Oleh: Iqbal Aji Daryono
Di antara semua sopir India di gudang kami, saya perhatikan ada dua orang yang menyendiri. Mereka tak pernah bergabung dengan rekan-rekan sekampung halaman mereka. Yang pertama adalah Anbar, sopir area Mandurah. Yang kedua sopir area Middle Swan, lelaki gemuk berkumis tebal yang saya tak tahu namanya.
Untuk Anbar memang agak bisa dimaklumi. Sebab meskipun pada dasarnya dia orang India, statusnya adalah warga negara Malaysia. Ini jenis "permakluman administratif" saja. Selebihnya saya tetap merasa aneh, sebab toh kalau saya ketemu orang Indonesia yang secara paspor sudah jadi warga negara Australia pun, rasanya ya tetap ketemu orang Indonesia.
Ada beberapa contohnya. Cahya, yang beberapa kali order gudeg bikinan emak saya waktu Emak main ke Perth, paspornya Australia. Mamah Ade Scaf, juragan bakso yang tempo hari memasak bakso jumbo sepanci besar khusus untuk merayakan kelahiran anak bungsu saya, paspornya jelas Australia. Satriyo, rekan sesama sopir yang dulu memegang area Wangara, pun warga negara pemegang paspor Australia.
Namun saat ketemu tiga orang itu, kami tahu bahwa kami sesama orang Indonesia. Padahal Cahya orang Bali, Mamah Ade orang Tasik, Satriyo orang Jakarta campur-campur, dan ketiganya secara legal adalah warga negara Australia. Tapi ya itu, tetap "orang Indonesia", meeen!
Belum lagi beberapa orang keturunan Tionghoa yang saya jumpai. Meski sudah sangat lama tinggal di sini pun, mereka tetap mengidentifikasi diri mereka sebagai "orang Indo".
Mbak Renita, contohnya. Saya ketemu mbak manis itu karena mengantarkan barang kiriman ke Mount Claremont News Agency, kios miliknya. Begitu dia tahu saya dari Indonesia, wajahnya langsung sumringah.
"Lho saya juga orang Indo, dari Salatiga. Kamu dari mana?" ucapnya dengan bahasa Indonesia yang tak lama lagi akan mendekati gaya Cinta Laura, karena sudah saking lamanya tinggal di Australia.
Bayangkan. Perempuan dengan nenek moyang dari Tiongkok, tinggal puluhan tahun di Australia, bahasa Indonesianya pun sudah sangat jarang dia pakai, tapi karena masa kecilnya dijalani di Salatiga maka dia menyebut dirinya "orang Indo". Bahkan dia juga langsung klik saat menyadari kurir keren di hadapannya adalah sesama orang Indo. Dahsyat kan kita ini? Dahsyat...laaah!
Maaf, agak ngelantur. Kita kembali ke cerita semula.
Jadi, Anbar dan Mas Kumis Sopir Middle Swan itu orang India, tapi menjaga jarak dengan orang-orang India lainnya. Kenapa?
"Oh, we are different. Kami dari utara, mereka dari selatan," itu jawaban Setinder Singh, lelaki Punjabi yang memegang area Joondalup, saat diam-diam saya menanyakan perilaku kedua orang itu tadi.
Ha? Utara, selatan, dan mereka sudah merasa beda? Padahal di sini kami yang orang Bantul ini juga bersahabat baik dengan keluarga Om Petrus Malo Bulu yang orang Kupang, dengan Pakde Diswandi yang orang Lombok, atau Faris Alfadh yang orang Sumbawa. Kenapa kita orang Indonesia tidak membedakan diri antara orang Barat dan orang Timur, lalu memunculkan tembok pembatas pergaulan setebal antara orang India Utara dan India Selatan?
Barangkali bahasa menjadi kunci persoalannya. Gus Rijal Mumazziq, kiai merangkap pengamat film India, di media sebelah mengatakan bahwa Bahasa Hindi memang bahasa nasional India, tapi masih gagal menjalankan fungsi sebagai bahasa persatuan. Bisa jadi itu salah satu alasan mendasarnya, kenapa orang-orang Punjabi dan orang-orang India Selatan saling menjaga jarak.
Ini jelas beda dengan kita, karena Sumpah Pemuda dan proyek-proyek kebangsaan selanjutnya berhasil menegakkan eksistensi bahasa Indonesia, untuk mempersatukan ratusan etnis di Nusantara.
Namun, perbincangan saya dan Setinder melebar lebih jauh lagi. Gara-garanya saya teringat empat tahun silam saat bersama kawan-kawan menjelajah beberapa kota di India, meski tidak sampai ke Punjab. Waktu itu, tiap kali beli apa-apa, rasanya bosan. Sebab semua uang kertas India melulu cuma bergambar tampang Mahatma Gandhi!
"Lho lalu gimana perasaanmu karena tiap hari cuma menjumpai wajah Gandhi di uang kalian? Bukannya Gandhi orang selatan, dan nggak ada wajah selain dia di Indian Rupee? Hahaha!" Saya menggoda Setinder dengan pertanyaan itu.
Maksud saya sebenarnya cuma bercanda. Untungnya Setinder menanggapinya serius, sehingga saya jadi punya bahan pengetahuan baru pagi itu.
"Yah memang begitu. Kami orang Punjab mereka tekan, mereka posisikan di bawah terus. Gandhi bukan pahlawan kami, tapi toh mereka hanya mau memajang orang mereka saja di uang kertas Rupee. Kami selalu dijadikan warga kelas dua." Raut Setinder bertahan serius.
Tentang Gandhi ini, sebenarnya sudah pernah saya bicarakan dengan kawan lama saya, Baljeet. (Teman-teman yang sudah membaca buku saya, Out of the Truck Box, tentu sudah mendengar cerita ini.) Jadi Gandhi sama sekali bukan pahlawan bagi orang-orang India Punjabi. Karakter orang Punjab yang keras agaknya membentuk cara pandang mereka tentang Gandhi.
"Halah, dia mah apa. Penjajah Inggris menyiksa kami, membunuhi kami, eh dia cuma duduk diam saja. Lalu orang-orang memanggilnya pahlawan." Setinder mengejek-ngejek gerakan antikekerasan Satyagraha yang diinisiasi Gandhi. "Seharusnya kalau kita dipukul, ya balas pukul!"
Dalam puncak kesebalan mereka, orang-orang utara selalu menyebut Gandhi dengan 'gandhu', yang artinya (maaf) 'pantat'.
"Lah emangnya siapa pahlawan kalian? Siapa pahlawan orang-orang Punjab?" saya mendesak lebih jauh.
"Bhagat Singh, dan Udham Singh!" jawab lelaki bercambang dan berturban hitam itu tegas.
Bhagat Singh adalah seorang aktivis sosialis, ikon martir India dalam melawan kolonial Inggris. Di umur 23 dia menembak mati seorang polisi Inggris. Sebenarnya sasaran Bhagat adalah seorang perwira polisi yang dianggap bertanggung jawab atas kematian Lala Lajpat Rai, salah satu pemimpin nasional India.
Bhagat juga meledakkan bom di gedung legislatif, membiarkan dirinya ditangkap polisi di tempat itu, hingga akhirnya dia diadili dan dihukum gantung.
Udham Singh pun tak beda. Bisa dikatakan Udham adalah junior Bhagat, yang sama kerasnya dalam menyikapi kolonial. Ia menembak mati mantan Letnan Gubernur Provinsi Punjab, membiarkan diri ditangkap, dan mengakhiri kisahnya sama dengan Bhagat: tiang gantungan.
Para ikon perjuangan kemerdekaan India itulah pahlawan-pahlawan sejati yang paling mewakili semangat masyarakat Punjab. Maka saya bisa membayangkan, bagaimana perasaan Setinder saat semangatnya itu sama sekali tidak diakomodasi dalam lembar-lembar yang setiap hari mereka pandangi. Bahkan yang senantiasa mereka lihat adalah "orang selatan", yang cara dia berjuang pun sangat bertolak belakang dengan nilai-nilai Punjabi.
Ini beda jauh dengan kita. Kita orang Indonesia sepertinya menerima lembar-lembar uang Rupiah sebagai sesuatu yang taken for granted saja. Sudah dari dulu memang begitu, bergambar macam-macam pahlawan nasional dari Sabang sampai Merauke. Tapi apa iya kita tahu bahwa ada jutaan orang nun di sana yang diam-diam iri dengan apa yang kita punya?
Sekilas ini mirip glorifikasi diri sendiri hehehe. Enggaklah, bukan itu maksud saya. Tapi barangkali sebenarnya yang terjadi seperti ini: orang-orang yang segenerasi dengan saya sudah lama sekali tidak mendapatkan pelajaran PMP, PSPB, atau mata kuliah Kewiraan. Namun setiap saat kita melihat wajah Monginsidi, Ngurah Rai, Pattimura, Cut Nyak Dhien, Si Singamaraja, dan sebagainya di dalam dompet kita. Bahkan di uang baru ada Frans Kaisiepo, pahlawan Papua (meski saya belum pernah melihatnya karena sudah lama nggak mudik).
Dari situ tanpa sadar kita selalu merasa akrab, antara orang Indonesia barat, tengah, dan timur, sehingga tak muncul problem-problem psikologis sebagaimana terjadi pada Setinder dan kawan-kawannya yang sebal sama Rupee cap Gandhi. Jadi meski dalam mencari uang kita sering ribut dan berpecah belah antarteman, sesungguhnya gambar-gambar di uang Rupiah kita punya daya untuk membangun kedekatan.
Mungkinkah begitu? Andai Ben Anderson masih ada, ingin rasanya saya mengusulkan teori gambar uang tadi untuk melengkapi konsep nasionalismenya dalam buku Imagined Communities hahaha.
"Haessyy...cuma gambar uang aja dibangga-banggakan! Dasar penjilat rezim! Yang penting itu pemerataan kesejahteraan, lenyapnya ketimpangan antara Jawa dan luar Jawa, berhentinya pengisapan di sana, di sana, dan di sana!"
Aduh, kawan-kawan aktivis sudah muncul. Silakan dilanjutkan obrolannya, teman-teman. Saya minta izin dulu, mau momong anak.
(kolom-detik)
*Pencinta uang, sampai beberapa bulan ke depan masih tinggal di Perth, Australia
Di antara semua sopir India di gudang kami, saya perhatikan ada dua orang yang menyendiri. Mereka tak pernah bergabung dengan rekan-rekan sekampung halaman mereka. Yang pertama adalah Anbar, sopir area Mandurah. Yang kedua sopir area Middle Swan, lelaki gemuk berkumis tebal yang saya tak tahu namanya.
Iqbal Aji Daryono (Ilustrasi: Edi Wahyono)
Untuk Anbar memang agak bisa dimaklumi. Sebab meskipun pada dasarnya dia orang India, statusnya adalah warga negara Malaysia. Ini jenis "permakluman administratif" saja. Selebihnya saya tetap merasa aneh, sebab toh kalau saya ketemu orang Indonesia yang secara paspor sudah jadi warga negara Australia pun, rasanya ya tetap ketemu orang Indonesia.
Ada beberapa contohnya. Cahya, yang beberapa kali order gudeg bikinan emak saya waktu Emak main ke Perth, paspornya Australia. Mamah Ade Scaf, juragan bakso yang tempo hari memasak bakso jumbo sepanci besar khusus untuk merayakan kelahiran anak bungsu saya, paspornya jelas Australia. Satriyo, rekan sesama sopir yang dulu memegang area Wangara, pun warga negara pemegang paspor Australia.
Namun saat ketemu tiga orang itu, kami tahu bahwa kami sesama orang Indonesia. Padahal Cahya orang Bali, Mamah Ade orang Tasik, Satriyo orang Jakarta campur-campur, dan ketiganya secara legal adalah warga negara Australia. Tapi ya itu, tetap "orang Indonesia", meeen!
Belum lagi beberapa orang keturunan Tionghoa yang saya jumpai. Meski sudah sangat lama tinggal di sini pun, mereka tetap mengidentifikasi diri mereka sebagai "orang Indo".
Mbak Renita, contohnya. Saya ketemu mbak manis itu karena mengantarkan barang kiriman ke Mount Claremont News Agency, kios miliknya. Begitu dia tahu saya dari Indonesia, wajahnya langsung sumringah.
"Lho saya juga orang Indo, dari Salatiga. Kamu dari mana?" ucapnya dengan bahasa Indonesia yang tak lama lagi akan mendekati gaya Cinta Laura, karena sudah saking lamanya tinggal di Australia.
Bayangkan. Perempuan dengan nenek moyang dari Tiongkok, tinggal puluhan tahun di Australia, bahasa Indonesianya pun sudah sangat jarang dia pakai, tapi karena masa kecilnya dijalani di Salatiga maka dia menyebut dirinya "orang Indo". Bahkan dia juga langsung klik saat menyadari kurir keren di hadapannya adalah sesama orang Indo. Dahsyat kan kita ini? Dahsyat...laaah!
Maaf, agak ngelantur. Kita kembali ke cerita semula.
Jadi, Anbar dan Mas Kumis Sopir Middle Swan itu orang India, tapi menjaga jarak dengan orang-orang India lainnya. Kenapa?
"Oh, we are different. Kami dari utara, mereka dari selatan," itu jawaban Setinder Singh, lelaki Punjabi yang memegang area Joondalup, saat diam-diam saya menanyakan perilaku kedua orang itu tadi.
Ha? Utara, selatan, dan mereka sudah merasa beda? Padahal di sini kami yang orang Bantul ini juga bersahabat baik dengan keluarga Om Petrus Malo Bulu yang orang Kupang, dengan Pakde Diswandi yang orang Lombok, atau Faris Alfadh yang orang Sumbawa. Kenapa kita orang Indonesia tidak membedakan diri antara orang Barat dan orang Timur, lalu memunculkan tembok pembatas pergaulan setebal antara orang India Utara dan India Selatan?
Barangkali bahasa menjadi kunci persoalannya. Gus Rijal Mumazziq, kiai merangkap pengamat film India, di media sebelah mengatakan bahwa Bahasa Hindi memang bahasa nasional India, tapi masih gagal menjalankan fungsi sebagai bahasa persatuan. Bisa jadi itu salah satu alasan mendasarnya, kenapa orang-orang Punjabi dan orang-orang India Selatan saling menjaga jarak.
Ini jelas beda dengan kita, karena Sumpah Pemuda dan proyek-proyek kebangsaan selanjutnya berhasil menegakkan eksistensi bahasa Indonesia, untuk mempersatukan ratusan etnis di Nusantara.
Namun, perbincangan saya dan Setinder melebar lebih jauh lagi. Gara-garanya saya teringat empat tahun silam saat bersama kawan-kawan menjelajah beberapa kota di India, meski tidak sampai ke Punjab. Waktu itu, tiap kali beli apa-apa, rasanya bosan. Sebab semua uang kertas India melulu cuma bergambar tampang Mahatma Gandhi!
"Lho lalu gimana perasaanmu karena tiap hari cuma menjumpai wajah Gandhi di uang kalian? Bukannya Gandhi orang selatan, dan nggak ada wajah selain dia di Indian Rupee? Hahaha!" Saya menggoda Setinder dengan pertanyaan itu.
Maksud saya sebenarnya cuma bercanda. Untungnya Setinder menanggapinya serius, sehingga saya jadi punya bahan pengetahuan baru pagi itu.
"Yah memang begitu. Kami orang Punjab mereka tekan, mereka posisikan di bawah terus. Gandhi bukan pahlawan kami, tapi toh mereka hanya mau memajang orang mereka saja di uang kertas Rupee. Kami selalu dijadikan warga kelas dua." Raut Setinder bertahan serius.
Tentang Gandhi ini, sebenarnya sudah pernah saya bicarakan dengan kawan lama saya, Baljeet. (Teman-teman yang sudah membaca buku saya, Out of the Truck Box, tentu sudah mendengar cerita ini.) Jadi Gandhi sama sekali bukan pahlawan bagi orang-orang India Punjabi. Karakter orang Punjab yang keras agaknya membentuk cara pandang mereka tentang Gandhi.
"Halah, dia mah apa. Penjajah Inggris menyiksa kami, membunuhi kami, eh dia cuma duduk diam saja. Lalu orang-orang memanggilnya pahlawan." Setinder mengejek-ngejek gerakan antikekerasan Satyagraha yang diinisiasi Gandhi. "Seharusnya kalau kita dipukul, ya balas pukul!"
Dalam puncak kesebalan mereka, orang-orang utara selalu menyebut Gandhi dengan 'gandhu', yang artinya (maaf) 'pantat'.
"Lah emangnya siapa pahlawan kalian? Siapa pahlawan orang-orang Punjab?" saya mendesak lebih jauh.
"Bhagat Singh, dan Udham Singh!" jawab lelaki bercambang dan berturban hitam itu tegas.
Bhagat Singh adalah seorang aktivis sosialis, ikon martir India dalam melawan kolonial Inggris. Di umur 23 dia menembak mati seorang polisi Inggris. Sebenarnya sasaran Bhagat adalah seorang perwira polisi yang dianggap bertanggung jawab atas kematian Lala Lajpat Rai, salah satu pemimpin nasional India.
Bhagat juga meledakkan bom di gedung legislatif, membiarkan dirinya ditangkap polisi di tempat itu, hingga akhirnya dia diadili dan dihukum gantung.
Udham Singh pun tak beda. Bisa dikatakan Udham adalah junior Bhagat, yang sama kerasnya dalam menyikapi kolonial. Ia menembak mati mantan Letnan Gubernur Provinsi Punjab, membiarkan diri ditangkap, dan mengakhiri kisahnya sama dengan Bhagat: tiang gantungan.
Para ikon perjuangan kemerdekaan India itulah pahlawan-pahlawan sejati yang paling mewakili semangat masyarakat Punjab. Maka saya bisa membayangkan, bagaimana perasaan Setinder saat semangatnya itu sama sekali tidak diakomodasi dalam lembar-lembar yang setiap hari mereka pandangi. Bahkan yang senantiasa mereka lihat adalah "orang selatan", yang cara dia berjuang pun sangat bertolak belakang dengan nilai-nilai Punjabi.
Ini beda jauh dengan kita. Kita orang Indonesia sepertinya menerima lembar-lembar uang Rupiah sebagai sesuatu yang taken for granted saja. Sudah dari dulu memang begitu, bergambar macam-macam pahlawan nasional dari Sabang sampai Merauke. Tapi apa iya kita tahu bahwa ada jutaan orang nun di sana yang diam-diam iri dengan apa yang kita punya?
Sekilas ini mirip glorifikasi diri sendiri hehehe. Enggaklah, bukan itu maksud saya. Tapi barangkali sebenarnya yang terjadi seperti ini: orang-orang yang segenerasi dengan saya sudah lama sekali tidak mendapatkan pelajaran PMP, PSPB, atau mata kuliah Kewiraan. Namun setiap saat kita melihat wajah Monginsidi, Ngurah Rai, Pattimura, Cut Nyak Dhien, Si Singamaraja, dan sebagainya di dalam dompet kita. Bahkan di uang baru ada Frans Kaisiepo, pahlawan Papua (meski saya belum pernah melihatnya karena sudah lama nggak mudik).
Dari situ tanpa sadar kita selalu merasa akrab, antara orang Indonesia barat, tengah, dan timur, sehingga tak muncul problem-problem psikologis sebagaimana terjadi pada Setinder dan kawan-kawannya yang sebal sama Rupee cap Gandhi. Jadi meski dalam mencari uang kita sering ribut dan berpecah belah antarteman, sesungguhnya gambar-gambar di uang Rupiah kita punya daya untuk membangun kedekatan.
Mungkinkah begitu? Andai Ben Anderson masih ada, ingin rasanya saya mengusulkan teori gambar uang tadi untuk melengkapi konsep nasionalismenya dalam buku Imagined Communities hahaha.
"Haessyy...cuma gambar uang aja dibangga-banggakan! Dasar penjilat rezim! Yang penting itu pemerataan kesejahteraan, lenyapnya ketimpangan antara Jawa dan luar Jawa, berhentinya pengisapan di sana, di sana, dan di sana!"
Aduh, kawan-kawan aktivis sudah muncul. Silakan dilanjutkan obrolannya, teman-teman. Saya minta izin dulu, mau momong anak.
(kolom-detik)
*Pencinta uang, sampai beberapa bulan ke depan masih tinggal di Perth, Australia
Indonesia Bersatu Sebab Uang
Reviewed by Erhaje88 Blog
on
November 03, 2017
Rating:
No comments:
Erhaje88 tidak bertanggung jawab atas isi komentar yang ditulis. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE