Sidebar Ads

banner image

Berkaca Pada Perang Agama di Perancis

"Tidak ada yang menjamin sobat tak akan menjadi fanatik atau bahkan menjadi radikal hanya karena tidak beragama Islam "



Oleh: Acin Muhdor


Hampir di setiap peperangan, selalu ada intervensi elit. Itu postulat! Sobat, bisakah anda meghitung jumlah orang yang mengambil keuntungan dari berbagai pertempuran opini dan gagasan sektarian di negri kita? Tentu banyak sekali. Dari yang memanen keuntungan politis, bisnis dan bahkan kecenderungan revormis. Semua berkumpul dan saling menaburkan spirtus pemantik agar api permusuhan itu tak padam.

Di Perancis, persis tahun 1562, perang agama terjadi. Siapa yang terlibat? Tidak jauh, para elit dan wangsa aristokrat. Sobat tau wangsa? Wangsa adalah Trah, kita biasa menyebutnya "marga" atau sesuatu yang menjadi indikator kekeluargaan yang dipandang secara kultural.

Seperti PDIP yang kental dengan aroma Soekarnonya, Demokrat yang kental nuansa Cikeasnya dan Orba yang kental aroma Cendananya. Itu adalah wangsa-wangsa aristokrat yang hampir mungkin semua kisah kita akhir-akhir ini hanya refleksi kotor dari ketamakan mereka.

Bila secara logis. Sebagaimana itu yang jadi pembeda antara kebanyakan manusia dengan hewan. Akal sehat, iya itu alat yang harus kita gunakan saat ini. Dengan itu saja, kita sadar bahwa perang beresiko besar menghancurkan kita. Dan tak ada yang bisa kita harapkan lagi bila itu terjadi. Tapi apakah sobat tau? Bahwa ada pihak yang sangat diuntungkan bila perang itu benar-benar terjadi? Ya, Asing! Mereka yang diuntungkan.

Bayangkan, bila suatu saat negeri ini berwarna merah dalam earth cam, ketika yang tersisa dan bertahan harus memulai semuanya dari nol, ada pihak yang benar-benar diuntungkan. Yang jadi soal, masih ada yang beranggapan bahwa perang agama menguntungkan Umat Islam (karena mayoritas) atau menguntungkan non muslim, karena banyak batas-batas yang tak mungkin dilanggar oleh muslimin dan menjad lazim dilakukan oleh non-muslim atau alasan-alasan lain. Itu fallacies (kesalahan berpikir).

Dilektika dalam perang tak menguntungkan pihak yang terlibat. Ada elit asing yang tertawa melihat keberingasan dua pihak yang saling adu jotos. Dan apa sobat tak melihat bahwa saat ini kita sedang disetir oleh wangsa-wangsa yang secara mental dan moral telah menjadi properti bangsa asing? Bila sobat tak melihatnya, silahkan pelajari perjanjian Supersemar yang baru-baru ini diperingati beberapa ormas, seakan itu adalah bagian sublim bangsa ini. Sobat juga perlu membaca lagi makna "Dies Natalis" yang menjadi simbol penambahan usia Partai Demokrat.

Wangsa Bourbon dan Wangsa Guise yang menjadi triger perang agama di Perancis juga terbukti menerima bantuan asing. Awal mula perang itu dari pembantaian Vassy, ketika bangsa Huguenot harus menjadi korban keserakahan oligarki. Gereja Huguenot dibakar dan umatnya dicincang. Siapa pelakunya? Militer! Di bawah komando Francois Adipati Guise. Perang Agama yang jadi arena tarung antara Katolik dan Protestan ini sukses menghilangkan hampir 4 juta jiwa dalam tempo 36 tahun.

Tapi apa yang sobat perlu pahami dari semua ini? Perang agama tidak akan pernah terjadi bila tidak ada sekelompok orang yang memaksakan keyakinannya untuk diimani semua orang. Lalu, bila ada sekelompok orang itu, apakah perang agama menjadi solusinya?

Perlu sedikit kita merenung dan mulai mengkritik diri sendiri. Mulai detik ini, saat unsur takfirisme menjalar ke semua penganut agama, seperti yang (kalau tidak salah) pernah saya ulas sebelumnya. Tidak ada yang menjamin sobat tak akan menjadi fanatik atau bahkan menjadi radikal hanya karena tidak beragama Islam atau bukan bagian dari ormas-ormas yang berideologi radikal. Takfirisme adalah disorientasi mental, siapapun yang putus asa terhadap keesaan Tuhan akan dengan mudah dijangkiti virus ini.

Saya bukan penggemar Fahri Hamzah atau Tengku Zulkarnaen, bahkan --- bisa dibilang --- saya tak bisa melihat wajah mereka lebih dari 5 detik (menghidari penggunaan kata "muak").

Kejadian-kejadian yang menimpa mereka, selain adalah balasan dari kesalahan berpikir dan berkomentar yang sering kali mereka utarakan di dunia maya maupun di hadapan awak media, juga tidak bisa dibenarkan sebagai cara menghukum sebuah kesalahan. Karena yang lebih nyata adalah reaksi itu merusak tatanan harmoni antar agama.

Budayakan autokritik agar tercipta keseimbangan dalam berbudaya, berbangsa dan beragama. Kritik prilaku umat seagama, jangan terlarut euphoria pesta penghujatan atas penganut agama lain, agar tak berhenti belajar dan tak merasa benar. Sejujurnya, reaksi warga Manado menolak Fahri Hamzah dengan simbol rasial itulah yang membuat saya terkejut dan merasa perlu menulis ulasan ini dengan memulainya dari kisah Perang Agama di Perancis.

Renungkan kembali, apakah nyawa dan masa depan kita harus melayang begitu saja demi memuaskan hasrat kekuasaan para wangsa tamak yang saat ini menjadi jongos asing?

- SALAM TOLERANSI

Akibat Ulahnya, Ini Yang Didapat Fahri Hamzah Saat Datang di Manado:


oleh erhaje88
-
Berkaca Pada Perang Agama di Perancis Berkaca Pada Perang Agama di Perancis Reviewed by Erhaje88 Blog on May 15, 2017 Rating: 5

No comments:

Erhaje88 tidak bertanggung jawab atas isi komentar yang ditulis. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Stay Connected

Powered by Blogger.