Sidebar Ads

banner image

Dua Alasan Ini Sebabkan Prabowo Tak layak Jadi Capres 2019

Oleh: Alfi Rahmadi*

Terlepas pro kontra sosok Prabowo Subianto, suka tak suka, anak bangsa patut mengangkat baret tanda hormat ksatria. Berkarir di lapangan manapun—militer, bisnis maupun politik—ia disegani lawan, dijunjung tinggi bawahan dan dihormati kawan.

Hampir semua lawan dan kawan percaya, merah-putih darah dan tulangnya sebangun dengan nafas kecintaannya terhadap tanah air Indonesia, terlepas dari kontroversi sepak terjangnya. Dalam konteks kecintaan itulah hingga Presiden RI ke-4 Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menyebut Prabowo orang paling ikhlas.



Kalau mau dipotret dari sudut pandang positif, sosok Prabowo yang dipandang ambisius dalam politik praktis justru dapat diletakan dalam konteks kecintaan tersebut. Mantan suami Siti Hediati Hariyadi alias Titiek Soeharto ini seolah tak punya pilihan lain bahwa idealisme menata bangsa hanya efektif dan efisien diperjuang melalui kekuasaan dalam negara.

Bisa jadi dalam kerangka itulah Prabowo selalu hadir dan menjadi sorotan di setiap laga Pilpres pasca Pilpres 1999 untuk menggapai kekuasaan tersebut. Di mulai pada Pilpres 2004 sebagai pesta demokrasi pertama yang diselenggarakan secara langsung tanpa melalui MPR RI.

Mantan Danjen Kopassus ini saat itu bertarung dalam konvensi calon presiden (Capres) RI dari Partai Golkar 2003. Pada laga Pilpres 2009, ia berduet menjadi Cawapres Megawati Soekarnoputri. Terakhir pada Pilpres 2014, duet Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa.

Kini dalam perjalanan Pilpres 2019 memang belum nampak petarung terberat melawan tingginya popularitas, elektabilitas dan akseptabilitas Presiden Jokowi kecuali Prabowo. Namun bukan berarti hal tersebut sebagai sinyal kuat Prabowo maju kembali pada Pilpres 2019.

Bahkan bila sampai Prabowo maju, bisa dikatakan tak lagi layak. Kelompok yang mendorong dan menyokong Prabowo berlaga kembali tergolong buta membaca realitas politik. Alih-alih hendak memperjuang idealisme dalam politik praktis, malah terjebak pada oportunisme. Malah akan merendahkan harkat dan martabat Prabowo. Mengapa demikian?

Pertama, di tingkat kompetisi elektoral kasta tertinggi seperti Pilpres, nasib Prabowo Subianto memang selalu tak mujur. Tapi efek dari setiap dirinya berlaga belum ada tokoh di republik ini seberuntung Prabowo. Dan hal itu yang membuat diri Prabowo semakin eksis. Namanya harum sebagai King Maker terbaik di republik pasca Pilpres 2009.

Bisa dibayang, hanya dalam rentang satu periode, putra begawan ekonomi Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo itu mampu menghantar dua tokoh secara beruntutan sebagai orang nomor satu di ibu kota RI: DKI Jakarta.

Yang satu: Joko Widodo di Pilkada DKI Jakarta 2012. Satu lagi: Anies Baswedan pada 2017. Bahkan pada case Joko Widodo merupakan insentif politik Prabowo yang tak ternilai. Tidak ada tokoh di republik ini mengunggulinya sekaligus paradoksinya.

Betapa tidak: setelah sukses menghantarkan sebagai Gubernur DKI Jakarta, Jokowi malah tampil sebagai Presiden RI ke-7. Ironinya: rivalnya adalah senior sendiri yang telah berjasa menghantarnya menuju DKI-1.

Dalam fatsun politik, kelas Prabowo sama artinya dengan mentor Joko Widodo dan Anies Baswedan. Bertarung dengan ‘murid’ sama artinya merendahkan derajat yang sudah ditempatkan secara alamiah pada posisi yang sedemikian tinggi. Betapa hebat Prabowo punya anak didik dua sosok berkaliber orang nomor satu di Indonesia.

Kedua, kehormatan Prabowo semakin luntur dipandang dari aspek generasi bila maju sebagai Capres 2019. Dalam hitungan generasi, Prabowo Subianto kelahiran 1951 segenerasi dengan Megawati Soekarnoputri (kelahiran 1947), Susilo Bambang Yudhoyono (1949), Wiranto (1947).

Mereka itu generasi lawas, kelahiran era 1940-an dan awal 1950-an. Usia mereka mencapai di atas 66 tahun pada Pilpres 2019. Pandangan yang tidak mempersoalkan aspek usia kepemimpinan politik dengan apologi sistem meritokrasi, bisa dipastikan hanya menjadi pembenaran (justifikasi) dalam akomudasi ambisi.

Sebab bagaimanapun aspek usia merupakan sistem etika dan kepatutan kepemimpinan, bukan case by case personal pemimpin. Tampilnya pemimpin tokoh generasi tua di jagat politik biasanya menunjukan gejala ketidak normalan suatu bangsa dan negara.

Situasi tidak normal yang dapat dipotret secara dekat menunjukan kuatnya mata rantai oligarki golonganisme pada suatu negara berkembang. Termasuk ketidaksiapan ekstafet kepemimpinan dalam perlindungan atas nama “maslahat” agar entitasnya tidak pecah, sambil menunggu kematengan kader dan momentum politik kekuasaan sebagai periode transisi kepemimpinan.

Bercokolnya Megawati Soekarnoputri di PDI Perjuangan dan Susilo Bambang Yudhoyono di Partai Demokrat sebagai Ketua Umum menjadi prototype ketidaknormalan entitas politik tersebut.

Tampilnya pemimpin tokoh generasi tua di jagat politik biasanya juga justru menunjukan situasi kemapanan sistem demokrasi. Atribusi good and clean governance  beserta kontestasi kekuasaan dalam pranata sistem dan kelembagaan demokrasinya lebih merupakan pertarungan agenda periodik daya saing pembangunan.

Energi kompetisi elektoral lebih terkuras untuk menampilkan kemapanan daya saing dan bahkan hegemoni terhadap bangsa lain. Praktik ini dapat dijumpai di Amerika Serikat dengan tampilnya Presiden Donald Trump berusia di atas 70 tahun.

Namun dua situasi tersebut, tampilnya tokoh tua dalam negara demokrasi yang belum stabil dan negara dengan demokrasi yang mapan, sama-sama menghambat generasi pada sistem meritokrasi itu sendiri.

Dalam konteks etika dan kepatutan aspek usia kepemimpinan politik inilah Ketua Gerindra DPD Banten, Desmond J. Mahesa, memberi sinyal penting untuk diresapi. Dalam Konferensi Nasional Partai Gerindra, Oktober 2017, menurut Desmond, Prabowo sempat memberi isyarat mengakui dirinya sudah tua untuk berlaga pada Pilpres 2019.

Kini memang sebaiknya para pengagum Prabowo memunculkan petarung lain. Ketimbang memaksakan kehendak melawan kepatutan generasi serta merendahkan derajat Prabowo yang sudah ditempatkan secara alamiah ke level lebih tinggi dari kehormatan seorang Presiden RI.
Sumber

----------------


*Jurnalis Majalah GONTOR 2003-2004, FORUM Keadilan 2005-2009, Staf Ahli DPR RI 2012-2014, Pemimpin Redaksi portal analisa data Zonavisi.com
Dua Alasan Ini Sebabkan Prabowo Tak layak Jadi Capres 2019 Dua Alasan Ini Sebabkan Prabowo Tak layak Jadi Capres 2019 Reviewed by Erhaje88 Blog on February 27, 2018 Rating: 5

No comments:

Erhaje88 tidak bertanggung jawab atas isi komentar yang ditulis. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Stay Connected

Powered by Blogger.