Oleh: Kalis Mardiasih
Kata siapa umat Islam miskin dan terzalimi? Coba, mari kita cek papan-papan iklan yang menghiasi jalan raya perkotaan. Pada sebuah perempatan utama di kota Yogyakarta, papan iklan paling besar adalah iklan pendaftaran sekolah islami. Iklan tersebut terpajang dalam bilangan bulan lamanya, sehingga tentu bisa kita perkirakan berapa besaran anggaran pemasaran yang dikeluarkan oleh pihak sekolah. Sebetulnya, hal tersebut sebuah indikasi yang bagus.
Kalis Mardiasih (Ilustrasi: Kiagoos Auliansyah/detikcom)
Saya senang menyaksikan banyak muslim berkelimpahan, sehingga bisa membangun sekolah dengan iklan yang menjual keunggulan institusi pendidikan itu, mulai dari bangunan fisik yang gagah, kualitas bersaing secara internasional, juga menggaransi moral dan akhlak anak dengan janji pendidikan menghafal Al Quran secara kilat. Dua hal saja yang membuat saya kurang sreg. Pertama, kalau biaya pendaftaran dan SPP per bulan ternyata sangat mahal. Kedua, dua olahraga yang dipromosikan adalah berkuda dan memanah, sebab katanya sesuai sunah, sedangkan hobi saya adalah berenang, berlari dan senam zumba.
Selain iklan sekolah islami, iklan dengan papan raksasa lain datang dari kluster-kluster perumahan islami. Sebut saja, perumahan yang diimajinasikan itu bernama Pahala Islamic Center. Tawaran perumahan syariah yang lebih dahulu muncul, biasanya menjanjikan skema pembelian rumah yang secara akad muamalah dilaksanakan secara islami, seperti menjauhi riba. Politik bahasa iklan Pahala Islamic Center lain. Kali ini, utopia perumahan yang ditawarkan pengembang adalah sebuah wilayah yang damai karena konon di sekitarnya akan dibangun banyak pusat belajar Islam, seperti tempat untuk belajar Al Quran, dan banyak jadwal pengajian.
Keunggulan itu tampak dari gambar papan iklan yang alih-alih menggambarkan situasi rumah yang dipromosikan atau alur pembelian, namun justru memilih menggunakan gambar Al Quran dan anak kecil. Hal ini menarik. Pengembang berpikir secara paradigmatik di luar kotak. Ia seperti paham betul bahwa di masa depan, situasi kehidupan konon semakin sesak, tak aman, dan penuh bahaya sebab efek kemajuan-kemajuan zaman yang tentu akan berpengaruh kepada perkembangan anak-anak.
Bahasa iklan tak pernah salah. Di Ibukota di mana modernitas dan keserbapraktisan menjadi impian, ada iklan perumahan di mana setiap hari seorang anak kecil berbisik, "Bawa aku pergi dari sini..." agar ia dibawa pindah ke sebuah kota yang menawarkan cara lain untuk hidup yang menawarkan keamanan, sistem transportasi yang baik, bebas polusi, dan teknologi-teknologi yang belum ada di dunia ala fiksi ilmiah.
Akan tetapi, menjadi aneh ketika konon kemudian ada fit and proper test untuk dapat menjadi warga Pahala Islamic Center tersebut. Satu yang paling penting tentunya adalah beragama muslim. Ini bukan soal saya tidak senang berdampingan dengan sesama muslim. Tapi, bukankah ada banyak dinamika unsur bertetangga selain agama? Saya senang bertetangga dengan Cik Yen karena ia hobi memasak cap jay goreng seafood pedas yang rasanya sungguh enak, dan kabar baiknya ia senang berbagi.
Saya senang bertetangga dengan Mbak Lina yang berjualan kue, sebab ia sering sekali tiba-tiba mengirim kue donat kentang yang empuk lagi hangat di pagi hari. Saya senang bertetangga dengan Pak Fauzan yang sering menyelamatkan keluarga kami dari keteledoran, semacam aliran air yang lupa kami matikan, bau masakan yang gosong dari dapur kami, atau mengawasi keponakan balita kami yang bermain hingga jalan utama gang yang ramai kendaraan bermotor.
Iklan islami selanjutnya yang membuktikan pesatnya kreasi bisnis muslim adalah tren daycare islami. Sesuai sebutannya, mungkin ia adalah tempat penitipan balita, namun islami. Saya bayangkan, semua asisten pengasuhnya memakai jilbab, ditingkahi bacaan Al Quran dan lagu-lagu islami sebagai latar musik di ruangannya, tetapi saya tidak tahu bagaimana membuat permainan bola-bolaan, mobil-mobilan, atau peralatan masak-masakan bocah agar menjadi islami.
Sejak dulu, pendidikan Islam juga bukan barang baru di negeri kita, seperti jaringan pesantren salafiyah tradisional di Jawa atau sekolah tawalib di Sumatera. Dua organisasi Islam terbesar, antara lain Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah sejak awal abad ke 19 berkonsentrasi kepada aktivitas pengembangan institusi pendidikan, mulai pesantren, pendidikan usia dini hingga universitas, juga pusat-pusat studi dan jaringan beasiswa.
Inti dari pendidikan Islam adalah bagaimana mencetak manusia yang memiliki jiwa kemanusiaan seutuhnya. Dan, bagian paling baik dari penyediaan institusi pendidikan tentu saja adalah biayanya yang terjangkau untuk seluruh kalangan. Eksklusivitas tidak hanya bisa terbentuk dari keseragaman identitas, tapi juga keseragaman kemampuan membayar. Bukankah akan lebih baik jika anak tidak hanya bergaul dengan sesama mereka yang berkecukupan, namun juga mereka yang memerlukan bantuan untuk belajar melihat perbedaan?
Begitu juga dengan perkara memilih tempat tinggal. Saya tidak berkepentingan dengan agama Cik Yen, tidak ingin bertanya apakah keuntungan berjualan kue donat Mbak Lina sudah disedekahkan, atau tidak ingin bertanya berapa lembar Al Quran yang telah didaras Pak Fauzan hari ini. Selain alasan pribadi bahwa saya juga tidak bisa memastikan perkara iman akan selalu baik-baik saja, saya justru berpikir, toh kalau suatu saat ada maling atau rampok masuk ke perumahan, mereka juga tidak ditanya agamanya apa kan?
Tempat kita berpijak adalah sejarah ruang panjang yang terbentuk dari bermacam pengetahuan serta pengalaman yang kemudian melahirkan tradisi. Hal ini menjelaskan mengapa setiap kampung dan kota unik, mulai dari asal-usul penamaannya, tokoh besar yang dikenangnya, makanan khasnya, hingga dialek berbahasa.
Bagaimana dengan balita-balita yang dititipkan itu? Faktor keamanan dan kebersihan sebetulnya adalah komponen nilai jual paling penting. Bermimpi tentang keteguhan karakter dan prestasi pendidikan pada tempat penitipan anak tentu boleh-boleh saja. Tapi, masih banyak tempat lain untuk menitipkan harapan akan akhlak, yakni pada pola pengasuhan orangtuanya sendiri, dan kelak perjalanan panjang pendidikan di sekolah juga pandangan hidup bersama orang lain sebagai warga dunia.
Kecuali jika para orangtua itu takut sejak balita bahkan bayi, anak-anak mereka akan dipropaganda hal-hal berbahaya soal keimanan. Tapi, jelas saja, hal itu adalah ketakutan yang berlebihan dan tidak perlu. Apa enaknya menjadi sama jika Tuhan saja sengaja menciptakan manusia berbeda-beda? (kolom detik)
*Menulis opini dan menerjemah. Aktif sebagai periset dan tim media kreatif Jaringan Nasional Gusdurian dalam menyampaikan pesan-pesan toleransi dan kampanye #IndonesiaRumahBersama. Dapat disapa lewat @mardiasih
Kata siapa umat Islam miskin dan terzalimi? Coba, mari kita cek papan-papan iklan yang menghiasi jalan raya perkotaan. Pada sebuah perempatan utama di kota Yogyakarta, papan iklan paling besar adalah iklan pendaftaran sekolah islami. Iklan tersebut terpajang dalam bilangan bulan lamanya, sehingga tentu bisa kita perkirakan berapa besaran anggaran pemasaran yang dikeluarkan oleh pihak sekolah. Sebetulnya, hal tersebut sebuah indikasi yang bagus.
Saya senang menyaksikan banyak muslim berkelimpahan, sehingga bisa membangun sekolah dengan iklan yang menjual keunggulan institusi pendidikan itu, mulai dari bangunan fisik yang gagah, kualitas bersaing secara internasional, juga menggaransi moral dan akhlak anak dengan janji pendidikan menghafal Al Quran secara kilat. Dua hal saja yang membuat saya kurang sreg. Pertama, kalau biaya pendaftaran dan SPP per bulan ternyata sangat mahal. Kedua, dua olahraga yang dipromosikan adalah berkuda dan memanah, sebab katanya sesuai sunah, sedangkan hobi saya adalah berenang, berlari dan senam zumba.
Selain iklan sekolah islami, iklan dengan papan raksasa lain datang dari kluster-kluster perumahan islami. Sebut saja, perumahan yang diimajinasikan itu bernama Pahala Islamic Center. Tawaran perumahan syariah yang lebih dahulu muncul, biasanya menjanjikan skema pembelian rumah yang secara akad muamalah dilaksanakan secara islami, seperti menjauhi riba. Politik bahasa iklan Pahala Islamic Center lain. Kali ini, utopia perumahan yang ditawarkan pengembang adalah sebuah wilayah yang damai karena konon di sekitarnya akan dibangun banyak pusat belajar Islam, seperti tempat untuk belajar Al Quran, dan banyak jadwal pengajian.
Keunggulan itu tampak dari gambar papan iklan yang alih-alih menggambarkan situasi rumah yang dipromosikan atau alur pembelian, namun justru memilih menggunakan gambar Al Quran dan anak kecil. Hal ini menarik. Pengembang berpikir secara paradigmatik di luar kotak. Ia seperti paham betul bahwa di masa depan, situasi kehidupan konon semakin sesak, tak aman, dan penuh bahaya sebab efek kemajuan-kemajuan zaman yang tentu akan berpengaruh kepada perkembangan anak-anak.
Bahasa iklan tak pernah salah. Di Ibukota di mana modernitas dan keserbapraktisan menjadi impian, ada iklan perumahan di mana setiap hari seorang anak kecil berbisik, "Bawa aku pergi dari sini..." agar ia dibawa pindah ke sebuah kota yang menawarkan cara lain untuk hidup yang menawarkan keamanan, sistem transportasi yang baik, bebas polusi, dan teknologi-teknologi yang belum ada di dunia ala fiksi ilmiah.
Akan tetapi, menjadi aneh ketika konon kemudian ada fit and proper test untuk dapat menjadi warga Pahala Islamic Center tersebut. Satu yang paling penting tentunya adalah beragama muslim. Ini bukan soal saya tidak senang berdampingan dengan sesama muslim. Tapi, bukankah ada banyak dinamika unsur bertetangga selain agama? Saya senang bertetangga dengan Cik Yen karena ia hobi memasak cap jay goreng seafood pedas yang rasanya sungguh enak, dan kabar baiknya ia senang berbagi.
Saya senang bertetangga dengan Mbak Lina yang berjualan kue, sebab ia sering sekali tiba-tiba mengirim kue donat kentang yang empuk lagi hangat di pagi hari. Saya senang bertetangga dengan Pak Fauzan yang sering menyelamatkan keluarga kami dari keteledoran, semacam aliran air yang lupa kami matikan, bau masakan yang gosong dari dapur kami, atau mengawasi keponakan balita kami yang bermain hingga jalan utama gang yang ramai kendaraan bermotor.
Iklan islami selanjutnya yang membuktikan pesatnya kreasi bisnis muslim adalah tren daycare islami. Sesuai sebutannya, mungkin ia adalah tempat penitipan balita, namun islami. Saya bayangkan, semua asisten pengasuhnya memakai jilbab, ditingkahi bacaan Al Quran dan lagu-lagu islami sebagai latar musik di ruangannya, tetapi saya tidak tahu bagaimana membuat permainan bola-bolaan, mobil-mobilan, atau peralatan masak-masakan bocah agar menjadi islami.
Sejak dulu, pendidikan Islam juga bukan barang baru di negeri kita, seperti jaringan pesantren salafiyah tradisional di Jawa atau sekolah tawalib di Sumatera. Dua organisasi Islam terbesar, antara lain Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah sejak awal abad ke 19 berkonsentrasi kepada aktivitas pengembangan institusi pendidikan, mulai pesantren, pendidikan usia dini hingga universitas, juga pusat-pusat studi dan jaringan beasiswa.
Inti dari pendidikan Islam adalah bagaimana mencetak manusia yang memiliki jiwa kemanusiaan seutuhnya. Dan, bagian paling baik dari penyediaan institusi pendidikan tentu saja adalah biayanya yang terjangkau untuk seluruh kalangan. Eksklusivitas tidak hanya bisa terbentuk dari keseragaman identitas, tapi juga keseragaman kemampuan membayar. Bukankah akan lebih baik jika anak tidak hanya bergaul dengan sesama mereka yang berkecukupan, namun juga mereka yang memerlukan bantuan untuk belajar melihat perbedaan?
Begitu juga dengan perkara memilih tempat tinggal. Saya tidak berkepentingan dengan agama Cik Yen, tidak ingin bertanya apakah keuntungan berjualan kue donat Mbak Lina sudah disedekahkan, atau tidak ingin bertanya berapa lembar Al Quran yang telah didaras Pak Fauzan hari ini. Selain alasan pribadi bahwa saya juga tidak bisa memastikan perkara iman akan selalu baik-baik saja, saya justru berpikir, toh kalau suatu saat ada maling atau rampok masuk ke perumahan, mereka juga tidak ditanya agamanya apa kan?
Tempat kita berpijak adalah sejarah ruang panjang yang terbentuk dari bermacam pengetahuan serta pengalaman yang kemudian melahirkan tradisi. Hal ini menjelaskan mengapa setiap kampung dan kota unik, mulai dari asal-usul penamaannya, tokoh besar yang dikenangnya, makanan khasnya, hingga dialek berbahasa.
Bagaimana dengan balita-balita yang dititipkan itu? Faktor keamanan dan kebersihan sebetulnya adalah komponen nilai jual paling penting. Bermimpi tentang keteguhan karakter dan prestasi pendidikan pada tempat penitipan anak tentu boleh-boleh saja. Tapi, masih banyak tempat lain untuk menitipkan harapan akan akhlak, yakni pada pola pengasuhan orangtuanya sendiri, dan kelak perjalanan panjang pendidikan di sekolah juga pandangan hidup bersama orang lain sebagai warga dunia.
Kecuali jika para orangtua itu takut sejak balita bahkan bayi, anak-anak mereka akan dipropaganda hal-hal berbahaya soal keimanan. Tapi, jelas saja, hal itu adalah ketakutan yang berlebihan dan tidak perlu. Apa enaknya menjadi sama jika Tuhan saja sengaja menciptakan manusia berbeda-beda? (kolom detik)
*Menulis opini dan menerjemah. Aktif sebagai periset dan tim media kreatif Jaringan Nasional Gusdurian dalam menyampaikan pesan-pesan toleransi dan kampanye #IndonesiaRumahBersama. Dapat disapa lewat @mardiasih
Perumahan Islami, Sekolahan Islami dan Daycare Islami
Reviewed by Erhaje88 Blog
on
November 05, 2017
Rating:
No comments:
Erhaje88 tidak bertanggung jawab atas isi komentar yang ditulis. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE