Sidebar Ads

banner image

Tuhan Dan Armstrong

Tuhan telah diambil-alih agama-agama — dan agaknya itulah masalah paling gawat hari-hari ini. Kini agama jadi sejenis sekte, kelompok tertutup, dengan kecenderungan tak mengkaui “orang luar”. Para agamawan merasa diri jadi jurubicara Tuhan dan umat, para pemeluk melihat diri paling-suci-paling-lurus.


Agama-agama, kata Karen Armstrong dalam The Battle for God, “mendefenisikan doktrin, membangun rintangan, menegakkan tapal batas, dan memisahkan mereka yang beriman dalam sebuah tempat terpisah yang suci di mana hukum dengan keras diberlakukan.”

Suara Karen Armstrong sangat menyejukkan dalam percakapan tentang Tuhan dan iman di masa ketika orang (muslim, tapi tak hanya muslim) mudah merasa agamanya dihina, takut diremehkan, dan cepat membalas, membinasakan. Dalam situasi yang bengis itu Armstrong justru berbicara dengan penuh simpati kepada mereka yang beriman — meskipun dengan suara murung menyebut keterbatasan agama dan kekerasannya.

Ia bukan atheis. Ia mengritik keras mereka yang, seperti Richard Dawkins, ia sebut “atheis baru”. Baginya, mereka gagal berbicara tentang keadilan dan rasa belas (compassion) kepada sesama yang menderita — yang dicoba diberi penghiburan oleh agama, dengan segala keterbatasannya.

Armstrong bukan atheis dalam arti itu. Tapi ia berada di luar agama apapun. Lahir 14 November 1944 di wilayah Worcestershire, di Inggris Tengah bagian Barat, pada usia 18 ia bergabung dengan sebuah kongregasi untuk jadi biarawati. Di sana ia belajar kesusastraan. Biara memberinya keheningan, tempat ia merasukkan puisi, mengheningkan cipta. Tapi untuk itu ia juga harus mengalami tubuh yang disakiti. Ia bertahan selama tujuh tahun. Di tahun 1969, ia keluar dari biara.

Pernah, katanya, ia coba mengundang Tuhan untuk jadi kehadiran yang hidup dalam dirinya. “Tapi Ia tak di sana....Ia pergi.”

Tapi sebenarnya apa yang terjadi? Saya kira bukan Tuhan pergi, melainkan Tuhan diganti.

Kini manusia memproyeksikan Tuhan hanya sebagai cermin dirinya: “Tuhan” yang (dalam kata-kata Armstrong) “menyukai yang kita sukai, membenci yang kita benci”. Dengan kata lain, Tuhan yang merupakan perpanjangan identitas kita, rasa waswas kita, curiga kita, narsisme kita. Ia sesungguhnya berhala (l’idole, kata Jean-Luc Marion), yang tak mengubah, tak memperbaiki. Ia “Tuhan-selfi.”
“Tuhan-selfi” ini yang merisaukan Armstrong: Tuhan yang dihadirkan sebagaimana aku mau hadir.

Di situlah orang tersesat. Sebab, tulis Armstrong dalam A History of God, “satu-satunya cara menunjukkan rasa hormat kepada Tuhan ialah dengan berbuat baik secara moral tanpa mempedulikan apakah Dia ada” — tanpa menggandeng-Nya dalam potret bersama.

Rasa hormat juga akan tampak bila kita tak mendesak-desakkan-Nya, tak membuat-Nya bagian dari brisik. Dalam The Case of God, Armstrong mengutip satu cerita dari India abad ke-10 tentang “kompetisi Brahmodya.” Yang ikut bertanding harus merumuskan dengan kata-kata apa itu “Brahman”. Tapi pemenangnya, tulis Armstrong, tak membuat uraian verbal. Ia seorang peserta pertandingan yang membuat orang lain hening. Di keheningan itu Brahman hadir — dalam ketakmampuan bahasa melukiskan dan merumuskan-Nya.

Tapi agama-agama cemas: hening adalah hampa. Tuhan adalah sang pembimbing dan pengawas, sumber segala nilai moral. Jika kau tak menegaskan Tuhan ada, kau akan tersesat.

Saya kira Armstrong akan menjawab: Tuhan bukan sebuah wujud super-instrumental. Tuhan bukan ada untuk menjalankan peran yang kita tentukan, meskipun itu peran agung mengatur perilaku manusia dan menata semesta. Tuhan bukan sebuah fungsi — apalagi fungsi yang bermasalah. Sebab sampai hari ini pun perilaku buruk manusia tak lenyap. Manusia dan alam semesta tetap makhluk yang rumit, ruwet, rentan.

Dunia adalah saksi bahwa Tuhan yang super-instrumental adalah Tuhan yang gagal. Juga Tuhan yang tak lagi keramat, tak lagi sakral. Ia bukan lagi Tuhan yang “ilahiyyat” ( ﺍﻹﻟﻬﻴﺔ), yang “göttliche”, untuk memakai kata Heidegger.

Pernah dikatakan, zaman ini ditandai “terbang menjauhnya dewa-dewa”. Yang suci pergi. Yang menggerakkan kehidupan hanya “Tuhan-selfie”. Egotisme pun menguat pada manusia — dan merusak manusia.
“Agama yang memusatkan diri pada egotisme,” kata Armstrong dalam sebuah wawancara di tahun 2002, “memusatkan energinya dalam kebringasan, bukan dalam belas kasih”. Agama pun jadi ideologi kemarahan.

Di masa ini, Islam yang tampaknya berangkat dari ideologi itu, dirundung egotisme yang sengit. Takfirisme — sikap menganggap yang-lain “kafir” dan harus disingkirkan — kini lebih menonjol ketimbang “fundamentalisme”. Dan ini menarik, sebab seperti dikatakan Armstrong, Islam sebenarnya agama yang pluralis: mengakui para Nabi di samping Muhammad, pernah tak ragu menempatkan Jerusalem sebagai kota suci, “al Quds.”

Apa yang terjadi? Armstrong mencoba mencari sebabnya pada dunia modern yang tak memenuhi janji kebahagiaan, malah mengecewakan sebagian manusia. Saya berpendapat lain. Bagi saya, hidup di masa yang ditandai keberlebihan dan sekaligus kelangkaan ini, manusia makin melihat persaingan — dalam harta, martabat, kekuasaan, kebenaran — sebagai perebutan. Tuhan pun ikut dalam daftar yang harus dimonopoli. Mirip senjata supernuklir.

…Dan Tuhan jadi instrumen, dan kita jadi benteng beku di pantai, dan “orang asing” datang dan ramai-ramai kita bidik, kita curigai.

Oleh: Goenawan Muhammad, wartawan senior
Tuhan Dan Armstrong Tuhan Dan Armstrong Reviewed by Erhaje88 Blog on June 06, 2019 Rating: 5

No comments:

Erhaje88 tidak bertanggung jawab atas isi komentar yang ditulis. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Stay Connected

Powered by Blogger.