan aturan main dan penjaga yang siap “bertempur” mempertahankan wilayahnya dari gangguan orang-orang luar. Walaupun tidak selamanya terjadi pertikaian dan perebutan pengaruh atas umat dan dukungan penguasa politik, dapat dilihat terjadinya persaingan itu menguat pada waktu tertentu dan melemah pada waktu yang lain. Pembunuhan Syihāb al-Dīn al-Suhrawardi al-Maqtūl (586/1191) dan Ḥusain bin Manṣūr al-Ḥallāj (309/922) merupakan contoh perbenturan kubu bayāni dan ‘irfāni yang berkelindan dengan kepentingan politik. Penulisan buku Ḥayy bin Yaqẓān oleh Ibn Ṭufail dapat disebut sebagai reaksi kubu burhani atas kubu bayanī, sementara cerita Ibn ‘Arabī tentang Ibn Rusyd yang disebutnya mencari sesuatu dari balik tabir adalah contoh ejekan kubu ‘irfāni atas burhāni.

Sebenarnya ketiganya mesti lebur dalam keutuhan Islam: fondasi kepercayaan kepada komunike Allah yang dipahami dengan nalar yang logis dan koheren, dan pengamalan batin yang memberi makna bagi amalan lahiriah.
Bagaimana kenyataannya sekarang? Jawabannya ada di dalam pengamatan kita yang tidak terkungkung dalam kubu-kubu seperti itu.

Kembali Kepada Hukum Allah
“Tidak ada hukum selain hukum Allah” ( ﻻ ﺣُﻜْﻢَ ﺇﻻ ﻟﻠﻪ , lā ḥukma illā lillāh) atau “Hanya Allahlah pemutus perkara” ( ﻻ ﺣَﻜَﻢ ﺇﻻ ﺍﻟﻠﻪ , lā ḥakama ill-Allāh) adalah kalimat yang banyak diucapkan oleh kaum Khawārij sebagai motto.
Kalimat ini mula-mula diucapkan untuk menentang taḥkīm, yakni penyelesaian perselisihan antara ‘Ali (khalifah keempat di Medinah, kemudian pindah ke Kūfah, Iraq) dan Muʻāwiah (gubernur Syām yang mencakup Syria, Libanon, Palestina, Yordania dan Israel sekarang, dengan ibukota Damaskus) dengan perjanjian perdamaian kedua belah pihak yang diwakili juru runding yang disebut ḥakam. Perselisihan semestinya diselesaikan dengan acuan hukum Allah, demikian mereka berhujah, bukan dengan kesepakatan di antara manusia. Hukum Allah jelas dalam masalah perselisihan itu: ‘Ali adalah Khalifah yang sah, sedangkan Muʻāwiah melawan Khalifah dan karenanya mesti dihukumi dengan hukuman pemberontak. Di dalam disebutkan bahwa orang yang memberontak harus diperangi sampai kembali taat kepada perintah Allah (QS 49/al-Ḥujurāt: 9).
Mereka tidak (mau) melihat kenyataan bahwa perang antara kedua belah pihak sudah berlangsung lebih dari dua bulan dengan tiada kemenangan bagi pihak yang satu atas yang lain. Kemudian, dengan tipu dayanya Muʻawiah berhasil menghentikan gerakan pasukan ‘Ali. Beberapa orang dari pihak pasukan ‘Ali yang nantinya tergabung dalam gerakan Khawārij mendesak ‘Ali untuk menghentikan perang ketika pasukan Muʻāwiah mengangkat mushaf al-Qur’an, karena mengira bahwa lawan mengajak mereka untuk kembali kepada hukum Allah. Ketika kemudian ternyata bahwa penghentian peperangan itu dilanjutkan dengan kesepakatan untuk melakukan arbitrase atau taḥkīm, mereka menolak dan menyerukan moto di atas.

Sebenarnya mereka konsisten dengan prinsip mereka: kembali kepada hukum Allah. Akan tetapi, ketika ternyata apa yang dipahami sebagai hukum Allah itu tidak dijalankan, mereka tidak mau melihat kemungkinan lain, walaupun sudah terbukti bahwa memerangi pemberontak saat itu, yakni Muʻāwiah dan pasukannya, tidak membawa hasil. Apalagi untuk melihat status pemberontak yang disematkan kepada Muʻāwiah. Bukankah kekhalifahan ‘Ali kurang mendapatkan dasar yang kuat karena pemilihannya sebagai Khalifah tidak tanpa persoalan?

Pemilihan itu dilakukan di Medinah dalam kedaruratan akibat terbunuhnya Khalifah ‘Utsman, sementara banyak sahabat Nabi—yang merupakan pemuka masyarakat Muslim—tidak lagi ada di Medinah akibat ekspedisi “militer” ke luar Jazirah Arab yang dilakukan Khalifah ‘Umar dan dilanjutkan oleh Khalifah ‘Utsman. Penduduk Medinah saat itu tidak lagi mewakili umat Islam yang dapat memberikan legitimasi penuh bagi kekhalifahan ‘Ali. Ini dibuktikan dengan perlawanan ‘Ā’isyah-Ṭalḥah-Zubair dan Muʻāwiah-‘Amr bin ‘Āṣ.
(Bersambung)
*Dosen UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
Pemikiran Islam (4) | Kembali ke Hukum Allah Pemikiran Islam (4) | Kembali ke Hukum Allah Reviewed by Erhaje88 Blog on September 06, 2017 Rating: 5

No comments:

Erhaje88 tidak bertanggung jawab atas isi komentar yang ditulis. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Stay Connected

Powered by Blogger.