Oleh: Mohamad Sobary
DILIHAT dari sudut ideologi–apapun ideologi yang kita maksudkan–negara itu penting. Supaya lebih jelas harus ditegaskan, kedudukan negara sangat penting.
Bisa ditambahkan: tingkat pentingnya bukan periferal tetapi sangat sangat sentral. Tidak main-main, dan sangat mendasar. Beberapa kalangan di dalam masyarakat, terutama kalangan militer, tentara, berbicara tentang harga mati.
Negara ini telah mengambil bentuk “kesatuan” dan maknanya “kesatuan” itu jangan lagi menjadi persoalan. Harga mati tak bisa ditawar lagi. Kesatuan ya kesatuan. Bung Karno, tokoh yang lebih besar daripada posisinya sebagai Presiden pertama negeri ini, mati-matian selama hidupnya mengusahakan terciptanya “kesatuan” tadi.
Bung Karno kemudian “mengabdi” pada “kesatuan”. Maksudnya kesatuan bangsa. Hidupnya untuk “kesatuan” itu. Dan kemudian disebut Bapak Pemersatu Bangsa. Sikap ini menjadi sejenis keputusan politik. Dan kalangan Tentara Nasional Indonesia, TNI, membela dan mewujudkannya. Cara pembelaannya menjadi doktrin ketentaraan: siap mati membela negara.
Siap mati. Apa yang kurang dilihat dari sudut loyalitas? Apa yang kurang dalam membela makna loyalitas itu? Mati menjadi bayaran, atau taruhan. Apa yang kurang dilihat dari segi keluhuran yang bersifat patriotik? Kurang cinta pada negara dalam segi apa lagi?
Kelompok lain, atau individu lain, yang tak punya organisasi seperti tentara, juga punya cinta. Kita tahu di sini maksudnya cinta pada negara tadi. Cinta mereka serius. Seserius cinta tentara yang paling tegas menetapkan harga mati tadi.
Para pucuk pimpinan tentara, yang berdinas di dunia ketentaraan maupun yang mengabdi di wilayah pengabdian sipil, niscaya paham sepaham-pahamnya bahwa makna ”kesatuan” yang kita “sucikan” sebagai harga yang tak tersentuh, tak boleh ditawar-tawar lagi, diam-diam saat ini dalam situasi tak mengenakkan. Bahkan, boleh dibilang sangat tak mengenakkan dan karena itu barang kali bisa disebut dalam ancaman.
Ada kelompok di dalam masyarakat yang berpegang pada ideologi baru, yang menggoyah-goyah harga mati itu. Ideologi mereka merongrong ideologi kita bersama.
Kekuatan baru itu pelan-pelan hadir di tengah kita dan mau mengusir kita. Padahal, kita ini Tuan Rumah yang bermartabat. Tuan Rumah mau diusir? Ini fitnah dan ancaman nyata yang berbahaya.
Kalau kita berbicara lebih jauh tentang ideologi, jelas akan terlalu panjang. Gagasan itu tak bisa ditampung di sini. Cukup buat sementara dikatakan–dan kita semua tahu–bahwa ada ideologi yang meremehkan kesatuan tersebut.
Artinya, ideologi itu meremehkan negara karena dasar dan pandangan hidup kenegaraan kita, Pancasila, hanya buatan manusia. Mereka ingin menampilkan “Republik Tuhan” di muka bumi.
Selain watak ideologis yang meremehkan “kesatuan” tadi, saat ini muncul kekuatan kecil-kecil yang gigih melancarkan fitnah pada pihak lain. Fitnahnya bervariasi. Pihak lain disebut PKI.
Presiden Jokowi yang mencicipi pertama kali fitnah itu dalam kampanye pemilihan calon presiden dua tahun lalu. Tapi beliau bilang “ra popo”. Itu sikap politik pribadi beliau. Tapi, saat ini fitnah itu gentayangan di media sosial. Ibarat virus, fitnah ini menyebar luas dan mengapa belum terdengar adanya langkah tegas menghentikannya?
Tak pernah ada yang bisa menjelaskan bagaimana hubungan antara kekuatan ideologis keagamaan di atas, dengan fitnah yang memojokkan pihak lain sebagai PKI. Diperlukan suatu kajian akademik yang mendalam untuk memahami hubungan kausalitas–jika ada–antara keduanya.
Jika kita boleh mempercayai “bau”, niscaya terasa adanya “bau” ideologi keagamaan yang dipakai untuk “mem-PKI-kan” pihak lain tadi.
Calon pemimpin nasional di-PKI-kan supaya tak terpilih. Calon gubernur––bisa juga calon bupati–atau calon-calon lain, diserang dengan kekuatan fitnah ideologis seperti itu supaya mereka celaka.
Fitnah macam itu membuat citra buruk bagi yang bersangkutan. Kapasitas hebat menjadi tak berguna. Kejujuran yang jelas dan agung tak diberi makna. Pendeknya, orang hebat tak bisa dipilih karena fitnah macam itu.
Dunia intelijen niscaya paham persoalan ini dan bisa melakukan suatu langkah preventif yang luhur demi menjaga utuhnya “kesatuan” tadi. Apa fitnah ini mengancam “kesatuan”?
Mungkin tidak secara langsung. Kalau semua pihak disebut PKI, maka hanya yang bukan PKI yang boleh dipilih dan yang bukan PKI itu siapa yang mereka maksud kalau bukan saudara mereka sendiri yang tak menyukai Pancasila tadi?
“Kesatuan" terancam oleh langkah ideologis yang monolitik, yang benar sendiri, dan memandang yang lain, bagian dari tradisi kenegaraan yang telah berakar mendalam, dirombak. Hanya mereka yang boleh berkuasa. Di “kesatuan” itu terletak. “Kesatuan” akan dianggap almarhum.
Ini zaman fitnah yang mengancam dan membikin hidup tak lagi terasa nyaman. Hidup didorong oleh niat buruk berkuasa tanpa mau berbagi pada yang lain, tanpa mau menggunakan konvensi kenegaraan yang sudah mapan.
Kelihatannya, konvensi, yang lalu-lalu, dan telah menjadi suatu tradisi, bukan kekayaan, melainkan dianggap sampah yang wajib dibuang. Bagi kita, tradisi itu luhur karena di sana akumulasi pengalaman–baik maupun buruk–kita terhimpun. Dari sana kita belajar memetik pengalaman sebagai guru.
Kecuali fitnah, zaman ini juga diwarnai kebencian yang ditabur di sana sini, orang bebas membenci orang lain, satu pihak begitu bebas membenci pihak lain. Kepentingannya politik, dan politik.
Kita tidak tahu siapa di balik ini semua, tetapi diduga keras adanya pihak yang dengan nikmat menunggangi situasi berwarna kebencian ini. Memprovokasi pihak-pihak lain untuk membenci suatu pihak atau seseorang, merupakan tindakan tak terpuji.
Mereka ingin hidup sendiri, dan tak membutuhkan dukungan pihak lain, tanpa bersatu dengan yang lain? Ini bentuk fitnah yang lain lagi. Dia memanggul dosa lima perkara: satu, dosa pada orang lain; dua, dosa pada masyarakat; tiga, dosa pada negara; empat, dosa pada Tuhan Yang Maha Suci; lima, dosa dirinya sendiri. Dosa yang lain bisa diampuni, mungkin.
Tapi dosa pada diri sendiri lebih mendalam, lebih parah dan berbahaya bagi hidupnya. Siapa yang bisa mengampuni dosa pada diri sendiri?
Fitnah dan kebencian tak bisa dibiarkan. Keluhuran budi kita, secara pribadi, boleh mengabaikannya. Boleh saja yang difitnah tak menanggapinya. Tapi, pejabat negara harus bertindak atas nama dan demi negara.
Tindakan harus diambil demi mengembalikan suasana bersatu, aman dan damai dalam pangkuan negara yang kesatuannya telah dibikin seolah-olah suci dan tak tersentuh. Ini harga yang tak boleh ditawar.
Zaman fitnah politik macam ini tak boleh menandai suatu momentum sejarah dalam hidup kita. Zaman yang kita perjuangan jelas zaman keemasan, yang membuat negeri ini menjadi rumah besar yang semua warganya berbahagia, tertib dan damai, sedamai-damainya: tanpa kebencian, tanpa fitnah.
(Facebook/mohamad.sobary)
DILIHAT dari sudut ideologi–apapun ideologi yang kita maksudkan–negara itu penting. Supaya lebih jelas harus ditegaskan, kedudukan negara sangat penting.
Bisa ditambahkan: tingkat pentingnya bukan periferal tetapi sangat sangat sentral. Tidak main-main, dan sangat mendasar. Beberapa kalangan di dalam masyarakat, terutama kalangan militer, tentara, berbicara tentang harga mati.
Negara ini telah mengambil bentuk “kesatuan” dan maknanya “kesatuan” itu jangan lagi menjadi persoalan. Harga mati tak bisa ditawar lagi. Kesatuan ya kesatuan. Bung Karno, tokoh yang lebih besar daripada posisinya sebagai Presiden pertama negeri ini, mati-matian selama hidupnya mengusahakan terciptanya “kesatuan” tadi.
Bung Karno kemudian “mengabdi” pada “kesatuan”. Maksudnya kesatuan bangsa. Hidupnya untuk “kesatuan” itu. Dan kemudian disebut Bapak Pemersatu Bangsa. Sikap ini menjadi sejenis keputusan politik. Dan kalangan Tentara Nasional Indonesia, TNI, membela dan mewujudkannya. Cara pembelaannya menjadi doktrin ketentaraan: siap mati membela negara.
Siap mati. Apa yang kurang dilihat dari sudut loyalitas? Apa yang kurang dalam membela makna loyalitas itu? Mati menjadi bayaran, atau taruhan. Apa yang kurang dilihat dari segi keluhuran yang bersifat patriotik? Kurang cinta pada negara dalam segi apa lagi?
Kelompok lain, atau individu lain, yang tak punya organisasi seperti tentara, juga punya cinta. Kita tahu di sini maksudnya cinta pada negara tadi. Cinta mereka serius. Seserius cinta tentara yang paling tegas menetapkan harga mati tadi.
Para pucuk pimpinan tentara, yang berdinas di dunia ketentaraan maupun yang mengabdi di wilayah pengabdian sipil, niscaya paham sepaham-pahamnya bahwa makna ”kesatuan” yang kita “sucikan” sebagai harga yang tak tersentuh, tak boleh ditawar-tawar lagi, diam-diam saat ini dalam situasi tak mengenakkan. Bahkan, boleh dibilang sangat tak mengenakkan dan karena itu barang kali bisa disebut dalam ancaman.
Ada kelompok di dalam masyarakat yang berpegang pada ideologi baru, yang menggoyah-goyah harga mati itu. Ideologi mereka merongrong ideologi kita bersama.
Kekuatan baru itu pelan-pelan hadir di tengah kita dan mau mengusir kita. Padahal, kita ini Tuan Rumah yang bermartabat. Tuan Rumah mau diusir? Ini fitnah dan ancaman nyata yang berbahaya.
Kalau kita berbicara lebih jauh tentang ideologi, jelas akan terlalu panjang. Gagasan itu tak bisa ditampung di sini. Cukup buat sementara dikatakan–dan kita semua tahu–bahwa ada ideologi yang meremehkan kesatuan tersebut.
Artinya, ideologi itu meremehkan negara karena dasar dan pandangan hidup kenegaraan kita, Pancasila, hanya buatan manusia. Mereka ingin menampilkan “Republik Tuhan” di muka bumi.
Selain watak ideologis yang meremehkan “kesatuan” tadi, saat ini muncul kekuatan kecil-kecil yang gigih melancarkan fitnah pada pihak lain. Fitnahnya bervariasi. Pihak lain disebut PKI.
Presiden Jokowi yang mencicipi pertama kali fitnah itu dalam kampanye pemilihan calon presiden dua tahun lalu. Tapi beliau bilang “ra popo”. Itu sikap politik pribadi beliau. Tapi, saat ini fitnah itu gentayangan di media sosial. Ibarat virus, fitnah ini menyebar luas dan mengapa belum terdengar adanya langkah tegas menghentikannya?
Tak pernah ada yang bisa menjelaskan bagaimana hubungan antara kekuatan ideologis keagamaan di atas, dengan fitnah yang memojokkan pihak lain sebagai PKI. Diperlukan suatu kajian akademik yang mendalam untuk memahami hubungan kausalitas–jika ada–antara keduanya.
Jika kita boleh mempercayai “bau”, niscaya terasa adanya “bau” ideologi keagamaan yang dipakai untuk “mem-PKI-kan” pihak lain tadi.
Calon pemimpin nasional di-PKI-kan supaya tak terpilih. Calon gubernur––bisa juga calon bupati–atau calon-calon lain, diserang dengan kekuatan fitnah ideologis seperti itu supaya mereka celaka.
Fitnah macam itu membuat citra buruk bagi yang bersangkutan. Kapasitas hebat menjadi tak berguna. Kejujuran yang jelas dan agung tak diberi makna. Pendeknya, orang hebat tak bisa dipilih karena fitnah macam itu.
Dunia intelijen niscaya paham persoalan ini dan bisa melakukan suatu langkah preventif yang luhur demi menjaga utuhnya “kesatuan” tadi. Apa fitnah ini mengancam “kesatuan”?
Mungkin tidak secara langsung. Kalau semua pihak disebut PKI, maka hanya yang bukan PKI yang boleh dipilih dan yang bukan PKI itu siapa yang mereka maksud kalau bukan saudara mereka sendiri yang tak menyukai Pancasila tadi?
“Kesatuan" terancam oleh langkah ideologis yang monolitik, yang benar sendiri, dan memandang yang lain, bagian dari tradisi kenegaraan yang telah berakar mendalam, dirombak. Hanya mereka yang boleh berkuasa. Di “kesatuan” itu terletak. “Kesatuan” akan dianggap almarhum.
Ini zaman fitnah yang mengancam dan membikin hidup tak lagi terasa nyaman. Hidup didorong oleh niat buruk berkuasa tanpa mau berbagi pada yang lain, tanpa mau menggunakan konvensi kenegaraan yang sudah mapan.
Kelihatannya, konvensi, yang lalu-lalu, dan telah menjadi suatu tradisi, bukan kekayaan, melainkan dianggap sampah yang wajib dibuang. Bagi kita, tradisi itu luhur karena di sana akumulasi pengalaman–baik maupun buruk–kita terhimpun. Dari sana kita belajar memetik pengalaman sebagai guru.
Kecuali fitnah, zaman ini juga diwarnai kebencian yang ditabur di sana sini, orang bebas membenci orang lain, satu pihak begitu bebas membenci pihak lain. Kepentingannya politik, dan politik.
Kita tidak tahu siapa di balik ini semua, tetapi diduga keras adanya pihak yang dengan nikmat menunggangi situasi berwarna kebencian ini. Memprovokasi pihak-pihak lain untuk membenci suatu pihak atau seseorang, merupakan tindakan tak terpuji.
Mereka ingin hidup sendiri, dan tak membutuhkan dukungan pihak lain, tanpa bersatu dengan yang lain? Ini bentuk fitnah yang lain lagi. Dia memanggul dosa lima perkara: satu, dosa pada orang lain; dua, dosa pada masyarakat; tiga, dosa pada negara; empat, dosa pada Tuhan Yang Maha Suci; lima, dosa dirinya sendiri. Dosa yang lain bisa diampuni, mungkin.
Tapi dosa pada diri sendiri lebih mendalam, lebih parah dan berbahaya bagi hidupnya. Siapa yang bisa mengampuni dosa pada diri sendiri?
Fitnah dan kebencian tak bisa dibiarkan. Keluhuran budi kita, secara pribadi, boleh mengabaikannya. Boleh saja yang difitnah tak menanggapinya. Tapi, pejabat negara harus bertindak atas nama dan demi negara.
Tindakan harus diambil demi mengembalikan suasana bersatu, aman dan damai dalam pangkuan negara yang kesatuannya telah dibikin seolah-olah suci dan tak tersentuh. Ini harga yang tak boleh ditawar.
Zaman fitnah politik macam ini tak boleh menandai suatu momentum sejarah dalam hidup kita. Zaman yang kita perjuangan jelas zaman keemasan, yang membuat negeri ini menjadi rumah besar yang semua warganya berbahagia, tertib dan damai, sedamai-damainya: tanpa kebencian, tanpa fitnah.
(Facebook/mohamad.sobary)
Zaman Fitnah Politik
Reviewed by Erhaje88 Blog
on
September 21, 2017
Rating:
No comments:
Erhaje88 tidak bertanggung jawab atas isi komentar yang ditulis. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE