Salah satu agenda Musyawarah Nasional (Munas) Alim-Ulama yang sedang berlangsung di Kota Banjar, Jawa Barat 2019 adalah Bahtsul Masail Maudluiyah, semacam forum diskusi mengenai perihal-perihal kontekstual. Bahtsul masail ini mengangkat beberapa tema yang terbilang cukup serius. Salah satunya adalah mengenai status kafir bagi masyarakat non-muslim.
KH. Maqsith Ghozali, Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail PBNU yang ikut dalam forum tersebut, menyatakan bahwa kata “kafir” yang disematkan kepada masyarakat non-muslim dianggap mengandung unsur kekerasan teologis. Karenanya, tak layak kata “kafir” disebut-sebut dalam dialog dan perkataan sehari-hari.
Apakah memang pernyataan demikian ini dapat dibenarkan? Untuk menjawabnya, ada kasus yang harus dikaji agar dapat tercapai titik terang.
Pertama mengenai status kafir itu sendiri. Jika yang dimaksud dengan tidak adanya status kafir adalah menganggap benar seluruh keyakinan dan agama yang ada di Indonesia—apapun nama keyakinan dan agamanya—tentu ungkapan tersebut salah. Tidak benar dan tidak ada celah untuk membenarkannya. Boleh jadi akan ditemukan definisi kafir di dalam teks turats yang dapat membenarkan, seperti definisi yang diajukan al-Jahidh dan al-Anbary. Akan tetapi, definisi itu ditolak oleh semua ulama. Bahkan bertentangan dengan ijma’.
Namun jika yang dimaksud adalah penghargaan terhadap perbedaan keyakinan dan penjagaan terhadap hubungan baik antar warga negara, tentu ini dapat dibenarkan. Ulama-ulama terdahulu telah memberi warisan ajaran kepada kita untuk menghargai sesama manusia. Pun terhadap masyarakat non-muslim. Salah satunya adalah dengan tidak menyematkan label “kafir” kepada mereka.
Imam Ibnu Abidin, seorang ulama terkemuka bermadzhab Hanafiyah menyatakan:
ﻟَﻮْ ﻗَﺎﻝَ ﻟِﻴَﻬُﻮﺩِﻱٍّ ﺃَﻭْ ﻣَﺠُﻮﺳِﻲٍّ ﻳَﺎ ﻛَﺎﻓِﺮُ ﻳَﺄْﺛَﻢُ ﺇﻥْ ﺷَﻖَّ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﻗَﺎﻝَ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺒَﺤْﺮِ ﻭَﻣُﻘْﺘَﻀَﺎﻩُ ﺃَﻧَّﻪُ ﻳُﻌَﺰَّﺭُ ﻟِﺎﺭْﺗِﻜَﺎﺑِﻪِ ﻣَﺎ ﺃَﻭْﺟَﺐَ ﺍﻟْﺈِﺛْﻢَ
“Barangsiapa menyebut orang Yahudi atau Majusi dengan sebutan kafir, maka dia berdosa. Karena sebutan tersebut dapat menyakiti mereka. Bahkan ia berhak diberi hukuman lantaran melakukan perbuatan dosa tersebut.”
Toh demikian, bahtsul masail Munas itu pada akhirnya memang tidak menghapus kata “kafir”. Hanya saja, seperti yang ditegaskan oleh KH. Muqsith, memberikan label kafir kepada warga Indonesia yang ikut mendesain negara Indonesia tidaklah bijaksana. Karenanya, para kiyai kemudian menggunakan istilah muwathinun sebagai penggantinya, yang berarti warga negara. Inilah bentuk pengakuan ulama dan santri, bahwa masyarakat muslim dan non-muslim adalah masyarakat yang tunggal dan setara dalam memajukan masa depan negara.
Oleh: Muhammad Hasan, Mahasantri semester VIII Ma’had Aly Lirboyo, asal Pasuruan, Jawa Timur, dengan beberapa perubahan dari redaksi: lirboyo.net
KH. Maqsith Ghozali, Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail PBNU yang ikut dalam forum tersebut, menyatakan bahwa kata “kafir” yang disematkan kepada masyarakat non-muslim dianggap mengandung unsur kekerasan teologis. Karenanya, tak layak kata “kafir” disebut-sebut dalam dialog dan perkataan sehari-hari.
Apakah memang pernyataan demikian ini dapat dibenarkan? Untuk menjawabnya, ada kasus yang harus dikaji agar dapat tercapai titik terang.
Pertama mengenai status kafir itu sendiri. Jika yang dimaksud dengan tidak adanya status kafir adalah menganggap benar seluruh keyakinan dan agama yang ada di Indonesia—apapun nama keyakinan dan agamanya—tentu ungkapan tersebut salah. Tidak benar dan tidak ada celah untuk membenarkannya. Boleh jadi akan ditemukan definisi kafir di dalam teks turats yang dapat membenarkan, seperti definisi yang diajukan al-Jahidh dan al-Anbary. Akan tetapi, definisi itu ditolak oleh semua ulama. Bahkan bertentangan dengan ijma’.
Namun jika yang dimaksud adalah penghargaan terhadap perbedaan keyakinan dan penjagaan terhadap hubungan baik antar warga negara, tentu ini dapat dibenarkan. Ulama-ulama terdahulu telah memberi warisan ajaran kepada kita untuk menghargai sesama manusia. Pun terhadap masyarakat non-muslim. Salah satunya adalah dengan tidak menyematkan label “kafir” kepada mereka.
Imam Ibnu Abidin, seorang ulama terkemuka bermadzhab Hanafiyah menyatakan:
ﻟَﻮْ ﻗَﺎﻝَ ﻟِﻴَﻬُﻮﺩِﻱٍّ ﺃَﻭْ ﻣَﺠُﻮﺳِﻲٍّ ﻳَﺎ ﻛَﺎﻓِﺮُ ﻳَﺄْﺛَﻢُ ﺇﻥْ ﺷَﻖَّ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﻗَﺎﻝَ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺒَﺤْﺮِ ﻭَﻣُﻘْﺘَﻀَﺎﻩُ ﺃَﻧَّﻪُ ﻳُﻌَﺰَّﺭُ ﻟِﺎﺭْﺗِﻜَﺎﺑِﻪِ ﻣَﺎ ﺃَﻭْﺟَﺐَ ﺍﻟْﺈِﺛْﻢَ
“Barangsiapa menyebut orang Yahudi atau Majusi dengan sebutan kafir, maka dia berdosa. Karena sebutan tersebut dapat menyakiti mereka. Bahkan ia berhak diberi hukuman lantaran melakukan perbuatan dosa tersebut.”
Toh demikian, bahtsul masail Munas itu pada akhirnya memang tidak menghapus kata “kafir”. Hanya saja, seperti yang ditegaskan oleh KH. Muqsith, memberikan label kafir kepada warga Indonesia yang ikut mendesain negara Indonesia tidaklah bijaksana. Karenanya, para kiyai kemudian menggunakan istilah muwathinun sebagai penggantinya, yang berarti warga negara. Inilah bentuk pengakuan ulama dan santri, bahwa masyarakat muslim dan non-muslim adalah masyarakat yang tunggal dan setara dalam memajukan masa depan negara.
Oleh: Muhammad Hasan, Mahasantri semester VIII Ma’had Aly Lirboyo, asal Pasuruan, Jawa Timur, dengan beberapa perubahan dari redaksi: lirboyo.net
Tidak Ada Orang Kafir Di Indonesia?
Reviewed by Erhaje88 Blog
on
March 02, 2019
Rating:
No comments:
Erhaje88 tidak bertanggung jawab atas isi komentar yang ditulis. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE