Baru-baru ini, Bupati Tegal Enthus Susmono,
berpidato di depan makam Sultan Amangkurat I dalam acara jamasan. Bupati yang merupakan seorang dalang itu mencanangkan nama kabupaten yang dipimpinnya menjadi Tegal Hadiningrat agar lebih terjalin hubungan erat antara Tegal dengan Surakarta Hadiningrat.
“Ini hasil pertemuan dengan keluarga Keraton Surakarta Hadiningrat,” katanya.
Enthus yang selalu mengidentifikasi dirinya sebagai santri dan diusung Partai Kebangkitan Bangsa, agaknya perlu membaca lebih banyak riwayat Amangkurat I.
Dendam Berkarat yang Menjadikannya Biadab
Sriwijaya, Majapahit dan Mataram adalah kerajaan nusantara yang pernah memiliki wilayah yang sangat luas. Kerajaan Mataram memang tidak seluas Sriwijaya dan Majapahit, tapi wilayahnya mencakup hingga pulau Jawa dan Madura. Sultan Agung Prabu Hanyokrokusumo atau lebih dikenal dengan Sultan Agung merupakan raja Mataram terbesar yang bercita-cita mempersatukan nusantara. Pada masanya, kekuasaan Mataram mencapai Palembang di Sumatera dan Sukadana di Kalimantan. Sultan Agung juga menjalin hubungan diplomatic dengan Makassar, kerajaan terkuat di Sulawesi saat itu.
Sultan Agung berhasil menjadikan Mataram sebagai kerajaan besar yang tidak hanya dibangun di atas pertumpahan darah dan kekerasan, namun melalui kebudayaan rakyat yang adiluhung dan mengenalkan sistem-sistem pertanian. Sultan Agung menaruh perhatian besar pada kebudayaan Mataram. Ia memadukan Kalender Hijriyah yang dipakai di pesisir utara dengan Kalender Saka yang masih dipakai di pedalaman. Hasilnya adalah terciptanya Kalender Jawa Islam sebagai upaya pemersatuan rakyat Mataram. Selain itu Sultan Agung juga dikenal sebagai penulis naskah berbau mistik, berjudul Sastra Gending. (sumber: Wikipedia)
Namun sepeninggal Sultan Agung, Mataram mengalami kemunduran hingga masa keruntuhannya. Sunan Amangkurat I, penerus Sultan Agung, justru membawa Mataram pada sejarahnya yang paling kelam. Dalam kitab Babad Tanah Jawi karangan Meinsma, masa pemerintahan Amangkurat I digambarkan sebagai berikut:
“Ketika itu raja bertindak sekehendaknya sendiri, tidak seperti biasanya. Ia sering melakukan tindak kekerasan, dan selalu bermain siasat. Para Bupati, para mantri dan keluarga istana bertindak semaunya dengan menyalah-gunakan kedudukan mereka. Tertib bernegara rusak. Seluruh penduduk Mataram dirundung ketakutan. Sering terjadi gerhadan bulan dan matahari. Hujan menyalahi musim dan bintang berekor terlihat setiap malam. Terjadi pula hujan abu dan gempa bumi. Banyak pertanda jelek menampakkan diri. Ini semua petunjuk bahwa negara akan rusak.”
Ada empat episode yang ingin saya tuliskan, yang menandai sejarah kelam Sunan Amangkurat ketika memerintah Mataram.
1.Pemindahan ibu kota dari Karta ke Plered
Sifat-sifat otoriter Amangkurat telah terlihat setelah ia terpilih jadi Sultan Mataram tahun 1646 M. Pertama-tama ia memindahkan ibukota kerajaan dari Kota Gede ke Plered tahun 1647 M. Kepada rakyatnya ia memerintahkan “Kamu semua harus membuat batu bata, karena saya mau angkat kaki dari Karta, saya ingin membangun kota di Plered” (Meinsma, 1874). Berbeda dengan keraton di Karta (Kota Gede) yang terbuat dari kayu, kali ini Amangkurat I membangun Keraton yang terbuat dari batu bata dan dikelilingi parit besar. Pada tahun 1668, ketika utusan Belanda, Abraham Verspreet mengunjungi keraton Plered, ia menggambarkan keraton tersebut sebagai sebuah pulau di tengah danau.
Pemindahan ibukota dengan bentuk keratonnya yang dikelilingi parit besar ini di kemudian hari ternyata secara tepat menggambarkan kepribadian Amangkurat yang terasing dari rakyatnya. Hal ini juga menandakan ketakutannya yang akut akan keamanan dirinya, yang sebenarnya merupakan buah dari pemerintahannya yang otoriter dan kekejamannya yang tak terperikan.
Sebuah laporan umum VOC di Batavia tahun 1659, menyatakan keyakinannya bahwa apabila peperangan terjadi, Sang Sultan “tidak akan mudah meninggalkan istana Mataram karena di luar istana itu ia tidak merasa aman; dan ia pun tidak akan mempercayakan sebagian kekuatan tentaranya kepada pembesar manapun, karena kelaliman pemerintahan yang dilakukannya menjadikan ia ditakuti dan dibenci setiap orang”. (sumber: Sejarah Gelap Mataram)
2.Korban-korban Pemerintahannya yang Otoriter
Masa pemerintahan Sunan Amangkurat I dipenuhi dengan drama politik yang mencekam. Siasat dan intrik politik, pengkhianatan, pembunuhan dan pemberontakan terjadi silih berganti. Pada masanya, banyak pembunuhan dilakukan untuk membungkam siapa saja yang menentang pemerintahannya. Sebaliknya, banyak pula pemberontakan yang dilakukan oleh penguasa lokal yang sebelumnya setia di bawah pemerintahan Sultan Agung.
Korban pertama pembunuhan yang dilakukan di awal pemerintahannya adalah Tumenggung Wiraguna, yang sebenarnya merupakan abdi dalem senior di masa Sultan Agung. Pada awal pemerintahannya, Amangkurat mengirim Tumenggung Wiraguna untuk menumpas ekspansi pasukan Bali di Blambangan. Di tempat yang jauh dari keluarga dan para pendukungnya itu, Wiraguna dibunuh. Tidak hanya itu, Amangkurat juga memerintahkan untuk membunuh semua yang terlibat mendukung Tumenggung Wiraguna.Perintah tersebut mengakibatkan terbunuhnya banyak wanita dan anak-anak yang tak bersalah, termasuk keluarga Tumenggung.
Adik Amangkurat, Pangeran Alit merasa turut terancam karena sebenarnya ia termasuk ke dalam kelompok Tumenggung Wiraguna. Ketika seluruh teman-teman terbaiknya telah dibantai, Pangeran Alit mulai mendekati ulama-ulama untuk meminta perlindungan. Di saat yang sama ia mengumpulkan kawan-kawannya untuk melancarkan serangan terhadap sang Kakak. Dalam sebuah pertempuran yang tak seimbang, pasukan Amangkurat dengan mudah menghabisi pasukan pendukung Pangeran Alit, hingga menyisakan Pangeran Alit seorang. Menurut catatan Belanda yang dipercaya, Amangkurat akhirnya membiarkan para mantrinya untuk membunuh Pangeran Alit atas alasan “pembelaan diri”. Dengan itu bersihlah tangan sang Amangkurat dari darah adiknya sendiri.
Pada tahun 1659, Amangkurat kembali melakukan pembunuhan. Kali ini terhadap mertuanya sendiri, Pangeran Pekik beserta anggota keluarganya yang dituduh merencanakan pembunuhan terhadap Amangkurat. Pangeran Pekik dari Surabaya dibantai bersama dengan sebagian besar anggota keluarganya pada 1659. Paman raja pun, yang merupakan saudara laki-laki Sultan Agung, Pangeran Purbaya, hampir saja dibunuh. Beruntung ibu suri kerajaan turun tangan untuk menyelamatkannya.
3.Ribuan Santri dan Ulama Dibantai
Kekejaman Amangkurat yang semakin merajalela tak hanya memperbanyak musuh dan melahirkan pemberontakan penguasa-penguasa lokal, namun juga menumbuhkan perlawanan rakyat. Dan perlawanan rakyat semakin menguat dengan dukungan moral dari para ulama. Terlebih, kekuasaan Amangkurat yang berkolaborasi dengan kepentingan VOC, semakin menambah kebencian dan perlawanan rakyat, yang didukung para ulama.
Puncaknya, karena perlindungan para ulama kepada Pangeran Alit, maka Amangkurat beralih mengarahkan permusuhannya kepada para ulama. Amangkurat I mendaftar para ulama terkemuka beserta keluarga dan pengikutnya. Mereka kemudian dikumpulkan di halaman istana lalu dibantai. Menurut seorang pejabat VOC Rijklof van Goens, antara 5000 dan 6000 orang pria, wanita, dan anak-anak tewas dalam peristiwa itu. (sumber: Amangkurat I, Raja Tiran dari Tanah Jawa)
4.Kematiannya yang Tragis
Di antara pemberontakan-pemberontakan yang muncul karena penentangannya terhadap kekuasaan Amangkurat, muncul kekuatan baru yang dipimpin Trunojoyo dari Madura menentang kekuasaan Mataram. Kekuatan Trunojoyo bertambah kuat seiring meningkatnya ketidakpuasan para pejabat dan masyarakat Mataram terhadap Amangkurat. Untuk menghadapi kekuatan Trunojoyo, Amangkurat mulai mendekati VOC untuk membantunya. Pada bulan Desember 1676 VOC mengutus Speelman ke Jepara dengan 1200 orang tentara untuk membantu angkatan perang Amangkurat. Sebagai gantinya, VOC menuntut Amangkurat mengganti kerugian perang dan memberikan sebagian daerah kekuasaanya.
Singkatnya, tanggal 28 Juni 1677 pasukan Trunajaya berhasil mengalahkan kekuatan Mataram-VOC dan memasuki keraton Plered. Namun sebelumnya, Amangkurat I beserta beberapa anggota keluarga dan putranya telah melarikan diri dari Keraton, dan bermaksud menuju Batavia untuk berlindung ke Belanda. Sialnya, di Karanganyar, rombongan raja dirampok oleh warga desa yang tidak tahu identitas mantan junjungannya tersebut. Ia pun harus rela menyerahkan emas dan uang yang dibawanya.
Dalam pelariannya, Amangkurat I jatuh sakit. Menurut Babad Tanah Jawi, kematiannya dipercepat oleh air kelapa beracun pemberian putranya, Mas Rahmat. Meski demikian, ia tetap menunjuk Mas Rahmat sebagai raja selanjutnya, tapi disertai kutukan bahwa keturunannya kelak tidak ada yang menjadi raja, kecuali satu orang dan itu pun hanya sebentar. Akhirnya Amangkurat I meninggal di desa Wanayasa, Banyumas. Raja yang semasa jayanya pernah membantai ribuan ulama itu, dishalatkan lalu dibawa ke Tegalwangi. Pada 13 Juli 1677, Amangkurat I dikebumikan di Tegalwangi. Tiga belas serdadu VOC menghadiri pemakamannya.
JAMASAN - Bupati Tegal Enthus Susmono saat sambutan dalam acara Jamasan Makam Amangkurat Agung di Desa Tegalwangi, Kecamatan Talang, Kabupaten Tegal, kemarin. (yerry novel/radar slawi)
“Ini hasil pertemuan dengan keluarga Keraton Surakarta Hadiningrat,” katanya.
Enthus yang selalu mengidentifikasi dirinya sebagai santri dan diusung Partai Kebangkitan Bangsa, agaknya perlu membaca lebih banyak riwayat Amangkurat I.
Dendam Berkarat yang Menjadikannya Biadab
Sriwijaya, Majapahit dan Mataram adalah kerajaan nusantara yang pernah memiliki wilayah yang sangat luas. Kerajaan Mataram memang tidak seluas Sriwijaya dan Majapahit, tapi wilayahnya mencakup hingga pulau Jawa dan Madura. Sultan Agung Prabu Hanyokrokusumo atau lebih dikenal dengan Sultan Agung merupakan raja Mataram terbesar yang bercita-cita mempersatukan nusantara. Pada masanya, kekuasaan Mataram mencapai Palembang di Sumatera dan Sukadana di Kalimantan. Sultan Agung juga menjalin hubungan diplomatic dengan Makassar, kerajaan terkuat di Sulawesi saat itu.
Sultan Agung berhasil menjadikan Mataram sebagai kerajaan besar yang tidak hanya dibangun di atas pertumpahan darah dan kekerasan, namun melalui kebudayaan rakyat yang adiluhung dan mengenalkan sistem-sistem pertanian. Sultan Agung menaruh perhatian besar pada kebudayaan Mataram. Ia memadukan Kalender Hijriyah yang dipakai di pesisir utara dengan Kalender Saka yang masih dipakai di pedalaman. Hasilnya adalah terciptanya Kalender Jawa Islam sebagai upaya pemersatuan rakyat Mataram. Selain itu Sultan Agung juga dikenal sebagai penulis naskah berbau mistik, berjudul Sastra Gending. (sumber: Wikipedia)
Namun sepeninggal Sultan Agung, Mataram mengalami kemunduran hingga masa keruntuhannya. Sunan Amangkurat I, penerus Sultan Agung, justru membawa Mataram pada sejarahnya yang paling kelam. Dalam kitab Babad Tanah Jawi karangan Meinsma, masa pemerintahan Amangkurat I digambarkan sebagai berikut:
“Ketika itu raja bertindak sekehendaknya sendiri, tidak seperti biasanya. Ia sering melakukan tindak kekerasan, dan selalu bermain siasat. Para Bupati, para mantri dan keluarga istana bertindak semaunya dengan menyalah-gunakan kedudukan mereka. Tertib bernegara rusak. Seluruh penduduk Mataram dirundung ketakutan. Sering terjadi gerhadan bulan dan matahari. Hujan menyalahi musim dan bintang berekor terlihat setiap malam. Terjadi pula hujan abu dan gempa bumi. Banyak pertanda jelek menampakkan diri. Ini semua petunjuk bahwa negara akan rusak.”
Ada empat episode yang ingin saya tuliskan, yang menandai sejarah kelam Sunan Amangkurat ketika memerintah Mataram.
1.Pemindahan ibu kota dari Karta ke Plered
Sifat-sifat otoriter Amangkurat telah terlihat setelah ia terpilih jadi Sultan Mataram tahun 1646 M. Pertama-tama ia memindahkan ibukota kerajaan dari Kota Gede ke Plered tahun 1647 M. Kepada rakyatnya ia memerintahkan “Kamu semua harus membuat batu bata, karena saya mau angkat kaki dari Karta, saya ingin membangun kota di Plered” (Meinsma, 1874). Berbeda dengan keraton di Karta (Kota Gede) yang terbuat dari kayu, kali ini Amangkurat I membangun Keraton yang terbuat dari batu bata dan dikelilingi parit besar. Pada tahun 1668, ketika utusan Belanda, Abraham Verspreet mengunjungi keraton Plered, ia menggambarkan keraton tersebut sebagai sebuah pulau di tengah danau.
Pemindahan ibukota dengan bentuk keratonnya yang dikelilingi parit besar ini di kemudian hari ternyata secara tepat menggambarkan kepribadian Amangkurat yang terasing dari rakyatnya. Hal ini juga menandakan ketakutannya yang akut akan keamanan dirinya, yang sebenarnya merupakan buah dari pemerintahannya yang otoriter dan kekejamannya yang tak terperikan.
Sebuah laporan umum VOC di Batavia tahun 1659, menyatakan keyakinannya bahwa apabila peperangan terjadi, Sang Sultan “tidak akan mudah meninggalkan istana Mataram karena di luar istana itu ia tidak merasa aman; dan ia pun tidak akan mempercayakan sebagian kekuatan tentaranya kepada pembesar manapun, karena kelaliman pemerintahan yang dilakukannya menjadikan ia ditakuti dan dibenci setiap orang”. (sumber: Sejarah Gelap Mataram)
2.Korban-korban Pemerintahannya yang Otoriter
Masa pemerintahan Sunan Amangkurat I dipenuhi dengan drama politik yang mencekam. Siasat dan intrik politik, pengkhianatan, pembunuhan dan pemberontakan terjadi silih berganti. Pada masanya, banyak pembunuhan dilakukan untuk membungkam siapa saja yang menentang pemerintahannya. Sebaliknya, banyak pula pemberontakan yang dilakukan oleh penguasa lokal yang sebelumnya setia di bawah pemerintahan Sultan Agung.
Korban pertama pembunuhan yang dilakukan di awal pemerintahannya adalah Tumenggung Wiraguna, yang sebenarnya merupakan abdi dalem senior di masa Sultan Agung. Pada awal pemerintahannya, Amangkurat mengirim Tumenggung Wiraguna untuk menumpas ekspansi pasukan Bali di Blambangan. Di tempat yang jauh dari keluarga dan para pendukungnya itu, Wiraguna dibunuh. Tidak hanya itu, Amangkurat juga memerintahkan untuk membunuh semua yang terlibat mendukung Tumenggung Wiraguna.Perintah tersebut mengakibatkan terbunuhnya banyak wanita dan anak-anak yang tak bersalah, termasuk keluarga Tumenggung.
Adik Amangkurat, Pangeran Alit merasa turut terancam karena sebenarnya ia termasuk ke dalam kelompok Tumenggung Wiraguna. Ketika seluruh teman-teman terbaiknya telah dibantai, Pangeran Alit mulai mendekati ulama-ulama untuk meminta perlindungan. Di saat yang sama ia mengumpulkan kawan-kawannya untuk melancarkan serangan terhadap sang Kakak. Dalam sebuah pertempuran yang tak seimbang, pasukan Amangkurat dengan mudah menghabisi pasukan pendukung Pangeran Alit, hingga menyisakan Pangeran Alit seorang. Menurut catatan Belanda yang dipercaya, Amangkurat akhirnya membiarkan para mantrinya untuk membunuh Pangeran Alit atas alasan “pembelaan diri”. Dengan itu bersihlah tangan sang Amangkurat dari darah adiknya sendiri.
Pada tahun 1659, Amangkurat kembali melakukan pembunuhan. Kali ini terhadap mertuanya sendiri, Pangeran Pekik beserta anggota keluarganya yang dituduh merencanakan pembunuhan terhadap Amangkurat. Pangeran Pekik dari Surabaya dibantai bersama dengan sebagian besar anggota keluarganya pada 1659. Paman raja pun, yang merupakan saudara laki-laki Sultan Agung, Pangeran Purbaya, hampir saja dibunuh. Beruntung ibu suri kerajaan turun tangan untuk menyelamatkannya.
3.Ribuan Santri dan Ulama Dibantai
Kekejaman Amangkurat yang semakin merajalela tak hanya memperbanyak musuh dan melahirkan pemberontakan penguasa-penguasa lokal, namun juga menumbuhkan perlawanan rakyat. Dan perlawanan rakyat semakin menguat dengan dukungan moral dari para ulama. Terlebih, kekuasaan Amangkurat yang berkolaborasi dengan kepentingan VOC, semakin menambah kebencian dan perlawanan rakyat, yang didukung para ulama.
Puncaknya, karena perlindungan para ulama kepada Pangeran Alit, maka Amangkurat beralih mengarahkan permusuhannya kepada para ulama. Amangkurat I mendaftar para ulama terkemuka beserta keluarga dan pengikutnya. Mereka kemudian dikumpulkan di halaman istana lalu dibantai. Menurut seorang pejabat VOC Rijklof van Goens, antara 5000 dan 6000 orang pria, wanita, dan anak-anak tewas dalam peristiwa itu. (sumber: Amangkurat I, Raja Tiran dari Tanah Jawa)
4.Kematiannya yang Tragis
Di antara pemberontakan-pemberontakan yang muncul karena penentangannya terhadap kekuasaan Amangkurat, muncul kekuatan baru yang dipimpin Trunojoyo dari Madura menentang kekuasaan Mataram. Kekuatan Trunojoyo bertambah kuat seiring meningkatnya ketidakpuasan para pejabat dan masyarakat Mataram terhadap Amangkurat. Untuk menghadapi kekuatan Trunojoyo, Amangkurat mulai mendekati VOC untuk membantunya. Pada bulan Desember 1676 VOC mengutus Speelman ke Jepara dengan 1200 orang tentara untuk membantu angkatan perang Amangkurat. Sebagai gantinya, VOC menuntut Amangkurat mengganti kerugian perang dan memberikan sebagian daerah kekuasaanya.
Singkatnya, tanggal 28 Juni 1677 pasukan Trunajaya berhasil mengalahkan kekuatan Mataram-VOC dan memasuki keraton Plered. Namun sebelumnya, Amangkurat I beserta beberapa anggota keluarga dan putranya telah melarikan diri dari Keraton, dan bermaksud menuju Batavia untuk berlindung ke Belanda. Sialnya, di Karanganyar, rombongan raja dirampok oleh warga desa yang tidak tahu identitas mantan junjungannya tersebut. Ia pun harus rela menyerahkan emas dan uang yang dibawanya.
Dalam pelariannya, Amangkurat I jatuh sakit. Menurut Babad Tanah Jawi, kematiannya dipercepat oleh air kelapa beracun pemberian putranya, Mas Rahmat. Meski demikian, ia tetap menunjuk Mas Rahmat sebagai raja selanjutnya, tapi disertai kutukan bahwa keturunannya kelak tidak ada yang menjadi raja, kecuali satu orang dan itu pun hanya sebentar. Akhirnya Amangkurat I meninggal di desa Wanayasa, Banyumas. Raja yang semasa jayanya pernah membantai ribuan ulama itu, dishalatkan lalu dibawa ke Tegalwangi. Pada 13 Juli 1677, Amangkurat I dikebumikan di Tegalwangi. Tiga belas serdadu VOC menghadiri pemakamannya.
Beberapa hari setelah mengucapkan rencana mengubah nama Kabupaten Tegal menjadi Tegal Hadiningrat, Enthus membantah pernyataannya sendiri. Ia berkata bahwa nama “hadiningrat” hanya untuk slogan kabupaten saja, bukan sebagai nama resmi.
Enthus Susmono, yang masih tetap mendalang meski sudah menjabat bupati, diusung menjadi kepala daerah oleh Partai Kebangkitan Bangsa—partai yang mengklaim sebagai representasi kalangan santri nahdliyin. Ia selalu mengidentifikasi diri sebagai seorang santri dengan memasukkan unsur kesantrian dalam pertunjukan wayangnya. Dalam berbagai kesempatan kampanye, ia juga meminta dukungan politik dari kaum santri.
Dan di depan makam Amangkurat I, raja yang pernah membantai para ulama, yang menumbuhkan kecurigaan negara kepada kaum santri selama berabad-abad, dan dengan demikian mereka selalu tersingkir dari gelanggang kekuasaan, Bupati Tegal itu bilang begini:
“Kami juga akan membuat panggung pertunjukan di depan Makam Amangkurat untuk kegiatan para santri. Selain itu, akan dibuat relief tentang perjuangan Amangkurat”
Tidak disebutkan apakah Enthus benar-benar memahami, atau paling tidak pernah membaca, siapa Amangkurat I sebenarnya. Tapi pepatah lama “raja alim raja disembah, raja lalim raja disanggah” semestinya berlaku di segala zaman.
Sumber:
- Ivan Aulia Ahsan di tulis untuk tirto.id
-
di
Saat Raja Mataram Islam Bantai Ribuan Ulama dan Santri
Reviewed by Erhaje88 Blog
on
October 25, 2017
Rating:
No comments:
Erhaje88 tidak bertanggung jawab atas isi komentar yang ditulis. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE