Sidebar Ads

banner image

Pemikiran Islam (5) Siapa Yang Berhak Menentukan Hukum?

Oleh: PRof. Muhammad Machasin*

Sebelumnya<<<

Peran Penting Petunjuk (as Sunnah) Nabi Dalam Memahami Hukum Allah
Sedikit tentang hukum Allah:
Hukum boleh dipahami sebagai ketentuan yang mengatur atau memberikan ruang yang di dalamnya subyek yang berkenaan boleh berbuat dan batas-batas yang tidak boleh dilanggar; ketentuan ini bersifat kaku, tidak pandang bulu dan berlaku untuk semua tanpa pengecualian. Pengecualian terjadi karena adanya hukum lain yang juga berlaku umum.
Dengan batasan seperti ini, hukum Allah ada dalam beberapa tingkatan. Yang pertama pada tingkatan seluruh wujud; hukum yang berlaku di sini adalah sunnatullah yang disebut juga dengan hukum alam. Bahwa semua makhluq berada sesuai dengan kodratnya: makhluk hidup mengikuti jalan lahir, tumbuh, layu dan musnah; air mengalir ke tempat yang lebih rendah, kecuali kalau ada yang menghalanginya. Kedua, pada tingkatan hubungan antar manusia.
selamanya !
Hukum Allah dan hukum manusia
Sebenarnya manusia termasuk ke dalam subyek hukum alam, tetapi karena adanya kehendak dan kemampuan untuk—sampai batas tertentu—menyiasati hukum alam, kelihatan bahwa berlakunya hukum alam pada sebahagian dari kehidupan manusia tidak sama persis dengan yang berlakunya hukum alam pada umumnya. Pada proses alamiah yang berkaitan dengan tubuh manusia, berlaku hukum alam, sementara pada hal-hal yang berkaitan dengan kehendak dan perbuatannya, berlaku hukum-hukum Allah yang khas untuk manusia, yang boleh disebut hukum sosial. Karena banyaknya manusia dengan aneka ragam kehendak, hukum ini kelihatan tidak kaku seperti pada tingkatan pertama, melainkan luwes, berupa kemungkinan-kem
ungkinan. Misalnya, seseorang tidak mau dipaksa patuh kepada orang lain. Ini hukum alam sosial. Kepatuhan terjadi karena hal-hal “pemaksa”, yang berupa cinta, kasihan, pemahaman, ketakutan, kesamaan tujuan dan harapan akan adanya hasil yang lebih besar dan sebagainya. Sementara itu, kekuatan memaksa ada batasnya, sebagaimana ketakutan orang. Karena itu, penguasa mesti memperhatikan kepentingan rakyatnya, agar kepatuhan mereka lebih tahan lama. Begitu hal-hal yang memaksa rakyat untuk patuh melemah, mereka sangat mungkin akan tidak patuh lagi. Ini hukum alam sosial.
Termasuk di dalam hukum alam sosial ini apa yang dapat dipahami dari hadits Nabi bahwa jiwa bertabiat mengelompok, yang saling memahami akan bergabung, sementara yang tak saling memahami akan bercerai
 ( ﺍﻷﺭﻭﺍﺡ ﺟﻨﻮﺩ ﻣﺠﻨﺪﺓ، ﻓﻤﺎ ﺗﻌﺎﺭﻑ ﻣﻨﻬﺎ ﺍﺋﺘﻠﻒ ﻭﻣﺎ ﺗﻨﺎﻛﺮ ﻣﻨﻬﺎ ﺍﺧﺘﻠﻒ ).

Ketiga, hukum Allah yang bekerja pada tataran perilaku manusia yang dikaitkan dengan keimanan kepada-Nya. Di sini hukum itu berupa ketentuan-ketentuan yang diturunkan Allah kepada umat manusia. Akan tetapi, wahyu Allah yang turun kepada manusia itu terbatas karena sudah selesai proses turunnya, sementara persoalan yang dihadapi manusia terus bertambah. Karena itu diperlukan metodologi untuk memahami pesan dasar yang ada pada wahyu agar dapat memberikan pegangan kepada mereka di mana pun dan kapan pun.
Di sinilah lalu muncul pentingnya petunjuk Nabi yang sejak proses turunnya al-Qur’an sudah memberikan penjelasan dan kadang-kadang perincian, pembatasan pengertian, perluasan makna dan sebagainya. Kemudian datang pula praktik pengamalan generasi awal setelah Nabi wafat, kebiasaan di suatu tempat (‘urf) dan penalaran.
Selain itu, banyak dari teks-teks al-Qur’an mengandung kemungkinan pemahaman yang berbeda-beda. Karena itu diperlukan ijtihad atau usaha keras untuk menangkap ketentuan yang dimaksudkannya. Di sinilah lalu muncul perbedaan pendapat di antara para ulama mengenai ketentuan atau hukum Allah yang berkaitan dengan perbuatan manusia (mukallaf).

Dengan demikian, apa yang disebut dengan hukum Allah pada tingkatan ini adalah pemahaman manusia terhadap firman Allah. Boleh juga dikatakan bahwa yang sering kali disebut hukum Allah dalam hal ini adalah hukum buatan manusia yang didasarkan pada firman Allah atau hukum yang dinisbahkan kepada Allah.

Siapa Yang Berhak Menentukan Hukum?
Kembali kepada Khawārij, selain kegigihan mereka untuk menggembar-gemborkan keharusan untuk berhukum dengan hukum Allah dalam pengertian yang sangat terbatas dengan pemahaman mereka sendiri, mereka menekankan keterkaitan iman dengan perbuatan. Iman dan perbuatan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Iman mesti diwujudkan dalam perbuatan dan perbuatan menunjukkan iman. Iman bertambah dan berkurang sesuai dengan perbuatan. Jika perbuatan rusak, rusak pula iman.
Sebenarnya tidak hanya kaum Khawārij yang berpendapat seperti itu. Di antara ajaran kaum Sunni terdapat rumusan sebagai berikut:
ﺍﻹﻳﻤﺎﻥ ﺍﻻﻋﺘﻘﺎﺩ ﺑﺎﻟﺠﻨﺎﻥ ﻭﺍﻹﻗﺮﺍﺭ ﺑﺎﻟﻠﺴﺎﻥ ﻭﺍﻟﻌﻤﻞ ﺑﺎﻷﺭﻛﺎﻥ
(iman adalah keterikatan dalam hati, pernyataan dengan lidah dan perbuatan dengan organ tubuh).
Akan tetapi, kaum Khawārij menerapkannya dengan sangat kaku, tanpa kompromi dengan keadaan. Pemimpin orang beriman, mereka berpendapat, mestilah orang yang tidak melakukan kesalahan yang akan merusakkan iman, padahal tidak ada orang yang tidak melakukan kesalahan. Kesalahan yang merusakkan iman ini disebut dosa besar (kabīrah, jamak kabā’ir). Kesalahan itu pun mereka definisikan sendiri sesuai dengan pemahaman mereka, kemudian mereka pun sering kali menerapkan hukuman sendiri terhadap orang-orang yang mereka anggap melakukan kesalahan. Contoh yang paling menonjol adalah ketika mereka mempersalahkan ‘Ali, Muʻāwiah dan ‘Amr bin al-‘Āṣ sebagai penyebab kekacauan sehubungan dengan perang Ṣiffīn antara ‘Ali dan Muʻāwiah, lalu memutuskan untuk membunuh mereka bertiga. Dua hal perlu diperhatikan di sini.

Pertama, penilaian mereka bahwa kesalahan ketiga orang ini layak membuat mereka dihukum mati. Siapa yang sebenarnya berhak untuk mengatakan bahwa ketiga orang itu salah? Orang perorang atau siapa? Di dalam al-Qur’an disebutkan agar orang Islam taat kepada Allah, Rasul dan pemangku kepentingan umat Islam (ūlū al-amr minkum); lalu kalau terdapat perselisihan, umat diperintah untuk mengembalikan urusan kepada Allah dan Rasul-Nya. Masalahnya kemudian, siapa yang memutuskan bahwa orang benar-benar kembali kepada Allah dan Rasul-Nya, sementara teks-teks al-Qur’an tidak memberikan rumusan yang jelas dan siap pakai mengenai masalah yang dipersengketakan?

Kedua, pikiran mereka bahwa mereka sendirilah yang mesti melaksanakan keputusan itu. Hal ini berasal dari kenyataan bahwa kebanyakan dari mereka berasal dari suku-suku pengembara yang sedikit sekali mengenal hukum. Di daerah yang di dalamnya tidak ada sistem hukum, orang bisa saja melakukan hal-hal yang menurutnya mesti dilakukan untuk menjaga kepentingannya dan sesuai dengan pertimbangannya sendiri. Orang tidak merasakan perlunya sistem hukum yang melindungi individu dan masyarakat, melainkan kekuatan—diri sendiri, kelompok atau gabungan beberapa kelompok—fisik dan/atau senjata serta kelicikan. Tindakan main hakim sendiri ini, walaupun mungkin didasarkan pada bukti-bukti yang dapat dikatakan benar, akan merusak sistem hukum.
Selanjutntnya >>>Kaum Khawarij dan Permasalahannya

*Dosen di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
Pemikiran Islam (5) Siapa Yang Berhak Menentukan Hukum? Pemikiran Islam (5) Siapa Yang Berhak Menentukan Hukum? Reviewed by Erhaje88 Blog on September 07, 2017 Rating: 5

No comments:

Erhaje88 tidak bertanggung jawab atas isi komentar yang ditulis. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Stay Connected

Powered by Blogger.