Sidebar Ads

banner image

Merantau ke Jakarta 'Hanya' Untuk Jadi Petani

" Mereka datang ke Jakarta dari berbagai daerah untuk menjadi petani. Menyewa lahan-lahan kosong yang masih tersisa"




  Bermodal selembar tripleks dan ranting pohon, Sukra menyusuri pematang sawah. Sesekali ranting itu dipukulkan pada tripleks yang dipegang di lengan kiri. Suara berisik hantaman ranting pada tripleks dimaksudkan untuk mengusir burung-burung emprit yang singgah di pucuk-pucuk padi yang merekah.

Aktivitas tersebut saban hari dilakukan Sukra pada pagi dan sore hari. Sebab, pada waktu-waktu itu gerombolan burung kecil tersebut berbondong-bondong mendatangi area persawahan yang digarapnya. Burung emprit merupakan jenis hama yang selalu bikin repot Sukra. Beragam cara dilakukan untuk menghalau serangan emprit terhadap tanaman padi miliknya, namun upaya itu sia-sia. Ia juga pernah pakai petasan sampai habis Rp 2 juta, namun burung emprit masih saja terus berdatangan.

Sukra adalah warga asal Indramayu, Jawa Barat, yang memilih merantau ke Ibu Kota Jakarta untuk mencari kehidupan yang lebih baik di wilayah Kelurahan Semanan, Kalideres, Jakarta Barat. Pertama kali menginjakkan kaki di Jakarta, dia dan istrinya membuka usaha warung kopi di pinggir jalan raya Semanan, yang banyak berdiri pabrik dan sejumlah gudang. Beberapa tahun berselang, tepatnya 15 tahun lalu, dia bertani di lahan sawah yang terletak di belakang warung miliknya.

Lahan tersebut sebenarnya milik PT Grand Lake, sebuah perusahaan properti. Namun, karena belum ada rencana dibangun perumahan, lahan sawah itu dibiarkan begitu saja. Beberapa tokoh warga setempat kemudian menyewakan lahan tersebut kepada orang yang mau menggarapnya. Sukra membeli ‘izin garapan’ tersebut senilai Rp 22 juta dari penggarap sebelumnya. Selain menebus lahan untuk digarap, Sukra diwajibkan ‘menyetor’ Rp 600 ribu hingga Rp 1 juta kepada tokoh setempat.

Selain untuk biaya sewa lahan, Sukra harus merogoh kocek Rp 20 juta untuk setiap proses penanaman hingga panen, yang berlangsung sekitar 4 bulan. Meski begitu, Sukra mengaku masih dapat untung jika panennya berhasil. Sebab, lahan seluas 2 hektare tersebut mampu menghasilkan 6 ton gabah kering dengan harga Rp 5.500 per kilogram. Untuk pembelinya, Sukra sudah punya langganan, yakni pedagang beras di Kampung Melayu, Jakarta Timur. Tapi, jika harga beras di kampungnya lebih mahal, dia menjualnya ke sana.

Namun saat ini Sukra mengaku ingin pensiun mencangkul sawah karena sudah terlalu lelah.

Selain Sukra, perantau yang memilih bertani di Ibu Kota adalah Tamad. Pria asal Subang, Jawa Barat, itu sejak 1995 menginjakkan kaki di wilayah pinggiran Jakarta. Saat ini pria berusia 62 tahun tersebut menjadi Ketua Kelompok Karya Tani, yang mempunyai anggota 22 orang. Semuanya pendatang.

Pak Sukra
Foto : Syailendra Hafiz Wiratama/detikX

Tamad mulai berladang di garapan seluas 5 hektare milik PT Citra dengan sistem sewa. “Dulu harga sewa per petak di sini Rp 200 ribu. Sekarang kena Rp 600 ribu. Yang saya garap ada 20 petak,” kata Tamad kepada detikX pekan lalu.

Selama bertani, Tamad selalu mendapat pendampingan dari Suku Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan, dan Pertanian Jakarta Barat. Selain penyuluhan, Tamad dan petani di kelompoknya sering mendapatkan bibit dan obat hama.

Sejak sebulan terakhir, Tamad dibantu Rusniah. Perempuan asal Serang, Banten, berusia 45 tahun tersebut bekerja sebagai buruh harian dengan bayaran Rp 50 ribu per hari. Diambil dai laman detikX, Rusniah mengaku bekerja di ladang milik Tamad karena di kampung tidak ada pekerjaan atau aktivitas di sawah.

Sebelum bekerja bersama Tamad, Rusniah sempat bekerja di Pasar Induk Tangerang sebagai pencabut dan pemotong kangkung dengan bayaran Rp 30 ribu per hari. Namun sekarang tidak ada lagi pekerjaan memotong kangkung tersebut, sehingga Rusniah bekerja di ladang Tamad, yang dia kenal saat bertemu di pasar.


(Rusniah, mengusir burung-burung emprit yang singgah di pucuk-pucuk padi/detikX)
Untuk mengurus ladang sayuran dan padi milik Tamad, Rusniah mulai bekerja sejak pukul 07.00 WIB hingga pukul 16.00 WIB, dengan jeda waktu istirahat makan siang selama satu jam. Selama bekerja di ladang, Rusniah tidur di gubuk dekat sawah, sementara suami dan anaknya di kampung mengurusi beberapa petak sawah yang mereka punya.
Baca selengkapnya
Merantau ke Jakarta 'Hanya' Untuk Jadi Petani Merantau ke Jakarta 'Hanya' Untuk Jadi Petani Reviewed by Erhaje88 Blog on February 11, 2018 Rating: 5

No comments:

Erhaje88 tidak bertanggung jawab atas isi komentar yang ditulis. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Stay Connected

Powered by Blogger.